Site icon SumutPos

Medan Banjir, Solusinya Normalisasi Sungai dan Drainase

Foto: Pran/Sumut Pos Escavator menumbangkan tembok yang dibangun warga di pinggir Sungai Bederah, dan mengeruk sungai sebagai upaya normalisasi aliran sungai, Selasa (20/9/2016).
Foto: Pran/Sumut Pos
Escavator menumbangkan tembok yang dibangun warga di pinggir Sungai Bederah, dan mengeruk sungai sebagai upaya normalisasi aliran sungai, Selasa (20/9/2016).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Persoalan banjir di Kota Medan tidak lepas dari kualitas drainase dan sungai. Intensitas hujan tinggi dan sering membuat resapan air melambat, dan adanya perubahan siklus alam yang mengakibatkan banjir rob meluas ke Medan Marelan dan Medan Labuhan.

Permasalahan banjir pun diurai melalui Diskusi Kamisan Sumut Pos, Kamis (6/10) di Gedung Graha Pena Jalan Sisingamangaraja Km 8,5, Medan Amplas. Dalam diskusi yang dihadiri Wakil Wali Kota Medan Ir Akhyar Nasution MSi, Ketua Komisi D DPRD Medan Sabar Syamsurya Sitepu dan Anggota Komisi D Goldfried E Lubis, Pj Wali Kota Medan 2008-2009 yang juga anggota Dewan Kota Afiffudin Lubis, Anggota Dewan Kota DR Ir Budi D Sinulingga MSi, Pengamat Tata Kota & Tata Wilayah DR Ir Dwi Lindarto Hadinugroho MT, Pengamat Anggaran Elfenda Ananda, Kepala Seksi Pelaksanaan Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) II Junjungan Saragi dan Kepala Seksi Perencanaan BWSS II Herbet Sihite, Komunitas Go River, Sekretaris LAPK Padian Ade S, mewakili netizen di Medan Deddy Ardiansyah, mewakili masyarakat Ahmad Parlindungan Batubara dan mewakili Dinas Bina Marga Kota Medan.

Diskusi yang berlangsung serius, masing-masing peserta diberikan pendapat untuk mengurai banjir. Mulai dari pemaparan dari Wakil Wali Kota Medan hingga perwakilan masyarakat.

Akhyar memaparkan, seksi per seksi kawasan di Kota Medan sedang dikerjakan penggalian drainase, baik dilakukan Pemko Medan maupun Pemprovsu serta Balai Jalan Nasional. Pengerjaan yang sampai saat ini sebagai bagian untuk mengurai banjir di Gerbang tol Mabar, Medan Deli dan Kawasan Industri Medan (KIM).

Dia menyebutkan, persoalan banjir memang ada perluasan pada tahun 2016, di mana kawasan Medan Marelan menjadi tambahan yang terdampak banjir rob, selanjutnya KIM menjadi banjir pada saat hujan deras karena saat ini KIM menjadi cekungan. Guna gerbang tol Mabar dan Martubung serta sekitarnya termasuk KIM, maka Pemko Medan melalui Dinas Bina Marga melakukan pengorekan Sungai Pasangan dan pelebarannya menjadi 6 meter. Sungai tersebut akan bermuara ke Seruwai, dan akan dibagikan ke kanal. Setelah dilakukan pengukuran, levelnya hanya 1 meter.

“Inilah yang menyulitkan bila kendalanya ada pada tupologi, saat ini konsultan yang dibiayai KIM sedang bekerja untuk menyiasati kendala tupologi ini,” katanya.

Pindah ke Jalan Letda Sujono, dekat gerbang tol. Diperkirakan ada tujuh instansi yang harus menyelesaikan persoalan di wilayah tersebut. Mulai Pemko Medan melalui Dinas Bina Marga, Pemprovsu melalui Tata Ruang dan Pemukiman, Badan Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) II, Jabatan Perkereta Apian di bawah Kementerian Perhubungan, PT KAI, PT Jasa Marga, dan Balai Besar Jalan Nasional.

