Site icon SumutPos

Saya Dibentak-bentak, Keluarlah Aslinya

Mengunjungi RE Siahaan di Rutan Tanjung Gusta Medan (2)

Istri RE Siahaan, Elfrida Hutapea, setiap hari selalu datang ke rutan bersama putrinya Sylvia Siahaan dan cucunya Beatrix Tampubolon untuk menemani sang suami pada jam-jam besuk. Sesekali, menantunya Bayu Tampubolon juga hadir.

PANDA MT SIALLAGAN, Tanjung Gusta

Kebetulan Sylvia Siahaan sedang menunggu persalinan anak keduanya. Dokter kandungannya kebetulan berada di Medan. Mereka tinggal di rumah pribadi di Jalan Sekip, Medan Barat. Demikianlah, setiap kali ke rutan, Elfrida selalu membawa segala perlengkapan dan kebutuhan RE Siahaan. Dan kopi tak pernah ketinggalan.

Pembincangan sore itupun tak lepas dari nikmat kopi. Sembari mengejek kinerja KPK yang disebutnya tak becus, RE Siahaan meminta istrinya menuang kopi, dan mengisi lagi cangkir Sumut Pos yang nyaris tandas.

“Kalian tidak buru-buru kan. Ayo biar enak ngobrol, kita ngopi. Enak ini kopinya, kopi Siantar. Mereka (istri dan putrinya) selalu bawa kalau ke sini,” ujar RE Siahaan sambil menyalakan rokok, mengisapnya yang sesekali disempurnakan dengan seruputan kopi. Kebiasaan merokok ini juga tak berubah. RE Siahaan tergolong perokok berat.

Semasa menjabat Walikota Siantar, setiap menghadiri acara atau melakukan kunjungan kerja, dia selalu tampak merokok. Di ruang sidang paripurna DPRD pun, dia tak bisa lepas dari merokok.

“Jadi begini, saya bingung dengan seluruh dakwaan itu. Kalau kita ulas, ini aneh. Ini mungkin pertama kali terjadi di KPK,” katanya.

Dia bercerita, selama 4 bulan ditahan di LP Cipinang, dia hanya diperiksa beberapa kali. Dalam suatu pemeriksaan, penyidik menunjukkan dan mempertanyakan kepadanya sebuah kwitansi pembayaran DPRD senilai Rp1,5 miliar. Kwitansi itu ditandatangani tiga asisten Pemko Pematangsiantar ketika itu: Lintong Siagian (asisten I), M Akhir Harahap (asisten II) dan Marihot Situmorang (asisten III).

“Tidak saya jawab. Saya katakan bahwa saya baru itu pertama kali melihat kwitansi dimaksud. Saya minta agar terlebih dahulu dilakukan penyidikan terhadap ketiga nama itu karena saya tak terkait dengan kwitansi tersebut. Saya minta agar kwitansi itu diteliti di labotarorium Mabes Polri agar diketahui keabsahannya. Saya duga itu kwitansi palsu,” ujarnya.

RE Siahaan telah melaporkan dugaan pemalsuan kwitansi itu ke Mabes Polri dengan tanda bukti lapor No Pol: TBL374/X/2011 pada tanggal 1 Oktober 2011. Tapi anehnya, perkara dilanjutkan tanpa menunggu hasil penyidikan Polri. “Kwitansi itu dijadikan barang bukti untuk menahan saya. Di mana logika hukumnya? Bebaskan saya, usut dulu kwitansi itu,” katanya.

Sambil tertawa, RE Siahaan menegaskan bahwa KPK bukan lembaga kampung yang bekerja suka-suka. KPK adalah lembaga yang disiapkan melakukan tugas dengan cermat, mantap, profesional, sehinggga diberikan anggaran besar setiap menangani satu kasus.

“Haru di Sipinggol-pinggol dang songoni. Denggan do surat-surat dibaen nasida. On puang, dakwaan ni KPK songoni. Bingung do au bah!” katanya. (Sedangkan di Sipinggol-pinggol tidak begitu. Mereka membuat surat menyurat dengan baik. Ini dakwaan KPK, saya sungguh bingung).

Sipinggol-pinggol yang dimaksud RE Siahaan adalah nama kelurahan di Siantar Barat. Kelurahan ini memang kerap dinamai peyoratif, digunakan orang sebagai perbandingan untuk meletakkan kualitas buruk. Maka tidak heran, Sipinggol-pinggol kerap jadi stereotip jelek, lambang keterbelakangan, simbol karakter buruk dan hal lain yang tidak elegan.

