Site icon SumutPos

Mantan Napi Boleh Ikut Pilgubsu

PEMBICARA: Komisioner KPUD Sumut Divisi Teknis, Benget Silitonga (paling kanan), Pemerhati Politik, Bhakrul Khair Amal (tengah), Komunisioner KPUD Sumut Divisi Hukum, Evi Novida Ginting (kiri) saat menjadi pembicara saat diskusi di Media Centre KPUD Sumut, Rabu (8/3).

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Menjelang pemilihan calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) Sumut, sudah sejumlah nama bermunculan. Ada yang berasal dari kalangan partai politik (Parpol) dan ada juga nama mantan kepala daerah yang pernah tersandung persoalan hukum ikut mencuat kepermukaan. Sebut saja mantan wakil kota, Abdillah serta mantan gubernur, Syamsul Arifin.

Komisioner KPUD Sumut Divisi Teknis, Benget Silitonga mengatakan, secara aturan mantan narapidana (napi) diperkenankan atau diperolehkan untuk mengikuti Pilkada. Namun, untuk status terpidana yang memperoleh bebas bersyarat tidak diperkenankan.

“Kalau bebas bersyarat artinya kan statusnya masih terpidana, hanya sudah bebas, itu tidak boleh ikut atau menjadi peserta Pilkada,” ujar Banget saat diskusi di Media Centre KPU Sumut dengan tema Mantan Napi Bolehkah Ikut Pilgubsu, Rabu (8/3).

Banget menjelaskan, mantan napi dikategorikan menjadi dua. Pertama, mengikuti Pilkada setelah 5 tahun bebas dari hukuman. Kedua, mantan napi yang belum 5 tahun bebas dan mengikuti Pilkada.

“Kalau kategori pertama tidak ada bedanya dengan masyarakat pada umumnya. Sedangkan kategori kedua, harus jujur di depan publik,” jelas Benget.

Berdasarkan UU 10/2016 dan P-KPU 9/2016 disebutkan bahwa berkata jujur di depan publik itu dengan membuat pengumuman di media massa. “Nanti media membuat pengumuman bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi kesalahan yang telah dibuatnya, dan pemimpin redaksi di media itu membuat surat pernyataan telah menerbitkan pengumuman itu dan dilampirkan bukti pemberitaannya,” paparnya.

Komisioner KPUD Sumut Divisi Hukum, Evi Novida Ginting menyebut ada latar belakang di balik putusan MK, yang mengategorikan dua napi ketika hendak mengikuti Pilkada.

“Kalau mantan narapidana itu ikut Pilkada 5 tahun setelah dinyatakan bebas, maka perlakuannya akan sama dengan masyarakat biasa. Karena MK menilai mantan narapidana telah memperbaiki namanya setelah 5 tahun. Jika sebelum 5 tahun bebas, namun mantan narapidana ingin ikut pilkada, maka harus berlaku jujur, dan itu tata caranya sudah diatur di P-KPU 9/2016,” jelas Evi.

Evi juga meminta kepada seluruh cagub dan cawagub nanti untuk jujur mengenai statusnya, apakah pernah menjadi narapidana atau tidak. Sebab, ketika sudah dinyatakan atau ditetapkan sebagai pasangan calon (paslon) dan ketahuan pernah menjadi narapidana atau terpidana, maka akan mengganggu tahapan yang telah dibuat.

“Contohnya Pilkada Simalungun, penundaan itu karena Amran Sinaga tidak jujur, terjadi penundaan, kita tidak ingin itu terjadi,” pungkasnya.

Sementara, Pengamat Politik dari Unimed, Bakhruk Khair Amal menyebut bahwa putusan MK No 42/PUU-XIII/2015 memperbolehkan mantan narapidana maju sebagai kandidat tanpa jeda waktu 5 tahun. “Secara aturan mantan narapidana diperkenankan untuk ikut Pilgubsu,” ujarnya.

Bahkan, kata dia, ada trend dimana seseorang mampu memenangkan kontestasi Pilkada 2015 dengan status tersangka, terdakwa serta terpidana.

“Di Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, calon dengan status tersangka menang dengan persentase 52,5 persen. Gubernur Gorontalo dengan status terpidana juga berhasil menang dengan persentase 50,65 persen, bupati di Lampung serta bupati di Jepara juga menang dengan status tersangka,” ucapnya.

“Di Jakarta, calon gubernur dengan status terdakwa juga berhasil menang di putaran pertama. Jadi bagaimana masyarakat menilai sosok yang akan maju menjadi calon kepala daerah, menang keputusan akhir ada di tangan masyarakat yang memiliki hak pilih,” bebernya.

Parpol, menurut Bakhruk, punya peranan kunci masuknya orang-orang baik tersangka, terdakwa, mau pun mantan narapidana bisa maju di Pilkada karena pencalonan butuh kursi parpol selain juga jalur perseorangan. “Karena seringkali bagi Parpol dalam kontestasi politik, yang penting itu adalah menang atau kalah bukan pantas tidak pantas. Kalau penyelenggara punya lembaga etik, Parpol tidak,” terangnya.

Peran dari parpol, diakuinya juga sangat penting didalam melakukan penjaringan calon kepala daerah. Namun, keputusan akhir mengenai siapa calon yang akan diusung berada di tangan ketua umum partai. “Parpol juga harus jeli menjaring calon kepala daerah yang berstatus terdakwa, tersangka, serta mantan narapidana,” katanya. (dik/yaa)

 

Exit mobile version