Akhyar menyebutkan, di sisi utara mulai Aksara Plaza hingga Gerbang Tol Tanjung Selamat, normalisasi drainase dilakukan Balai Besar Jalan Nasional, dan dari gerbang tol tersebut hingga Titi Sewa, normalisasi drainase dikerjakan Pemko Medan, selanjutnya dari RS Martondi ke Gerbang Tol H Anif serta ke Bagya City dikerjakan Tarukim Sumut.

Sementara itu, pada sisi Selatan, Jawatan Perkeretaapian sedang membangun double track, sesuai kebutuhannya 60×80 cm, karena kebutuhannya drainse harus dilebarkan maka Pemko Medan meminta agar dijadikan 2,5 meter x 2,5 meter. “Saat ini, Pemko Medan sedang menunggu keputusan dari Direktorat Jenderal Perkeretapian. Pemko Medan meminta itu tujuannya agar air di Jalan Bersama bisa ditarik ke Jalan Mandala dan diarahkan ke Sei Percut,” katanya.

Selanjutnya, mengenai kawasan di Medan bagian Selatan seperti di Medan Amplas. Di kawasan ini ada sejumlah sungai, kesemuanya ada pada regulasi Badan Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) II. Seperti diketahui bersama, sungai-sungai yang ada perlu dilakukan normalisasi, karena kondisinya yang sudah overload.

“Ketika ini dibicarakan dengan BWSS II, jawabannya kementerian sedang fokus untuk pengairan irigasi untuk ketahanan pangan, sehingga apa yang dikerjakan saat ini untuk normalisasi sungai belum dilakukan. Kendala ini juga yang membuat Pemko Medan masih mencari solusi-solusi, seperti nantinya akan membuat sodetan dari Sungai Sikambing ke Sungai Belawan, ini bagian untuk overflow,” paparnya.

Foto: Triadi Wibowo/Sumut Pos
Diskusi membahas permasalahan banjir di Kota Medan dan apa solusinya, di gedung Graha Pena Medan, Kamis (6/10). Diskusi dihadiri Wakil Walikota Medan, Akhtar Nasution.

Mendengar paparan Wakil Wali Kota, Anggota Dewan Kota, Budi Sinulingga menyebut untuk mengatasi masalah banjir tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu setidaknya tiga tahun untuk mengatasi masalah banjir, dengan catatan punya program yang komprehensif. Informasi yang berhasil diterimanya, rencana kerja BWSS II di 2016 sama sekali tidak ada yang secara khusus untuk menangani banjir. “2017 itu pun hanya sedikit,”ujarnya.

Secara pribadi, Budi pun menyayangkan rencana kerja dari BWSS II dalam dua tahun kedepan. Padahal, 2011 lalu Kota Medan pernah menghadapi persoalan banjir yang cukup besar. “Harusnya sudah dibuat perencanaan yang komprehensif, kenyataannya tidak demikian,”ucapnya.

Dia menilai BWSS II perlu mendapat dukungan secara politik agar dapat mensukseskan program kerjanya. “Masalah okupasi juga harus dicarikan jalan keluar, kalau direlokasi, kemana tempatnya, dan Pemko Medan harus memasukkannya dalam program kerjanya,” ucapnya.

Lebih jauh, Budi mengungkapkan pejabat saat ini lebih memilih berbuat aman dalam bekerja. Ia mencontohkan sebuah kasus, dimana ada sebuah saluran drainase yang menjadi tugas BWSS II dikorek oleh pejabat kota Medan, tentu secara regulasi salah karena anggarannya tak bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, drainaset itu sudah terjadi masalah sendimentasi. “Ketika dikorek banjirnya sudah berkurang, tapi pejabatnya dipanggil aparat penegak hukum. Seharusnya kebijakan seperti ini bisa bebas dari delik hukum pidana, masalahnya seperti itu, makanya pejabat lebih memilih mencari aman dalam bekerja,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Kepala Seksi Pelaksanaan Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) II, Junjungan Saragi memaparkan ada kendala persoalan lahan yang dialami pihaknya saat hendak melakukan normalisasi sungai guna membantu upaya pemerintah kota (Pemko) Medan mengatasi banjir.

