SUMUTPOS -Modal yang disiapkan bakal calon legislatif (Bacaleg) memperebutkan kursi DPRD Medan pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, lumayan besar. Sejumlah bacaleg yang diwawancarai mengaku menyiapkan dana hingga ratusan juta. Paling minim mencapai Rp500 juta. Paling besar Rp1,5 miliar. Modal itu dianggap senilai dengan penghasilan yang akan mereka dapat selama menjadi anggota dewan selama satu periode (5 tahun).
BACALEG pendatang baru dari Partai Demokrat, Pangeran, misalnya mengaku telah menyiapkan dana hingga Rp500 juta untuk ongkos politiknya. “Dana kampanye yang disiapkan sekitar Rp300 juta hingga Rp500 juta. Sebab, harus melakukan sosialisasi membentuk tim sukses, alat peraga kampanye dan sebagainya,” sebutnya, Selasa (7/8). Ia maju di Dapil V (Medan Sunggal, Medan Selayang, Medan Tuntungan, Medan Johor, Medan Polonia dan Medan Maimun).
Pangeran mengaku optimis dapat terpilih dan akan duduk di kursi legislatif. Sebab, dapil yang dipilihnya merupakan wilayah sehari-hari. “Saya tinggal (di Medan Selayang) dan beraktivitas di wilayah Dapil V, maka dipilih dapil itu ketimbang dapil lain. Selain itu, mengetahui juga persoalan pembangunan yang terjadi di masyarakat,” ucap dia.
Lain halnya dengan Rajuddin Sagala, caleg dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Medan yang maju di Dapil I. Pria yang masih duduk di kursi DPRD Medan ini mengaku tak membuat persiapan atau alokasi khusus untuk dana kampanye.
“Saya sudah sampaikan ke partai bahwasanya tidak akan mau mengeluarkan uang banyak untuk menjadi anggota dewan. Bahkan, pada periode Pileg sebelumnya hanya habis uang pribadi Rp5,5 juta untuk mencetak brosur biodata. Jadi, tidak ada alokasi anggaran khusus,” katanya.
Rajuddin menuturkan, ia tak memiliki tim sukses untuk memuluskan langkahnya memenangkan Pileg 2019 nanti. “Kalau dari PKS, partai yang mensubsidi calegnya untuk dana kegiatan kampanye. Sebab, gaji kami dipotong oleh partai sekitar 40 persen perbulan (dari Rp50 jutaan),” bebernya.
Disebutkan Rajuddin, gaji yang dipotong untuk partai tidak hanya digunakan sebagai ongkos politik saja. Melainkan, digunakan untuk dana sosial seperti ambulans, membantu orang sakit dan anak sekolah yang kekurangan biaya serta lainnya.
Tak jauh beda disampaikan Dame Duma Sari Hutagalung, caleg dari Partai Gerindra. Wanita yang kini masih duduk di kursi DPRD Medan ini menyebutkan, dana yang disiapkannya tidak sampai Rp1 miliar. “Periode Pileg sebelumnya (2014) disiapkan dana sekitar Rp500 juta hingga Rp600 juta. Kemungkinan untuk periode ini (2019) tak jauh beda mudah-mudahan,” akunya sembari menyebut uang hingga Rp600 juta itu digunakan untuk kegiatan kampanye, spanduk, baju dan lain sebagainya.
Angka paling besar disiapkan bacaleg petahana untuk DPRD Kota Medan, Godfried Effendi Lubis. Godfried mengaku sudah menyiapkan dana kampanye hingga Rp1,5 miliar. “Menjadi caleg memang butuh modal besar, jadi saya siapkan dana sekitar Rp1 miliar hingga Rp1,5 miliar,” kata bacaleg Perindo yang lompat pagar dari Gerindra ini.
