Site icon SumutPos

Aksi 112 Dilarang

RAKA DENNY/JAWAPOS
Wapres RI Jusuf Kalla melakukan wawancara dengan Jawa Pos di kantor Wakil Presiden Jakarta.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO -Rencana aksi pada Sabtu (11/2) mendatang, mendapat tentangan dari banyak pihak. Termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengimbau masyarakat tidak perlu turun ke jalan untuk menggelar aksi damai.

Menurut JK, akan lebih baik bila semua orang bisa menahan diri jelang masa tenang Pilkada. Sebab, aksi massa dalam jumlah besar dikhawatirkan malah akan merusak suasana yang cenderung sudah tenang.

”Saya kira tidak perlu (aksi, red) jelang Pilkada. Kita menahan dirilah,” kata JK usai mengikuti rapat dengar pendapat umum tentang Undang-undang Kepalangmerahan di Komisi IX DPR, kemarin (8/2).

Selain karena dalam masa tenang, JK juga mengingatkan proses hukum saat ini sedang berjalan. Aksi massa yang melibatkan banyak orang juga berpotensi mempengaruhi proses hukum. ”Nanti kacau lagi proses hukum,” ujar Wapres.

Aksi yang dikenal 112 itu dianggap serial lanjutan dari demo 411 dan 212. Aksi 112 itu salah satunya dimotori Forum Umat Islam (FUI). Sedangkan aksi 411 dan 212 diprakarsai Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Isu yang diangkat dalam aksi 112 juga berkaitan dengan dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Polisi telah memberikan peringatan agar aksi tersebut tidak digelar. Surat pemberitahuan yang dikirimkan ke polisi itu tidak mendapatkan surat tanda terima pemberitahuan.

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir berharap aksi damai itu juga tidak perlu lagi dilaksanakan. Sebab, aksi itu bisa dianggap membuka ruang baru untuk saling berselisih. ”Tentang aksi damai itu kami sebenarnya berharap cukuplah ya berbagai macam aksi itu,” ungkap dia.

Dia menuturkan, berbagai aksi itu memang secara demokratis diberi keleluasaan alias tidak dilarang. Tapi, dalam situasi saat ini, terlebih mendekati pilkada 15 Februari akan lebih baik kalau semua orang bisa menahan diri. ”Kita semakin menciptakan kondisi untuk saling bisa berbagi dan menyelesaikan persoalan-persoalan secara lebih dewasa,” ujar dia.

Haedar mengungkapkan masyarakat Indonesia yang majemuk secara agama etnis golongan sebetulnya punya basis sosial kultural yang bagus. Dia juga menilai masyarakat relatif moderat sehingga bisa menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. ”Tetapi kalau titik-titik picu kemudaian ditambah dengan pilkada bahkan pak Wapres juga mengajak kita waspada,” ungkap dia.

Dia menuturkan masyarakat akan dihadapkan pada dinamika politik yang semakin panas. Bila kejadian itu terjadi semua pihak harus bisa mengendalikan diri. ”Kemudian berada dalam posisi untuk menciptakan suasana yang lebih kondusif,” harap dia.

Sementara, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menilai, larangan aksi 112 justru akan menyebabkan pergolakan massa yang lebih besar untuk ikut dalam aksi tersebut. Apalagi ada pernyataan Kapolda Metro Jaya, Irjen M Iriawan yang akan membubarkan paksa aksi tersebut jika tetap dilaksanakan.

Dahnil menilai, sikap Iriawan yang bernada ancaman tidak sepatutnya dilakukan. “Bahasa yang diucapkan Pak Iriawan tidak sepatutnya dilontarkan oleh seorang Kapolda. Kata-kata bernada ancaman akan membubarkan paksa dan sebagainya justru akan menyebabkan pergolakan massa yang lebih besar untuk ikut aksi tersebut,” kata Dahnil melalui pesan singkat kepada JPNN (grup Sumut Pos), Rabu (8/2).

Dahnil menegaskan, sebagai petinggi Polisi, seharusnya Iriawan bisa memahami kondisi umat beragama saat ini. Ia menganjurkan agar Polisi lebih bisa merangkul ormas dan para pemuka agama. “Saya kira pernyataan Iriawan seperti kurang memahami psikologis dan antropologis umat beragama di Indonesia saat ini. Sebagai pengayom masyarakat, sudah seharusnya polisi merangkul kegiatan umat beragama dalam mencari solusi terbaik, bukan dengan mengancam,” tutup Dahnil.

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menegaskan, Pemerintah dan Kepolisian tak berhak melarang masyarakat melakukan aksi. “Urusannya apa? Yang dilarang itu anarkistis,” kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/2).

Menurut dia, penyampaian pendapat baik lisan maupun tulisan dalam bentuk aksi oleh rakyat adalah kegiatan yang sah dan konstitusional. Tugas pemerintah dan kepolisian menjaga agar tidak ada provokator yang bisa membuat aksi menjadi tak kondusif dan anarkis.

“Intelnya diperkuat, jangan ada banyak provokator masuk. Jangan bikin provokasi. Tugas polisi dan pemerintah menjaga demo kondusif bukan melarang demo,” tegas Fahri
Menyikapi ini, Menko Polhukam Wiranto menegaskan, Pemerintah tidak pernah melarang siapa pun untuk melakukan aksi demonstrasi. Pasalnya, UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan hak bagi warga negara melakukan unjuk rasa.

