Site icon SumutPos

Hubungan Ryamizard & Gatot Renggang

FOTO: HENDRA EKA/JAWA POS
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryachudu (kiri) dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo saat hadir dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta. Rapat kerja kali ini membahas anggaran dan rencana program kerja 2017, Senin 6 Januari 2017.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – DPR RI meminta Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu untuk duduk bersama melakukan hamonisasi antara keduanya. Hal ini penting untuk melakukan sinkronisasi peraturan-peraturan yang merujuk ke Undang-undang.

Seperti disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid di gedung DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/2). Kurang hamonisnya Panglima TNI dan Menhan itu terungkap dalam rapat bersama Panglima TNI dan Menhan di Komisi I DPR.

“Kesimpulan rapat Komisi I, kita minta agar Kemenhan dan Panglima TNI melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan-peraturan yang terkait dan merujuk pada UU tentunya,” ungkap politisi Partai Golkar daerah Pemilihan Sumut I.

Meutya menyampaikan, pihaknya lebih meminta kepada Menhan dan Panglima TNI untuk duduk bersama melakukan sinkronisasi peraturan-peraturan, dan tidak boleh ada yang melanggar undang-undang.  Sejauh ini, Komisi I DPR yang membidangi pertahanan dan intelijen belum bersikap soal Permenhan Nomor 28/2015 itu. Sebab, masih ada sinkronisasi soal peraturan itu.

Namun, politikus Partai Golkar itu menegaskan, jika antara Kemenhan dan Mabes TNI sudah menuntaskan sinkronisasi maka hasilnya akan diserahkan ke Komisi I DPR. “Dilaporkan kepada kami dan kita akan agendakan rapat khusus terkait itu,” sebutnya.

Mencuatnya kurang harmonisnya hubungan Menhan dan Panglima TNI terkait ketidaktahuan, Jenderal Gatot  Nurmantyo tentang pembelian heli Agusta Westland AW 101.  “Kalau misalnya panglima mengatakan tidak tahu menahu, Menhan tidak tau menahu, ya DPR Komisi I jadi bingung,” kata Meutya.

Ketidaktahuan Gatot lantaran adanya Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 28/2015, politikus Partai Golkar itu mengatakan peraturan tersebut mengikat bukan hanya untuk pembelian alutsista seperti AW 101 saja. Tapi terkait kepada seluruh penganggaran.

Anggota Komisi I Andreas Pareira, yang juga ikut dalam rapat, memaklumi Kemenhan yang tidak siap karena masalah itu mencuat lewat keluhan yang disampaikan Panglima TNI saat rapat. “Dari Kementerian Pertahanan menjelaskan, tapi belum membawa materi yang lebih spesifik soal Permenhan dan implikasi-implikasinya,” kata Andreas kepada awak media, dan turut berujar dalam rapat diputuskan untuk menyiapkan suatu pertemuan khusus untuk memperdalam di agenda selanjutnya.

Dari penyampaian Gatot, Andreas menilai substansi yang dikeluhkan adalah soal sentralisasi perencanaan dan pembelian alutsista di tiap-tiap matra yang langsung ke Kemenhan. Sehingga Panglima TNI kini tidak lagi mengetahui soal perencanaan serta pembelanjaan alutsista di AD, AL, dan AU.

Heli Agusta Westland AW 101.

Sementara itu,  Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais mengatakan, selama ini tidak pernah ada masalah di dunia pertahanan. Ini baru pertama kali terjadi di pemerintahan Presiden Joko Widodo. “Masalah ini tadinya laten tapi kemudian jadi manifes dengan pertemuan kemarin. Karena terbuka, dan sebagian diucapkan telah didengarkan oleh publik,” sambungnya.

Hanafi menjelaskan yang menjadi polemik adalah, ada perbedaan tafsir di Permen Nomor 28/2015 itu. Menhan menilai bahwa Kemenhan yang mengatur segalanya. Dalam hal ini, mereka sebagai kuasa pengguna anggaran termasuk dalam pengadaan alutsista.  “Oleh Kemhan, TNI ini yang penting jalani saja, sementara Panglima berdasarkan undang-undang menafsirkan punya kewenangan untuk alutsista yang dianggap strategis sesuai dengan renstra yang sudah disepakati dengan kementerian itu. Disconnect-nya di sini,” tutur politikus Partai PAN itu.

Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu angkat bicara soal keluhan panglima TNI terkait kewenangannya yang dipangkas melalui Peraturan Menteri Pertahanan. Menhan memastikan, tidak ada persoalan mengenai kewenangan dalam penggunaan anggaran pertahanan. Sebab, bagaimanapun yang diserahi anggaran oleh negara adalah Kemhan.

“Saya pengguna anggaran,” tegas  Ryamizard saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (7/2).

Dia memastikan, semua memiliki kewenangan sesuai porsinya dalam hal anggaran.  Anggaran pertahanan dialokasikan oleh Menkeu kepada pihaknya selaku pengguna anggaran.  Dari situ, dialokasikan anggaran tersebut kepada lima institusi. Masing-masing Kemhan, Mabes TNI, dan tiga matra. TNI AD, AL, dan AU. Untuk TNI, tentunya melalui Panglima atau Kasum. Sementara, di tiga matra melalui masing-masing kepala staf. “Itu kuasa pengguna anggaran. Kuasa dari saya,”  lanjutnya. Masing-masing institusi sudah diberikan alokasi anggaran.