RE Siahaan mengatakan, kesalahan jaksa KPK terlalu banyak. Itu yang ingin dikatakan RE ‘aneh’ dan ‘baru pertama kali terjadi di KPK’. Kesalahan-kesalahan itu telah dibeber dalam eksepsi oleh tim penasehat hukum yang terdiri dari Sarbudin Panjaitan SH, MH, Kamaruddin Simanjuntak SH, Perry Kornelius P Sitohang SH.

Beberapa kesalahan itu antara lain penulisan identitas, nomor SK pengangkatannya sebagai walikota Siantar dan waktu kejadian perkara. RE sangat semangat mengulas waktu kejadian perkara yang dalam hukum diistilahkan tempus delicti. “Dalam surat dakwaan dinyatakan saya melakukan tindak korupsi hingga tanggal 13 November 2011. Bah, 13 November itu belum terjadi. Ini bagaimana di mata hukum? Apa harus diperbaiki? Kalo diperbaiki, bebaskan dulu saya,” katanya.

Selain uraian surat dakwaan yang tidak cermat, RE juga mempersoalkan jumlah kerugian negara yang tidak sinkron antara uraian dan jumlah. Disebutkan, kerugian negara yang timbul akibat tindakan terdakwa berjumlah Rp10.518.003.152,87. Sementara total kerugian dalam rincian keseluruhan dakwaan berjumlah 10.578.003.152,87, berarti ada selisih kerugian negara sebesar Rp60.000.000.

“Kalo perkara ini dilanjutkan, angka mana yang dipakai? Bagaimana hukum melihat materi itu. Apakah perkara bisa dilanjut dengan ketidakjelasan dakwaan semacam itu? Jumlah kerugian negara ini tentu akan berkurang lagi karena Rp1,5 miliar untuk pembayaran DPRD tidak ada urusannya dengan saya. Saya minta itu harus diusut,” katanya.
Perbincangan dengan RE Siahaan sesekali terganggu ketika mobil tahanan muncul dengan sirene khas, membawa pulang para tahanan dari persidangan. Para tahanan berjalan berbaris dan beberapa petugas menghitung jumlahnya dengan suara lantang. Menyedihkan, mereka dihitung seperti budak yang tak boleh hilang.

Sayangnya, RE Siahaan agak enggan bicara tentang kondisi Rutan, termasuk kegiatannya selama di Tanjung Gusta. “Selama di Cipinang, saya masih bisa menghabiskan waktu dengan main pimpong. Tapi di sini saya lebih banyak membaca dan mempelajari perkara ini. Membaca-baca ulang BAP dan mencermati dakwaan jaksa,” katanya.

Dia semangat lagi mengulas banyaknya dakwaan tidak berdasar BAP. Ia berkali-kali mengatakan bingung, banyak hal muncul di surat dakwaan tapi tak ada dalam BAP, tidak pernah dipertanyakan padanya selama penyidikan. “Logika saya, mestinya diberitahu kesalahan saya, dikonfrontir bukti-buktinya, soal saya jawab atau tidak itu hak saya sebagaimana posisi saya sebagai tersangka. Ditanya pun tidak. Makanya saya tidak tahu apa salah saya. BAP saya hanya soal kwitansi itu. Setelah saya minta penyidik mengusut kwitansi itu, saya tak pernah diperiksa lagi. Tiba-tiba saya disuruh teken BAP, katanya sudah P21 dan saya akan diboyong ke Medan. Tidak saya teken, sebab saya tak tahu BAP yang mana yang lengkap itu. Jadi saya dibawa ke Medan tanpa persetujuan saya. Ini betul-betul aneh,” katanya.

Secara etis, RE Siahaan juga mengkritisi sikap penyidik KPK. Ketika menanyakan kwitansi pembayaran untuk DPRD itu, dia mengaku tertekan. “Saya dibentak-bentak, ngeri. Sehebat-hebatnya orang kalau sudah masuk ke ruang pemeriksaan KPK pasti keder. Tapi saya tenang, toh sudah ditahan. Karena dibentak-bentak, maka keluarlah asli saya. Saya suruh mereka mengusut dulu kwitansi itu, baru saya mau menjawab,” katanya.

Demikianlah RE Siahaan yang kontroversial, keras, tegas dan kadang arogan. Saat kalah dalam Pilgubsu tahun 2008, ia malah bangga. “Kau pikir aku bodoh. Aku tahu tak mungkin menang, tapi aku ingin menguji tuah badan. Ternyata Ali Umri kalah dibanding aku,” katanya waktu itu sambil tertawa. (bersambung)

 

Exit mobile version