Site icon SumutPos

Diskusi Membedah UU Kesehatan, Pelayanan Kesehatan Dihantui Bisnis Negara Asing

Prof. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp.BS(K).(ist/SUMUT POS)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Undangan-undangan Kesehatan secara resmi disahkan Pemerintahan Indonesia dan DPR RI. Pengesahan tersebut dalam Rapat Paripurna ke-29 DPR masa persidangan V tahun sidang 2022-2023. Hanya saja pengesahan tersebut menuai kontroversi.

Banyak pihak menilai UU kesehatan yang disahkan tersebut bertentangan serta membuka peluang besar masuknya institusi kesehatan asing dan mengancam keberadaan institusi kesehatan di Indonesia.

Hal itu diungkapkan oleh Prof Dr dr Ridha Dharmajaya, Sp.BS(K) dalam diskusi bersama Sekretaris Serikat Buruh Merdeka Indonesia (SBMI) Sumut, Syaiful Amri di Restoran JM Bariani, Kota Medan, Rabu (9/8). Prof Ridha merupakan tenaga ahli kesehatan dengan bidang ilmu Bedah Saraf, menilai UU yang terdiri dari 20 bab dan 478 pasal itu banyak melahirkan pertentangan.

“Mulai dari pendidikan kesehatannya. Kemudian belum lagi masalah tentang jadi super body-nya Kementrian Kesehatan terhadap ikatan dokter, atau katakan ya organisasi profesi. Jadi itu tidak memungkinkan untuk dijalankan sebenarnya,” jelas Prof Ridha.

Lebih lanjut, Prof Ridha menyampaikan, masalah mandatory spending yang dihapuskan.”Jadi nanti gak ada lagi kewajiban pemerintah untuk membantu institusi pelayanan kesehatan atau rumah sakit atau klinik-klinik pemerintah. Akhirnya institusi tadi harus bisa membiayai dirinya sendiri. Padahal pelayanan kesehatan itu adalah kewajiban pemerintah,” ujarnya.

Selain itu, Prof Ridha menyatakan, dampak yang hadir dari UU Kesehatan adalah institusi pelayanan kesehatan tidak lagi berpikir sebagai pelayanan masyarakat. Tapi, berpikir sebagai satu perusahaan milik negara akhirnya.

“Kalau mereka gak mampu gimana? Bisa hancur atau di situlah masuk institusi-institusi asing yang akan mengambil peran atau share bagi saham atau apalah. Akhirnya pelayanan kesehatan di Indonesia itu adalah bagian dari (atau dihantui) bisnis negara asing,” ungkap Prof Ridha.

Untuk itu dirinya meminta agar pemerintah segera membatalkan UU kesehatan.”Solusi terbaiknya adalah batalkan UU Kesehatan,” tegas Prof Ridha.

Sementara itu, Serikat SBMI Sumut, Syaiful Amri mengungkapkan tak hanya mengancam institusi pelayanan kesehatan, UU Kesehatan Omnibus Law No 06 Tahun 2023. Menurutnya tak berpihak kepada buruh.

“Buruh yang baru sekarang ini, perusahaan tidak wajib mendaftarkan dia dan keluarganya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Itu hal yang kami tentang di luar daripada pasal-pasal kontroversi menurut para tenaga ahli kesehatan,” tutur pria yang akrab disapa Amri itu.

Selain itu banyak juga pasal-pasal yang dianggap bertentangan pada pasal UU Omnibus law. Dari keberpihakan kepada pengusaha, mempermudah keberadaan buruh asing, hingga hak pekerja yang mulai terabaikan.

“Pasal yang paling menonjol dalam PP 34, 35, 36 dan 37 sangat merugikan bagi kami. PP 34 contohnya, pekerja asing di mana dulu hanya boleh ditempatkan bidang tertentu tapi sekarang semua bidang bisa dan tidak mensyaratkan tenaga asing berbahasa Indonesia. Akhirnya banyak komunikasi tidak berjalan dan berdampak kepada produksi yang bisa berujung pada kekisruhan,” ucap Amri.

Undang-undang sekarang, kata Amri, mempermudah tenaga kerja di-PHK. Sebelumnya, Penempatan buruh kontrak yang diatur dalam PP 100 Tahun 2004, hanya boleh di tempat tertentu.

Selain itu, buruh hanya boleh dikontrak dua tahun diperpanjang setahun lalu dijadikan karyawan tetap. “Sekarang kontraknya 5 tahun dan diperpanjang 5 tahun. Jadi boleh dikontrak 10 tahun dan semua sektor diperbolehkan. Mempermudah perusahan memutus kontrak buruh,” ucap Amri.

Jika dikatakan hal ini merupakan solusi terbaik untuk pengangguran, kata dia, adalah salah. Sebab, data yang mereka peroleh dari terbitnya UU tersebut, sudah 300 anggota mereka di-PHK. “Jadi ini bukan memperbaiki,” pungkas Amri.(gus/ila)

Exit mobile version