Disinggung apakah reaksi Panglima TNI saat di Komisi I berlebihan, mantan KSAD itu menampiknya. Dia menilai reaksi panglima biasa saja, dan meminta agar persoalan tersebut tidak dibesar-besarkan. “Dari dulu saya nggak pernah ribut. Jangan buat saya ribut,” tambahnya.

Sementara itu, berkaitan dengan pembelian helikopter AW-101, Ryamizard tidak banyak berkomentar. Dia hanya menjelaskan, awalnya helikopter itu memang untuk keperluan RI-1. Karena untuk Presiden, maka pengadaannya lewat Kemensetneg. Bukan Kemhan. “Presiden nggak setuju, karena memang mahal. Jadi ditarik lagi (pengajuannya),” ucapnya.

Bila dilihat dari sisi kebutuhan, TNI AU memang memerlukan helikopter tersebut. Harga yang mahal menjadi kendala tersendiri. “Kalau kita sudah bisa buat di PT DI (Dirgantara Indionesia), kenapa nggak PT DI saja. itu maunya presiden,”  tambah Ryamizard. Belakangan, helikopter tersebut akhirnya tetap dibeli untuk digunakan sebagai heli angkut.

Di tempat terpisah, KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto kemarin mendatangi Kemensetneg. Dia menyampaikan bahwa pihaknya akan menginvestigasi pembelian helikopter AW-101. TNI AU akan menginvestigasi sejak dari perencanaan, termasuk mekanisme pengadaan helikopter tersebut.

Menurut dia, anggaran yang digunakan untuk membeli helikopter tersebut merupakan anggaran TNI AU. Bukan anggaran Setneg. Pengadaannya juga merupakan pengadaan TNI AU. Kemenhan hanya sebatas dukungan administrasi.  “Untuk bisa mencairkan semuanya kan administrasinya dari Kementerian Pertahanan,”  terangnya.

Apakah itu berarti Kemhan mengetahui pengadaan helikopter tersebut, Hadi menjelaskan bahwa yang diketahui Kemhan adalah helikopter itu untuk keperluan VVIP. Kemhan tidak mengetahui bila helikopter itu akan digunakan untuk pesawat angkut. “Karena itulah saya bentuk tim investigasi ke dalam internal angkatan udara,”  lanjutnya.

Pengadaan awalnya memang untuk VVIP, dan diajukan pada 2015. Namun, ternyata ditolak oleh Presiden.  “Selesai menolak, berarti tidak ada lagi kaitannya dengan istana atau Presiden,”  tutur mantan Sekretaris Militer Presiden itu. Akhirnya helikopter itu dibeli untuk kepentingan TNI AU sendiri, mekanisme pembeliannya akan diinvestigasi. Saat ini, helikopter itu memang sudah tiba. Namun, belum ada serah terima karena masih ada beberapa dokumen yang perlu dibereskan. “Apakah nanti dikembalikan atau tidak dikembalikan, itu tergantung hasil investigasi saya,” tambahnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan presiden Joko Widodo memberikan atensi langsung pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo di Komisi I DPR pada Senin (6/2). Sudah ada perintah dari presiden agar ada aturan soal anggaran itu disinkronkan antara di TNI dan Kementerian Pertahanan. Sinkronisasi itu juga melibatkan kementerian koordinator bidang politik hukum dan hak asasi manusia.

”Kemarin (Senin, red) presin sudah intruksikan agar diatur harmonisasi aturannya kembali antara panglima, menhan, dan menkonya,” ujar JK usai membuka rapat koordinasi nasional program kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, kemarin (7/2).

Menkopolhukam Wiranto diperintahkan untuk memperbaiki komunikasi diantara mereka. Soal kewenangan anggaran, JK menyerahkan pada pengaturan yang berlaku saja. Dia tidak ingin masuk pada polemik tarik ulur kewenangan anggaran yang dipersoalkan Jenderal Gatot.

Selain itu, JK juga menanggapi curahan hati Jenderal Gatot yang juga diungkapkan pada saat sidang di Komisi I DPR. Salah satunya soal Gatot yang bisa saja diganti dalam waktu dekat dan mendadak.

”Ya 2018 batasnya, pensiunnya,” ujar JK lantas tersenyum. Tapi, buru-buru dia menjelaskan kalau soal penggantian itu bukan menjadi kewenangan wakil presiden. ”Kalau  penggantinya saya tidak tahu. Batas pensiunnya itu tahun depan, 2018,” tegas JK. Apakah JK sudah diajak bicara presiden soal panggantian tersebut? dia pun hanya menanggapinya dengan senyum. Lantas berlalu.

Presiden Joko Widodo sendiri menyatakan belum mengetahui adanya polemik antara Panglima TNI dengan Menhan saat rapat di Komisi I DPR. “Nanti permennya (Peraturan Menteri, red) saya lihat dulu,”  ujarnya usai bertanding futsal dengan wartawan di Jakarta Utara kemarin. (dna/bbs/byu/jun/lum/jpg/ril)

Exit mobile version