Site icon SumutPos

‘Centre Point’ Mulai Panik

FOTO: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Gedung Centre Point berdiri megah di Jalan Jawa Medan Medan, Senin (1/9). Bangunan gedung ini disinyalir belum memiliki IMB.
FOTO: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Gedung Centre Point berdiri megah di Jalan Jawa Medan Medan, Senin (1/9). Bangunan gedung ini disinyalir belum memiliki IMB.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penetapan Kepala Kantor (Kakan) Pertanahan Medan Dwi Purnama SH MKn sebagai tersangka oleh Poldasu terus menuai kecaman. Pasalnya, Poldasu terkesan ‘memaksa’ menetapkan status tersangka itu hanya gara-gara sang Kakan ogah menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) untuk pembangunan komplek Centre Point. PT Agra Cipta Kharisma (PT ACK) sebagai pemilik Centre Point pun dinilai mulai panik hingga menekan pihak kepolisian.

“Yang jelas ini bukti kepanikan PT ACK dalam menghadapi kasus sengketa lahan,” tegas Manajer Humas PT Kereta Api Indonesia Wilayah I Sumut-Aceh, Jaka Jakarsih, kemarin (8/10).

Itulah sebab, Jaka menyebutkan penetapan status tersangka kepada Kakan Pertanahan Medan merupakan bagian dari proses kepanikan PT ACK yang menguasai penuh lahan di Jalan Jawa. “Tekanan dari PT ACK kepada pihak Kepolisian dalam permasalahan ini sangat terlihat jelas,” tambahnya.

Jaka menyebutkan, Kantor Pertanahan yang untuk level nasional disebut Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan bagian dari pemerintah dan PT KAI juga termasuk salah satu instansi pemerintah. Selain sesama instansi pemerintah, kata dia, tentu ada pertimbangan lain dari Kakan tersebut yang belum juga bersedia menerbitkan sertifikat HGB terhadap lahan yang sudah berdiri komplek Center Point tersebut. “Kasus ini baik secara perdata dan pidana sudah ditangani masuk keranah hukum. Untuk kasus pidana ditangani Kejaksaan Agung dan melibatkan dua mantan Wali Kota Medan. Sedangkan kasus perdata nya masih tahap proses peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA),” jelasnya.

Sebelumnya di Jakarta, Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, jika penetapan tersangka karena tak mau menerbitkan HGB untuk PT ACK dalam urusan proyek Medan Center Point, jelas penyidik Poldasu ngawur.

“Jika demikian adanya, saya mengecam keras. Polisi yang menyidik hingga pimpinannya harus dilaporkan ke Kompolnas,” ujar Iwan Nurdin kepada Sumut Pos, kemarin (8/10).

Dijelaskan Iwan, BPN atau di daerah Kantor Pertanahan merupakan instansi yang mendapat kewenangan dari negara untuk menerbitkan hak atas tanah. Kewenangan itu diatur dalam UU Pokok Agraria, dan juga PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, HGB dan hak pakai.

“Polisi tidak memiliki kewenangan hukum menahan pejabat publik karena tidak menjalankan wewenangnya dari negara karena pertimbangan hukum yang dimiliki oleh pejabat publik tersebut. Apalagi jelas-jelas tanah sedang bersengketa dan tanah tersebut adalah aset negara,” terang Iwan.

“Jika dinyatakan masih sengketa, maka secara hukum tidak dapat diterbitkan sertifikat hak atas tanah di atasnya,” imbuh Iwan.

 

Diketahui proses penyidikan kasus sengketa lahan di proyek Centre Point masih terus berjalan di Kejaksaan Agung. Perkembangan terakhir, pada 2 Oktober 2014, penyidik Kejagung memanggil dan meminta keterangan terhadap dua tersangka, yakni mantan wali kota Medan Abdillah dan bos PT ACK, Handoko Lie.

Kapuspen Kejagung Tony Spontana menjelaskan, Abdillah dan Handoko datang memenuhi panggilan. Untuk tersangka Abdillah, Tony menjelaskan, pemeriksaan terkait kronologis terjadinya persetujuan perubahan Hak Guna Bangunan milik PT. Kereta api Indonesia (dulu Perumka) dari PT Bonauli Real Estate kepada PT Agra Citra Kharisma (ACK) oleh Pemko Medan.