Dikatakan Godfried, dana yang disiapkan tersebut nominalnya meningkat dibanding periode sebelumnya (2014). Di mana ketika itu ia hanya menghabiskan uang Rp700 jutaan. “Sebenarnya modal dana kampanye itu relatif. Kalau tahun ini lebih besar wajar saja, karena setiap tahun harga kebutuhan terus meningkat. Jika dianalogikan setiap tahun dihitung naik 10 persen, maka lima tahun kemudian menjadi 50 persen peningkatannya,” tutur pria yang masih duduk di Komisi IV DPRD Medan ini.
Dia juga mengaku, dalam menyiapkan ongkos kampanye itu, tidak menggunakan jasa konsultan anggaran, lantaran sudah memiliki pengalaman panjang yang aktif di dunia politik. Mulai dari PDI Perjuangan, Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Gerindra, dan Perindo. “Saya cukup lama belajar di partai, di PDI Perjuangan saja sekitar 20 tahunan. Jadi, bukan serta merta instan,” ucapnya.
Godfried menyebutkan, dana kampanye yang akan dikeluarkan merupakan hasil tabungan dan istri juga sudah sepakat atau merestui. Termasuk, pindah partai dari Gerindra ke Perindo. “Uang yang disiapkan untuk kampanye dari hasil tabungan selama beberapa tahun belakangan. Tahu sendirilah kalau perempuan orang Batak suka menyimpan emas. Tapi yang jelas, kalah atau menang nantinya uang itu pasti digunakan,” bebernya.
Tak Bakal Tekor
Tidak ada istilah tekor bagi bakal calon legislatif (Bacaleg) yang menang di kursi DPRD Medan. Pasalnya, penghasilan yang mereka dapat selama menjadi anggota dewan dinilai sangat bisa mengembalikan ‘modal’ yang mereka keluarkan selama masa kampanye. Tekor hanya berlaku bagi bacaleg yang gagal duduk.
Pengamat Anggaran, Elfenda Ananda menilai, Bacaleg petahana akan lebih diuntungkan dari sisi biaya, ketimbang calon baru dalam pertarungan Pileg. Sebab, calon petahana sudah memiliki instrumen, perangkat dan jaringan yang kuat sehingga tidak sulit mendapat simpati ataupun suara rakyat.
“Apalagi dari aspek keuntungan finansial, tidak ada istilah tekor bagi semua bacaleg yang bertarung. Malah jika harus dibandingkan dengan pendapatan seorang anggota dewan selama satu periode menjabat, modal tersebut akan bisa kembali lagi,” ungkap Elfenda menjawab Sumut Pos, Selasa (7/8).
Terlebih, lanjut mantan Sekretaris Eksekutif Forum Independen Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut ini, di periode 2014-2019, kesejahteraan untuk legislatif itu jauh lebih baik dibanding periode-periode sebelumnya. “Tunjangan-tunjangan untuk mereka sudah begitu diperhatikan pemerintah,” ungkapnya.
Pada prinsipnya, hemat Elfenda, Pileg adalah pertarungan strategi untuk mendapat simpati rakyat. Sepanjang calon tidak punya masalah dan melukai hati rakyat, antara petahana dan calon baru jauh lebih besar keuntungan petahana. “Sebab dari sisi ‘amunisi’ caleg petahana itu diuntungkan. Sudah punya modal seperti jaringan, perangkat dan sumber keuangan yang terukur. Sebaliknya, bagi calon baru, meskipun dia punya jaringan dan sumber pendanaan yang kuat, tingkat popularitas dan elektabilitasnya belum sebaik petahana,” katanya.
Selain itu, lanjut Elfenda, kerja-kerja yang sudah dilakukan Bacaleg petahana dengan memanfaatkan fasilitas negara, mempermudah akses menguatkan jaringan dan menambah konstituen, sudah dilakukan selama satu periode. Sedangkan bagi calon baru, meski sudah punya jaringan luas dan pengalaman yang dimiliki, juga disokong pendanaan lumayan, mesti kerja lebih keras merebut simpati rakyat. “Kecuali calon petahana di dapil tertentu itu ‘cacat’, seperti pernah membohongi rakyat atau bermasalah hukum, tentu bisa menguntungkan calon baru. Ini yang kemudian berakibat masyarakat di daerah tersebut tidak percaya dengan calon itu,” ungkapnya.