Namun demikian, Pemerintah wajib mengarahkan agar demonstrasi yang dilakukan taat terhadap aturan yang berlaku. Wiranto mengklaim pihaknya melakukan langkah-langkah untuk melindungi kepentingan seluruh warga negara.

“Aksi apapun dan dari siapa pun silahkan, tetapi ada aturan mainnya. Intinya kebebasan silakan diekspresikan tetapi jangan mengganggu kepentingan masyarakat yang lain,” kata Wiranto.

Terkait dengan rencana aksi pada 11, 12 dan 15 Februari, Wiranto menyerahkan sepenuhnya kepada kepolisian. Namun, dia berharap agar minggu tenang Pilkada tidak digunakan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat mempengaruhi masyarakat.

“Minggu tenang itu didesign dalam Pemilu dimana memberikan satu waktu untuk masyarakat lebih tenang, lebih berkontemplasi untuk memilih siapa pemimpin terbaik yang harusnya mereka mereka pilih. Jangan mempengaruhi masyarakat,” pungkas mantan Panglima ABRI ini.

Sebelumnya Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan mengancam akan membubarkan aksi tersebut. “Sekali lagi saya imbau kepada yang akan melaksanakan aksi pada 11 Februari sebaiknya diganti dengan melakukan kegiatan lain, karena tanggal 15 akan Pilkada,” terang Iriawan.

Iriawan mengakui pihaknya sudah menerima surat pemberitahuan terkait aksi tersebut. Dari surat pemberitahuan, tanggal 11 Februari, massa yang akan berunjuk rasa melakukan pengumpulan massa di Istiqlal, Shalat Subuh. Lanjut berjalan kaki ke Monas. Dari Monas berjalan kaki lagi ke Bundaran HI lalu kembali ke Monas baru kemudian membubarkan diri.

Selanjutnya pada tanggal 12 Februari 2016, massa kembali akan berkumpul di Masjid Istiqlal untuk membaca dan menamatkan (khataman) Al Quran. Nah, pas di tanggal 15 Februari mereka juga berencana melakukan Shalat Subuh bersama di Masjid Istiqlal dan di masjid-masjid lainnya.

“Lalu mereka bersama-sama berjalan kaki ke TPS masing-masing. Mereka akan mencoblos dan mengawasi TPS. Padahal kita semua tahu TPS sudah ada yang mengawasi,” papar Iriawan.

Terpisah, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), KH Ahmad Shobri Lubis meluruskan kabar yang menyebutkan bahwa pihaknya batal melakukan aksi jalan kaki alias longmarch 11 Februari nanti (aksi 112). “Tidak benar (berita FPI tidak long march), kita tetap aksi (112),” kata Shobri saat dikontak, Rabu (8/2).

Dia menegaskan, apa yang disampaikan Ketua Tanfidzi DPD FPI DKI Abuya KH Abdul Majid tidak benar. Aksi 112, kata Shobri, dikoordinatori oleh Forum Umat Indonesia (FUI), sehingga FPI yang merupakan bagian dari forum tersebut akan tetap ikut aksi 112 di kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat.

“Itu koordinator FUI dan kita bagian dari itu, jadi tetap aksi 11 Februari,” ujarnya.

Sementara itu, Polisi telah memastikan larangan ataupun izin keramaian terkait rencana Aksi Serentak Bela Ulama Bela NKRI pada 11 Februari mendatang. Meski demikian, pihak pengamanan Polda Metro Jaya (PMJ) gabungan tetap akan disiagakan sebagai langkah preventif munculnya aksi tersebut.

“Kita PMJ telah berkoordinasi dengan KPU DKI, Panwaslu, TNI, dan gubernur bahwa tanggal 11 (Februari) itu dilarang untuk turun ke jalan. Kita akan persiapkan semua. Kita turunkan personel pengamanan,” tegas Kabid Humas PMJ Komisaris Besar Argo Yuwono kepada wartawan, Rabu (8/2).

Pihak PMJ, kata Argo, telah menerima surat pemberitahuan terkait rencana aksi yang berlokasi di kawasan Sudirman hingga Bundaran HI tersebut.

Hanya saja, tidak ada izin bagi massa yang bernaung pada GNPF MUI itu untuk menggelar aksinya. Termasuk, aksi gerak jalan ataupun salat berjamaah. “Ormas itu (GNPF-MUI) sudah memberikan surat pemberitahuan ke kepolisian. Tapi kan tidak kita izinkan. Sudah kita komunikasikan bahwa 11 Februari kita tidak mengizinkan. Kalau salat di masjid silakan saja ya. Tapi, kalau turun ke jalan tidak diizinkan karena mengganggu ketertiban umum,” tegas alumni Akpol 1991 tersebut.

Lalu, bagaimana dengan upaya preventif Polri di Polda jajaran terhadap para pengunjuk rasa asal daerah? “Semuanya kita komunikasikan. Kita harap juga FPI imbau masyarakat untuk tidak turun ke jalan. Jadi, kita saling komunikasi yang penting kegiatan itu tidak dilaksanakan dan pilkada dapat berjalan lancar,” pungkas Argo. (rmol/jpg/adz)

Exit mobile version