Site icon SumutPos

2018 Ombudsman Sumut Terima 220 Laporan, Polisi Paling Banyak Dilaporkan

.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sepanjang 2018, Ombudsman RI Perwakilan Sumut banyak menerima laporan dari masyarakat atas kinerja Pemerintah Daerah (Pemda) di Sumut sebanyak 96 laporan atau 43,6 persen dan posisi kedua adalah kinerja kepolisian 61 laporan atau 27,7 persen dari 220 laporan masyarakat diterima.

“Namun, dilihat dari substansi laporan, maka substansi yang paling banyak dilaporkan adalah kasus kepolisian dengan 27,7 persen atau 61 laporan, disusul kasus agraria/pertanahan dengan 13,1 persen atau 29 laporan, kepegawaian dengan 12,7 persen atau 28 laporan,” ucap Abyadi dalam keterangan pers diterima Sumut Pos, Senin (7/1) siang.

Abdyadi menjelaskan, untuk kasus pendidikan yang tahun 2018, paling banyak dilaporkan, tahun ini justru di urutan ke empat paling dengan 9,5 persen atau 21 laporan. Di bawahnya adalah soal substansi administratif dengan 7,2 peren atau 16 laporan.

“Di urutan berikutnya kelompok instansi paling banyak dilaporkan adalah BUMN/BUMD dengan 15,9 persen atau 35 laporan, BPN 5 persen atau 11 laporan dan lembaga peradilan 2,7 persenatau 6 laporan,” tutur Abyadi.

Abyadi menjelaskan, dari 220 laporan tersebut, 51,8 persen atau 114 laporan disampaikan langsung ke Kantor Ombudsman RI Perwakikan Sumut di Jalan Majapahit No 2 Medan. Sedang laporan yang disampaikan melalui surat sebesar 44,1 persen atau 97 laporan, melalui media 2,7 persen atau 6 laporan.

Para pelapor mayoritas berasal dari Kota Medan dengan 66,3 persen atau 146 pelapor, dari Deliserdang 5% atau 11 pelapor, disusul dari Langkat dan Nias Selatan masing-masing 5 pelapor atau 2,2 persen.

“Namun bila dilihat dari keseluruhan, para pelapor ke Ombudsman RI Perwakilan Sumut sudah ada dari 33 kabupaten/kota se-Sumut. Ini memandakan bahwa seluruh masyarakat dari kabupaten/kota se-Sumut sudah mengakses Ombudsman sebagai lembaga negara pengawas penyelenggaraan pelayanan publik,” jelas Abyadi.

Terkait dengan bentuk maladministrasi yang dilaporkan, maka yang paling banyak dilaporkan adalah maladministrasi dalam bentuk penyimpangan prosedur dengan 42,2 persen atau 93 laporan, disusul penundaan berlarut 39,1 persen atau 86 laporan.

“Bentuk maladministrasi lainnya adalah penyalahgunaan wewenang sebesar 9,1 persen atau 20 laporan, tidak memberi layanan sebesar 6,3 persen atau 14 laporan dan bentuk maladministrasi tidak patut sebanyak 1,8 persen atau 4 laporan,” ucap Abyadi.

Sementara itu, Abyadi menjelaskan, ada beberapa layanan yang krusial di Sumut. Disebut krusial karena pelayanannya selama ini sangat rumit, sulit dan menyusahkan masyarakat. Dan, kondisi seperti ini terus berulang meski sudah sering disoroti.

“Upaya perbaikan layanan yang dilakukan para penyelenggara, belum memberi hasil yang signifikan untuk perbaikan layanan. Karena terbukti, layannya masih terus dikeluhkan dan disampaikan masyarakat ke Ombudsman,” ungkap Abyadi.

Beberapa pelayanan yang termasuk krusial itu seperti pelayanan administrasi kependudukan (Adminduk), layanan kesehatan, layanan pendidikan, kesejahteraan sosial (Kesos), layanan perizinan dan layanan dalam mengakses keadilan.

Substansi laporan yang dikeluhkan masyarakat terkait layanan krusial ini, lanjut Abyadi, adalah terkait soal standar pelayanan yang tidak ada. “Meski ada juga unit layanan yang sudah memiliki dan mempublis standar layanan, tapi masalahnya tidak diaplikasikan/tidak diterapkan dalam penyelenggaraan layanan,” sebut Abyadi.

Yang juga sering disampaikan masyarakat ke Ombudsman adalah, ketidakkonsistenan penerapan standar waktu layanan. Ia mengatakan kerap terjadi pada pelayanan publik dilakukan pihak instansi terkait.

“Dalam proses pengurusan KTP dan Adminduk lainnya misalnya, masih sering disampaikan ke Ombudsman bahwa ada yang urus e-KTP tidak siap kendati sudah berbulan-bulan proses pengurusannya. Ini masalah yang sangat menyulitkan masyarakat. Dan masalah seperti ini sering disampaikan ke Ombudsman,” jelas Abyadi.

Abyadi sendiri mengaku bingung kenapa begitu sulit melakukan perbaikan layanan pengurusan e-KTP dan Adminduk lainnya. Padahal, Dirjen Kemendagri selalu mengatakan bahwa blanko KTP-el tidak masalah lagi. Stok selalu ada.”Apa benar terkendala jaringan? Masa di zaman teknologi sekarang ini masih terkendala jaringan? Saya kira, ini perlu jadi perhatian serius Pak Wali Kota,” tanya Abyadi.

Ombudsman berharap, agar seluruh penyelenggara pelayanan publik menjadikan tahun 2019 sebagai momentum untuk memperbaiki pelayanan publik.

“Bangun komitmen bersama di seluruh instansi penyelenggara pelayanan publik, mulai dari pimpinan hingga ke bawah untuk memperbaiki layanan. Mudahkan urusan masyarakat, hentikan pungli dan korupsi,” pungkasnya.(gus/ila)

Exit mobile version