Pun demikian, ia menilai setiap calon baru yang ingin maju tentu sudah punya hitung-hitungan matang. Baik dari sisi jaringan yang mereka miliki, pengalaman, kemampuan pribadi dan juga finansial sehingga mampu dengan baik menyosialisasikan diri kepada masyarakat. “Pembuktian ini akan kita lihat bersama pada hasil Pileg mendatang. Dan kembali kepada masyarakat kita yang kian cerdas memilih wakil rakyatnya,” katanya.
Lantas bagaimana soal keuntungan finansial yang akan mereka dapatkan selama menjabat dengan biaya kampanye sebelum terpilih? Elfenda tak bisa mengurai secara detil, karena hal tersebut tergantung pola atau strategi pemenangan yang dimainkan oleh setiap calon. “Saya pikir kalau bakal calon cerdas memanfaatkan jaringan dan modal sosial yang luas, meski dia calon baru nilainya tidak begitu besar dikeluarkan. Apalagi untuk tingkat Kota Medan yang cuma antar kecamatan untuk bersosialisasi. Nah di tingkat Sumut, juga tergantung sebaran kabupaten/kota tempatnya bertarung. Semakin luas sebaran daerahnya maka semakin besar pula cost yang akan dikeluarkan,” katanya.
Hal senada diungkapkan akademisi dari USU, Bimby Hidayat. Menurutnya, sosok calon sangat menentukan dan berpengaruh besar untuk merebut hati rakyat dalam kontestasi nanti. Terlebih bagi calon yang memang sudah terbukti dan teruji kinerjanya ditengah masyarakat. “Masyarakat tentu akan lebih senang memilih calon yang sudah berbuat untuk mereka. Bukan sekadar mengandalkan ketokohan dan uang banyak untuk membeli suara masyarakat. Sebab sekarang ini rakyat mulai cerdas berpolitik,” katanya.
Integritas personal setiap bakal calon, kata Bimby, memang penting diutamakan ketimbang aspek lain. Sebab ketika integritas tergerus dengan sesuatu berbau hukum, maka masyarakat tidak akan mau memercayai calon yang maju. “Apalagi yang kita tahu walaupun pindah partai, orang yang maju itu-itu juga. Sosok yang sudah dikenal, sudah berbuat dan punya basis massa yang jelas. Akan sulit bagi calon baru pada dapil yang sama menyaingi calon petahana. Terkecuali memang si petahana tidak maju lagi dari dapil itu, atau pernah berbuat kesalahan pada masyarakat di tempatnya maju,” katanya.
Mengenai pendanaan setiap bacaleg, hemat dia, tergantung dari kemampuan yang sudah diperhitungkan dengan matang sebelumnya. Karena tidak selamanya kekuatan uang menjamin seseorang sukses menjadi wakil rakyat.
“Logikanya kan begini, tidak mungkin seseorang itu ingin maju sebagai caleg jika tidak untung setelah menjabat selama lima tahun. Katakanlah walau untungnya tipis, ketika dia hendak mencalon lagi kan aksesnya sudah ada. Dia tidak susah lagi membina konstituen lamanya. Bahkan bisa menambah basis massa dan jaringan baru,” ujarnya.
Pembiayaan kampanye, blusukan dan sosialisasi kepada masyarakat, menurutnya memang dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tapi bagi calon yang cerdas dan sudah memetakan potensi suaranya, modal kecil juga dianggap bisa efektif untuk duduk sebagai legislator. “Paling tidak harus tersedia minimal Rp300 juta untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Itu pun sudah minim sekali angkanya. Anggaplah Rp200 juta untuk bersosialisasi selama kampanye, dan Rp100 juta untuk membayar saksi mengawal suaranya di TPS,” katanya. (prn/ris)