Site icon SumutPos

Genjot Pertumbuhan Ekonomi 2019, Gubsu: 2020, UMP Bisa Rp3,5 Juta

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
DEMO: Sejumlah elemen buruh di Sumut berunjuk rasa di depan kantor Gubsu Jalan Diponegoro Medan, Selasa (6/11). Massa menunut agar pemerintah merevisi kenaikan UMP buruh di Sumut menjadi 25%.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi akhirnya angkat bicara, terkait tuntutan elemen buruh yang meminta dirinya merevisi Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumut 2019.

Edy menegaskan, tidak mungkin keluar dari regulasi yang ada. Namun, dia berjanji akan menggenjot pertumbuhan ekonomi di 2019, agar UMP 2020 bisa mencapai Rp3,5 juta hingga Rp3,8 juta.

Dalam menentukan UMP 2019, Edy Rahmayadi mengaku akan tetap mengacu pada PP 78/2015 tentang pengupahan dan surat edaran Menteri Ketenagakerjaan. “Ya (rumusannya tetap mengacu pada PP 78/2015 tentang Pengupahan). Kalau saya melanggar aturan pemerintah, lebih salah lagi nanti,” kata Edy kepada wartawan di gedung DPRD Sumut, Rabu (7/11) sore.

Dia menerangkan, dasar lainnya dalam menetapkan UMP yakni surat edaran Menteri Ketenagakerjaan. Dimana dihitung berdasarkan UMP 2018 senilai Rp2.132.118, pertumbuhan ekonomi nasional 5,12 persen dan inflasi sebesar 3,20 persen. “Nah, dari UMP 2018 itu dikali pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi menjadi Rp2,3 juta lebih UMP Sumut 2019.

Berdasarkan rumusan tersebut, kenaikannya sekitar Rp177,392,” katanya.

Untuk itu, Pemprov Sumut tahun depan bakal menggenjot sektor riil terutama pertumbuhan ekonomi, sehingga upah pekerja atau buruh di Sumut pada 2020 bisa mencapai Rp3,5 juta sampai Rp3,8 juta. Kemudian aspek lain yakni tingkat inflasi mesti turut diperhatikan seperti harga komoditi pangan.

“Kalau saya tidak salah ada sekitar 15 item itu harus kita kejar seperti cabai, bawang dan lainnya. Itu yang kita kejar. Mudah-mudahan 5,12 persen pertumbuhan ekonomi ke depan, bisa mencapai sampai 6 persen maka Rp3,5 juta sampai Rp3,8 juta gaji buruh kita bisa tercapai. Tetapi kalau cuma masih 5,12 persen pertumbuhan ekonomi kita, lalu inflasi 3,20 persen terkejarnya itu ya Rp2,3 juta lebih itu,” terangnya.

Jika kondisi tersebut dipaksakan, sambung Edy, umpama di kisaran Rp2,6 juta UMP 2019, maka perusahaan akan setengah mati menyiapkan upah pekerja mereka. “Tutup perusahaan itu, banyak rakyat kita kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), bisa chaos (kacau) kita,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, gelombang massa buruh menolak kenaikan UMP Sumut 2019 sebesar 8,03 persen digelar selama dua hari berturut, Senin (4/11) dan Selasa (6/11) siang. Elemen buruh menuntut agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No.78/2015 tentang Pengupahan, dan Gubsu segera merevisi UMP Sumut 2019 senilai Rp2.303.403,43.

Menurut mereka, penetapan upah berdasarkan PP 78/2015 telah mengangkangi UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21/2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Padahal dalam UU Tenaga kerja itu jelas diatur, sebelum pembahasan dan penetapan UMP harus melakukan survei KHL. Mereka juga menagih janji Gubsu Edy Rahmayadi semasa kampanye lalu dimana siap memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan kaum buruh.

Pembahasan UMK Deliserang Alot

Penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Deliserdang 2019 di Aula Disnaker Deliserdang, Rabu (7/11), berlangsung alot. Pasalnya, perwakilan elemen buruh/pekerja yang ikut di dalam Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) Deliserdang, menolak kenaikan UMK 2019 sebesar 8,03 persen sesuai UMP 2019.

Anggota Depeda dari unsur serikat pekerja, Rian Sinaga menyebut kalau mereka sangat kecewa dengan pelaksanaan rapat yang dilakukan. Ia berpendapat, rapat Depeda pada hakikatnya adalah untuk mengusulkan besaran kenaikan ke bupati untuk seterusnya direkomendasikan ke gubernur untuk ditetapkan. “Depeda sebenarnya hanya mengusulkan.

Tapi yang terjadi, Depeda malah memutuskan. Maksud kami dari buruh ini, Depeda usulkan dua pilihan di dalam rekomendasi. Awalnya buruh minta supaya kenaikan bisa di atas 10 persen atau minimal pas 10 persen kenaikannya. Apindo tetap ngotot sesuai PP 78 dengan kenaikan 8,03 persen. Tapi rupanya dua pilihan itu dijadikan bahan untuk dilakukan voting sama pemerintah untuk dipilih,” ujar Rian Sinaga, Rabu (7/11).

Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Deliserdang ini mengatakan, pelaksanaan rapat pembahasan UMK yang dimulai pukul 15.00 WIB itu berjalan alot dan baru selesai pada pukul 18.00 WIB. “Sempatnya saya bilang kalau memang Apindo tidak percaya sama survei kita, silahkan saja turun ke lapangan.

Kepada bapak bupati kita meminta agar hasil rapat yang dibawa sama Depeda nanti dapat dikaji ulang lagi, karena buruh tidak dapat menerima hasil keputusan rapat. Kami juga berharap agar kiranya bapak bupati dapat bersedia menerima kami dalam waktu dekat ini. Persoalan UMK ini adalah bukan persoalan untuk satu orang, tapi untuk nasib 1 juta orang karena jumlah pekerja di Deliserdang ada segitu,” kata Rian.

Ketua Depeda Deliserdang, Mustamar SH MH mengakui kalau rapat pembahasan UMK yang dilakukan berjalan alot. Disebutnya, rapat sempat diskor karena tidak adanya kesepakatan antara aliansi buruh dan Apindo. Ia menyebut, rapat Depeda itu dihadiri 18 orang dimana selain perwakilan Apindo, pemerintah dan buruh juga diikuti oleh pakar hukum dan pakar ekonomi.

“Ya enggak bisalah bupati merekomendasikan ke gubernur dengan dua pilihan. Ya harus satu, makanya kemarin kita lakukan voting. Tapi itulah dari buruh, lima orang walk out tidak mau mengikuti voting. Mereka minta dua pilihan untuk dapat direkomendasikan ke gubernur. Ya karena enggak ada buruh jadi tinggal 13 orang dan saat kita lakukan voting yang sepakat dengan PP 78 ada 12 orang dan yang 10 persen kenaikannya hanya 1 orang,” ujar Mustamar yang juga merupakan Kepala Bidang Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) Dinas Ketenagakerjaan Deliserdang. (prn/btr)

Exit mobile version