Site icon SumutPos

Pemilu Filipina: Si Django yang Jadi Presiden

Photo by Jansen Romero Rodrigo Duterte, melenggang mulus ke kursi Presiden Filipina.
Photo by Jansen Romero
Rodrigo Duterte, melenggang mulus ke kursi Presiden Filipina.

WAJAHNYA terlihat lelah. Beberapa kali pria 71 tahun tersebut mengusap mukanya yang berkeringat. Kulit wajahnya memerah dan kantung matanya terlihat tebal. Bajunya pun baju yang sama dikenakan sejak pagi. Lelah, namun senyumnya terus tersungging. Lelah, tapi terasa rileks. Sebab, hasil semua quick count menunjukkan bahwa Rodrigo Roa Duterte, nama pria itu, yang bakal melenggang ke Istana Malacanang.

Dirinya tampak lebih kalem ketika pertama kali diwawancarai Jawa Pos (Grup Sumut Pos) tujuh tahun lalu. Ketika itu, Jawa Pos menulis features bersambung tentang cara uniknya mengelola kota yang tidak biasa.

Yakni, dengan menerapkan tangan besi kepada para bandit, menjamin keamanan, dan menjadikan Davao sebagai kota paling tertib di Filipina. Di jalanan Kota Davao, tak akan ada yang berani melajukan kendaraan melebihi 30 km per jam. Tak peduli itu taksi atau angkot sekalipun. Angkot kuno pun tak bobrok. Karena uji emisi sangat ketat di Davao. SIM bisa dibanned bertahun-tahun.

Polisi pun tak ada yang berani macam-macam. Pernah, Duterte menghajar polisi yang menganiaya rakyatnya. Di depan korban yang melaporkannya. Alasannya biar adil. Dia tak segan-segan mengumumkan di TV bahwa ada sejumlah bandit yang pantas mati. Dan tiga hari kemudian, mereka benar-benar mati. Gayanya persis karakter koboi Django, dan Jawa Pos memberinya julukan “Django”. Ketika diungkapkan padanya, Duterte langsung terbahak-bahak. ”Well, it quite representating,” ucapnya, kemudian tertawa lagi.

Namun, dia juga sosok yang otoriter. Dia menyatakan tak peduli parlemen, asalkan bisa cepat berbuat. Komentarnya sarkastis, dan kecenderungannya anti demokrasi. Juga memelihara politik dinasti. Dia menjadi Wali Kota Davao lebih dari 22 tahun. Tak ada yang berani mengusik, meski keluarganya terindikasi melakukan KKN.

Dua sisi Duterte itulah yang sempat membuat eskalasi politik di Filipina menghangat. Bagi kalangan mapan, menengah perkotaan, dan non-Mindanao, dia adalah sosok otoriter yang jadi ancaman demokrasi. Tapi, bagi masyarakat miskin, terutama di Mindanao, dia adalah santo. Dalam 22 tahun kepemimpinannya, Davao diubahnya dari kota dengan tingkat pembunuhan tertinggi menjadi nyaris nol dalam tahun-tahun terakhir. Bukan hanya keamanannya, fisiknya pun terlihat. Davao menjadi kota sangat modern, jauh meninggalkan kota-kota lainnya di Mindanao.

Bagi masyarakat Davao, Duterte adalah malaikat. Ini terlihat ketika kemarin usai mencoblos di kawasan Daniel R. Aguinaldo National High School at Matina district, kampung halamannya. Lebih dari 30 ribu pendukungnya mengiringi, sehingga untuk melewati jalan sepanjang 300 meter itu butuh waktu satu jam bagi rombongannya. ”Lihat, wajah-wajah itu. Mereka menginginkan perubahan,” kata Duterte kepada George Sacar, salah seorang staf ahlinya.

Kendati sering mengeluarkan pernyataan kontroversial, tapi tadi malam Duterte bersikap negarawan. Pernyataannya kalem dan berhati-hati. ”Saya pikir adalah hal biasa soal kalah menang dalam pemilu,” ucapnya. Duterte juga menyebut bahwa ada semacam takdir. ”I believe in destiny,” katanya.

Di dalam media centernya di Hotel Royal Mandaya, Duterte sempat menerima Jawa Pos untuk sebuah wawancara khusus.

Dalam kalimat yang singkat, Filipina seperti apa dalam enam tahun ke depan setelah masa kepresidenan anda?
Filipina yang kuat, bersih, dan aman. (Dia lalu menjelaskan bahwa tiga kata itu mewakili sesuatu yang sangat luas. Seperti kuat itu adalah termasuk juga tidak ada lagi kelompok separatis dan solid sebagai sebuah negara. Bersih bukan hanya lingkungannya, tapi juga pemerintahannya).

Bagaimana anda melihat Indonesia, dan apa yang akan anda lakukan pertama kali dengan Presiden Jokowi?
Kami sangat memandang Indonesia sebagai partner yang strategis untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan regional. Indonesia termasuk negara pertama yang akan saya datangi. Saya optimis bisa bekerjasama baik dengan Presiden Jokowi.

Hingga detik ini (kemarin, Red) masih ada empat WNI yang menjadi sandera kelompok Abu Sayyaf. Juga beberapa warga negara lainnya. Bagaimana anda menyelesaikan permasalahan itu?
Soal keamanan adalah yang nomor satu. Orang banyak bilang bahwa sesungguhnya masalah utama Filipina bukanlah resesi atau infrastruktur. Tapi, masalah keamanan. Hanya, saya melakukan pembedaan jenis kriminal dan penanganannya.

Pembedaan?
Betul. Jika para bandit jalanan sepeti perampok, pedagang narkoba, pembunuh, saya tak peduli disebut melanggar HAM. Saya akan melakukan seperti apa yang saya lakukan di sini (Davao, Red). Sebaiknya, jangan melakukan hal itu di Filipina. Saya akan membunuh mereka.

(Di Davao, meski tak pernah mengakuinya secara resmi, Duterte membentuk paramiliter gelap bernama Davao Death Squad. Mereka melakukan apa yang di Indonesia disebut petrus).

Lalu bagaimana dengan Abu Sayyaf?
Jika kelompok itu masalahnya lain. Akar permasalahannya berbeda. Ada kesenjangan kesejahteraan, ada pendidikan ideologi, kompleks. Tapi, jelas, saya akan menghentikan dan menghapus kelompok-kelompok seperti itu. Beri saya waktu, pasti akan saya bereskan.

Soal sandera, saya tidak berani menjanjikan akan bisa membebaskan. Tapi, saya menjamin kami akan sekuat tenaga untuk membebaskan mereka. Bukan hanya Indonesia saja, tetapi juga sandera dari negara lain.

Untuk kebijakan luar negeri, terutama soal Laut Cina Selatan, masyarakat Filipina menginginkan reaksi yang lebih kuat. Apa yang akan anda lakukan?
Jelas saya akan meresponnya lebih kuat. Termasuk opsi untuk meminta Amerika membuat pangkalan di sini (Filipina) akan dipertimbangkan. Tapi, langkah pertama saya justru akan mengajak negara-negara yang bersengketa dengan Tiongkok, terutama Indonesia, untuk menjadi mitra penyelesaian. (*/ano/jpg/ril)

Exit mobile version