Site icon SumutPos

Sengketa Pilgubsu Diungkit

JAKARTA – Dibekuknya Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merembet ke isu-isu panas, seperti bola api yang liar. Setelah diungkit perkara sengketa Pilkada Simalungun, Mandailing Natal, dan Samosir, kini giliran Pemilihan Gubernur Sumatera (Pilgubsu) Sumut yang ikut dipersoalkan.
Koodinator Solidaritas Pengacara Pilkada (SiPP) Ahmad Suryono SH MH menjelaskan, setelah sejumlah pengacara dan pihak-pihak terkait memberikan testimonin
secara terbuka di Jakarta, Minggu (6/10), pihaknya langsung menerima respon sejumlah pengacara lagi yang siap menyodorkan bukti dugaan main suap yang dilakukan Akil Mochtar.
Salah satunya Arteria Dahlan, yang menuding sejumlah sengketa Pilkada yang ditangani dirinya, putusannya janggal. Salah satunya sengketa Pilgubsu, yang diputus MK pada 15 April 2013. Saat itu majelis MK dipimpin Akil yang belum lama menjadi Ketua MK menggantikan Mahfud MD. Sedang Arteria merupakan kuasa hukum penggugat, yakni pasangan Effendi Simbolon-Djumiran Abdi (ESJA).
“Arteria menyodorkan sejumlah perkara yang pernah ditanganinya, yakni Pilgub Bali, Sumut, Jabar, Kobar (Kota Waringin Barat), dan Empat Lawang,” terang Ahmad Suryono kepada koran ini di Jakarta, kemarin (7/10). Arteria juga tampak hadir di acara SiPP yang digelar di sebuah kafe di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (6/10).
Langkah apa yang dilakukan Arteria? Suryono yang juga mantan pengacara sengketa Pilkada Kediri itu mengatakan, Arteria sudah menyampaikan laporan terkait putusan lima sengketa Pilkada itu ke KPK.
Namun, laporan Arteria tampaknya tidak akan membuat kursi gubernur Sumut yang diduduki Gatot Pujo Nugroho menjadi rawan. Pasalnya, menurut Suryono, laporan ke KPK hanya diarahkan agar tim penyidik KPK lebih banyak lagi mengantongi bukti terkait kelakuan Akil dalam perkara dugaan suap di Pilkada Lebak dan Gunung Mas.
“Untuk menambah amunisi penyidik KPK,” ujar Suryono. Tujuan lain agar penyidik KPK tidak hanya berkutat menggarap Akil, tapi juga mengembangkannya terhadap kemungkinan keterlibatan hakim MK lainnya.
“Karena ada indikasi, masalah ini dilokalisir menjadi kesalahan individu. Padahal kami menduga ini berjamaah,” cetusnya.
Sekadar mengingatkan, dalam proses persidangan kasus sengketa Pilgubsu, Arteria pernah disemprot Akil di forum persidangan. Gara-garanya, Arteria tidak mengenakan pakaian advokat berupa baju jubah hitam dan dasi lebar berwarna putih. Arteria yang disemprot, akhirnya minta maaf.
Selain kasus Pilgubsu, Suryono menyebutkan, pihaknya juga sudah mendapat tambahan laporan baru, yakni dari sengketa Pilkada Dogiyai (Papua), dan Kepulauan Sitaro (Sulut).
Sebelumnya, sudah ada pilkada Lebak, Kota Palembang, Kuantan Singingi, Samosir, Madina, Kediri, dan beberapa lagi lainnya. Selain melaporkan ke KPK, Suryono dkk berencana menyerahkan bukti-bukti dugaan suap ke Majelis Kehormatan MK. Sebelumnya, Minggu (6/10), dia mendesak agar seluruh putusan sengketa Pilkada yang panelnya dipimpin Akil dianulir dan digelar persidangan ulang.Sementara, dari pihak MK, sudah memastikan tidak akan ada sidang ulang. Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan bahwa semua putusan sengketa Pilkada yang kasusnya ditangani oleh Akil  tetap berlaku dan sah secara hukum. “Putusan MK itu tetap sah dengan putusan minimum tujuh orang hakim,” ujar Hamdan.