Saragi memaparkan, Kementrian PUPR tidak menyetujui kegiatan normalisasi sungai yang diajukan ketika persoalan lahan belum selesai. “Banyak masyarakat yang sudah berokupasi kepinggiran sungai, ini menghambat proses normalisasi. Kementrian Pekerjaan Umum memastikan kegiatan normalisasi sungai akan disetujui, asalkan lahan sudah tidak ada masalah. Terlebih, kegiatan normalisasi sungai itu biasanya menggunakan anggaran tahun jamak,” katanya.

Menurutnya, yang dilakukan BWSS II saat ini adalah menghambat aliran air sampai ke Kota Medan ketika banjir di hulu. Sementara, ketika banjir di Kota Medan, airnya harus bisa mengalir sampai ke laut.

“Saat ini kami menangani drainse primer. Sementara untuk Sungai Deli, Sungai Percut, Sungai Kera, Sungai Belawan, dan Bedera belum bisa dinormalisasi karena masalah lahan yang belum ada jalan keluarnya,” paparnya.

Sementara itu, rekan satu kantornya yang juga hadir dalam diskusi memaparkan, Kepala Seksi Perencanaan BWSS II, Herbet Sihite menambahkan bahkan sejauh ini pihaknya belum bisa membuat bendungan diwilayah kerjanya, karena masalah yang sama yakni pembebasan lahan.

“Aceh itu sudah berhasil membuat 7 bendungan, padahal BWSS II yang membuat gambarnya. Sementara kami belum satupun membuat bendungan, pembebasan di Aceh tidak serumit di Sumut,” ungkap Sihite. “Untuk kordinasi ke Pemko Medan memang tidak detail, karena BWSS II itu menangani sungai secera makro,” tambahnya.

Foto: Triadi Wibowo/Sumut Pos
Diskusi membahas permasalahan banjir di Kota Medan dan apa solusinya, di gedung Graha Pena Medan, Kamis (6/10). Diskusi dihadiri sejumlah pengamat di Kota Medan.

Mewakili masyarakat, Ahmad Parlindungan Batubara mengatakan, Kota Medan ini sebenarnya tidak banjir, tapi lebih tepat disebut genangan air. Hal ini karena dalam dua jam saja, genangan air sudah hilang pasca hujan deras datang.

Anggota DPRD Medan priode 2004-2014 mengungkapkan untuk mengatasi masalah banjir di Kota Medan susah-susah gampang, dan gampang-gampang susah. Selama 10 tahun menjadi anggota DPRD Medan, Parlindungan mengaku 9 tahun, 3 bulan duduk di Komisi D yang membidangi pembangunan. Kondisi banjir di Kota Medan saat ini, diakuinya tidak terlepas dari minimnya daerah resapan atau ruang terbuka hijau.

Oleh karena itu, dia pun menyarankan Pemko Medan mempertimbangkan untuk membuat sebuah perwal atau perda yang mengatur setiap rumah harus memiliki biopori yang berguna menjadi resapan air. “Bagi yang melanggar aturan itu bisa diberikan sanksi, seperti tidak dikeluarkannya e-KTP dan sebagainya,” sebutnya.

Sedangkan masalah drainase, Parlindungan menyebut bahwa perlu ada orang yang secara khusus mengawasi keberadaan drainase. “Dulu pernah dibahas di internal komisi D, setidaknya butuh Rp25 Miliar untuk itu, tapi tidak kunjung direalisasikan,”urainya. (ril/dik/jie)

Exit mobile version