Sedang kepada Handoko, penyidik meminta keterangan seputar kronologis permohonan hingga terjadinya persetujuan perubahan kepemilikan HGB dimaksud. “Serta bagaimana perusahaan tersangka mendapatkan persetujuan permohonan perpanjangan HBG Tanah milik PT Kereta api Indonesia tersebut,” ujar Tony.

Seperti diketahui, selain Abdillah dan Handoko, satu lagi tersangka kasus ini adalah Rahudman Harahap, yang juga mantan wali kota Medan.

Sementara Ketua Fraksi PKS DPRD Medan, Muhammad Nasir, mengaku bingung dengan alasan penetapan status tersangka kepada Kakan Pertanahan Medan. Di sisi lain, dia bangga dengan sikap sang Kakan karena berani mengikuti aturan. “Kasus ini sedang bergulir baik di tingkat perdata dan pidana, selain itu aset PT KAI yang saat ini dikuasai Center Point masih tercatat sebagai aset negara, sepertinya ini tindakan kriminalisasi dari pihak kepolisian kepada BPN,” katanya.

Kasus sengketa lahan, kata dia, seharusnya tidak dapat dibawa ke ranah hukum pidana karena permasalahan ini masuk ke dalam hukum perdata. “Tidak ada unsur pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Kepala BPN (Kakan Pertanahan Medan, Red) kalau persoalan ini dipermasalahkan harusnya dibawa ke ranah hukum perdata,” tegas mantan anggota DPRD Sumut itu.

Konsultasi dengan Profesor

Sementara pihak Poldasu tetap ngotot kalu penetapan status tersangka terhadap Kakan Pertanahan Medan, Dwi Purnama SH MKn, dan Kepala Seksi Pemberian Hak-Hak pada Kantor Pertanahan Kota Medan, Hafizunsyah, sudah sesuai prosedur. Bahkan, sebelum status tersangka itu ditetapkan, Poldasu terlebih dahulu berkordinasi dengan Kejaksaan dan juga ahli pidana.

“Ahli pakar pidana yang kita ajak kordinasi sebelum penetapan tersangka itu, bertitel profesor dan rektor. Tidak hanya Poldasu, Polda Metro Jaya dan Mabes Polri juga menggunakan profesor itu untuk berkordinasi. Begitu juga dengan kejaksaan memberi masukan pada kita, untuk penerapan pasal dan barang bukti yang harus dilengkapi, ” ungkap Helfi dengan nada tinggi, Rabu (8/10) pagi.

Perwira polisi dengan pangkat 2 melati di pundak itu mengaku kalau pihaknya tidak sembrono dalam penetapan tersangka itu. Namun, Helfi tiba-tiba memutus pernyataannya itu. Dengan nada suara yang mulai tenang, Helfi mengatakan pengadilan yang akan memutuskan bersalah atau tidak kepada Dwi Purnama SH MKn danHafizunsyah.

“Kita jangan memikirkan kepentingan sepihak. Ini untuk kepentingan orang banyak. Mereka sudah sewenang-wenang menggunakan jabatan dan kekuasaan mereka. Bagaimana kalau masyarakat kecil yang menjadi korbannya. Ini karena kebetulan saja perusahaan yang menjadi korbannya,” tegas Helfi.

Sementara itu, pemeriksaan terhadap Dwi Purnama SH MKn dan Hafizunsyah yang sudah dijadwalkan pada Rabu (8/10), batal dilaksanakan. Pasalnya, kedua tersangka tidak menghadiri panggilan yang sudah dilayangkan polisi sebelumnya. “Yang bersangkutan meminta supaya dilakukan gelar perkara di Mabes Polri. Namun itu sah-sah saja karena sebagai pembinaan fungsi dan tetap kordinasi. Untuk salah atau tidaknya yang bersangkutan, itu urusan persidangan,” ujar Helfi. (ain/sam/dik/rbb)

Exit mobile version