Mahfud MD Siap Dipenggal
Sementara itu, pernyataan mantan calon bupati Mandailing Natal (Madina), Irwan H. Daulay, yang mencurigai Mahfud MD saat masih menjadi ketua MK ikut bermain dalam keluarnya putusan sengketa Pilkada Madina, dibantah tokoh asal Madura itu.
Mahfud mengatakan, jika dirinya terbukti menerima suap dalam perkara Pilkada Madina, dia merelakan kepalanya dipenggal. “Saya potong tangan dan potong leher,” kata Mahfud saat menggelar konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, kemarin (7/10).
Sebelumnya, dalam acara yang digelar Solidaritas Pengacara Pilkada (SiPP) di Jakarta, Minggu (6/10), Irwan Daulay menyinggung nama Mahfud. Soal Akil Mochtar, Irwan tak mau berkomentar lantaran menganggap Akil sudah mati. “Saya condong ke Mahfud MD. Akil saya anggap sudah mati,” cetus Irwan.
Irwan mengaku sudah berkali-kali protes ke MK, termasuk mengirim surat ke Mahfud MD,  terkait putusan sengketa pilkada Madina, yang dibacakan 6 Juli 2010. Dalam putusannya, MK memerintahkan pemungutan suara ulang Pilkada Madina.
Menurut Irwan, putusan MK itu aneh. Alasan dia, untuk kasus yang sama-sama terbukti adanya politik uang secara besar-besaran yakni di Pilkada Kabupaten Kota Waringin Barat (Kobar), pasangan calon yang menebar uang langsung didiskualifikasi. Sedang di Madina, hanya diminta Pilkada ulang.
Mahfud mengaku pernah mendengar kabar ada pengaduan tentang dirinya terkait dugaan suap Rp3 miliar dalam kasus Madina. Mahfud mengaku sudah mengeceknya ke Bagian Pengaduan (Dumas) MK. Tapi, rupanya tak ada pengaduan itu.
“Saya datang ke dumas ternyata sampai hari ini enggak ada itu pengaduan,” kata Mahfud .
Mahfud malah menantang apabila ada orang yang menyuapnya maka dia akan mengganti uang itu. “Kalau tahu ada orang lain memberi saya Rp3 miliar baik bertemu langsung atau ditransfer, saya akan ganti Rp6 miliar,” katanya.
Mahfud mengaku dirinya siap ditangkap KPK apabila terbukti menerima suap. “Silakan laporkan saya. Kalau ada indikasi, saya silakan ditangkap, saya siap dihukum,” katanya.

Mendagri Usulkan Sengketa Pilkada Tak Perlu ke MK
Di sisi lain, mencuatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK terkait penanganan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilkada, direspon cepat oleh pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Kemendagri mengusulkan penanganan PHPU Pilkada ke depan, tidak lagi ditangani oleh MK, namun cukup di pengadilan tinggi. Menurut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, usulan tersebut hadir setelah pemerintah melihat banyaknya persoalan terkait pelaksanaan pilkada selama ini. Jadi bukan semata-mata hanya didasari terungkapnya kasus dugaan suap mantan Ketua MK, Akil Mochtar.
“Dalam RUU Pilkada kita minta agar sengketa pilkada ditangani di pengadilan tinggi hingga ke Mahkamah Agung (MA). Karena dari dulu kita sinyalir biayanya terlalu mahal. Anggaran yang dikeluarkan peserta semakin besar. Baik yang dikeluarkan pasangan calon yang kalah maupun yang menang,” ujar Gamawan di Jakarta, Senin (7/10).
Sebagai gambaran, Gamawan mencontohkan seperti yang dialami sejumlah pihak terkait sengketa PHPU Pemilihan Bupati Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Karena sidangnya ditangani di MK, Gamawan mengaku mengetahui ada pihak yang sampai mencarter secara khusus sebuah pesawat untuk datang ke Jakarta.
“Jadi biaya yang dikeluarkan tidak hanya terkait pemilihan. Namun juga ketika hasil pilkada digugat. Kadang-kadang mereka sampai membawa kotak suara sebagai barang bukti. Misalnya dalam Pilkada Sumba Barat Daya, itu sampai mendatangkan 124 kotak suara. Mereka terpaksa carter pesawat. Nah ini berapa ongkos pesawatnya? Jadi baik yang kalah maupun yang menang, cost-nya (biaya), tetap tinggi,” katanya.
Dengan dasar pemikiran inilah, Kemendagri menurut Gamawan, mengusulkan sengketa Pilkada ke depan sebaiknya cukup ditangani di pengadilan tinggi. Namun begitu, pemikiran tersebut baru sebatas usulan. Terkait disetujui atau tidak, masih menunggu keputusan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Tapi intinya kita meyakini kalau diselesaikan di pengadilan tinggi, cost yang dikeluarkan pihak-pihak berperkara, akan jauh lebih murah,” katanya.(sam/gir)

Exit mobile version