Site icon SumutPos

Prostitusi Berkedok Spa & Pijat Menjamur di Medan

Foto: Riadi/PM Spa Fortuna di Jalan Biduk Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan. Spa sejenis menjamur di Medan.
Foto: Riadi/PM
Spa Fortuna di Jalan Biduk Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan. Spa sejenis menjamur di Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Praktek prostitusi berkedok panti pijat dan spa bukan rahasia umum lagi di Medan. Beberapa tahun belakangan, bisnis esek-esek ini bertumbuh pesat bak jamur di musim penghujan. Mirisnya, keberadaan mereka terkesan dilegalkan, dan disinyalir jadi ‘tabungan’ berjalan bagi pemerintah dan aparat setempat.

Saat ini saja, ada 41 lokasi spa dan 33 panti pijat legal yang tersebar di tiap sudut dan tengah kota. Jumlah itu belum termasuk yang ilegal alias tak terdaftar di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Medan.

Hasil penelusuran, hanya 10 dari 100 persen lokasi panti pijat dan spa yang tak menyediakan layanan plus-plus. “Memang tak semua, adalah beberapa diantaranya yang murni spa dan pijat. Tapi jaranglah. Pengalamanku selama ini, 90 persen lokasi itu menyediakan layanan gituan,” aku Johan (36), salah seorang warga Medan yang hobi keluar masuk panti pijat dan spa.

“Aku berani bicara gini karena semua tempat spa dan panti pijat sudah aku masuki. Memang aku hobi yang ginian. Maklumlah, seharian kan saya capek kerja, jadi butuhlah yang gituan,” bebernya.

Dia memaparkan, sebagian panti pijat dan spa banyak yang nyata-nyata menawarkan layanan plus-plus. “Artinya, saat kita datang ke lokasi itu, mereka langsung menawarkan wanita untuk begituan. Kita tinggal pilih yang kita suka,” ucap Johan.

Tapi ada pula panti pijat dan spa yang menyamarkan layanan prostitusinya dengan berbagai bentuk paket. Tetap saja transaksi seks dapat berlangsung mengiringi paket-paket itu.

Menurut dia, praktik pelacuran ini tidak berbeda dengan di tempat lain. Hanya, kemasannya dibuat seolah legal. Mereka menawarkan satu paket servis sampai full service, VVIP room, VIP room dan standart room. “Biasanya paket mereka yang full service itu hanya sampai pemijatan alat vital. Biar mereka aman, untuk begituan, tidak ada yang namanya menjual perempuan. Kita dibiarkan negosiasi dengan wanita yang mereka sebut terapis. Sebenarnya terapis ini praktiknya PSK,” jelasnya.

Harga yang harus dibayar pengguna jasa bergantung panti pijat atau spa. Semakin besar nama dan mewah fasilitasnya, maka harganya pun semakin mahal. Biaya ini, biasanya sudah ditetapkan panti pijat dan spa. Bisanya untuk dilayani sesuai paket yang disediakan, pengunjung umumnya harus merogoh kocek Rp 200.000-Rp 1.500.000.

Lalu apa tindakan pihak Disbudpar Kota Medan terhadap panti pijat dan spa yang menyalahi izin ini? Kepala Seksi (Kasi) Tempat Hiburan Umum Disbudpar, Baginda Uno Harahap yang ditemui Selasa (9/9) mengaku, saat ini ada 41 tempat spa dan 33 panti pijat (termasuk oukup dan pijat refleksi) yang terdaftar.

Dijelaskan Uno, tetiap usaha hiburan di Medan wajib memiliki izin usaha dari Disbudpar yaitu Berupa Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP). Tidak seperti sebelumnya yang harus 1 tahun sekali tanpa biaya apa pun. Pengurusannya pun cukup 3 tahun sekali. Namun, sebelum mendapatkan TDUP, penanggung jawab usaha harus mengurus izin gangguan (HO) dari BPPT dan mendaftar sebagai wajib pajak baru ke Dispenda Kota Medan. Setelah dua berkas ini terpenuhi, maka TDUP pun akan dikeluarkan.

“Di dalam pengurusan HO itu nantinya akan diminta seperti surat keterangan Lurah, rekomendasi Kesbanglimas, akte perusahaan, PBB, pas foto, KTP penanggung jawab, NPWP perusahaan/pribadi, status hak sewa dan beberapa hal lainnya. Nah, ini semua juga kami minta tapi cukup fotocopy-nya saja,” ujarnya. Uno mengatakan pihaknya juga melakukan tindakan preventif (pencegahan) agar tempat hiburan spa/panti pijat berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk itu ada kewajiban yang harus dipenuhi tempat pengusaha panti pijat dan spa.

“Nah jadi dilihat di tempat spa yang ada apakah dari segi tempat aktivitas sudah memenuhi itu tidak. Kalau sesuai dengan persyaratan kami tapi tetap terjadi asusila maka itu sudah masalah di pelakunya,” elaknya.

Jadi apa tindakan Disbudpar bagi pelaku usaha yang melanggar? Menurut Uno, Disbudpar memiliki sanksi atas tiap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak usaha. Ada 6 tahap yang akan dilakukannya jika tempat usaha hiburan melanggar ketentuan yang berlaku.

Pertama, pihaknya akan lakukan pemanggilan. Kedua, membuat berita acara pemanggilan. Ketiga, monitoring khusus. Keempat, jika tetap buka maka dibekukan 14 hari. Kelima, jika masih buka juga akan dibekukan 3 bulan. Keenam, jika tetap buka juga akan dicabut izinnya. Panggilan secara tertulis yang berisi teguran. Lalu jika 3 kali disurati, pihak usaha tetap membandel, maka Disbudpar akan melakukan pembekuan sementara kepada usaha hingga pencabutan atau pembatalan izin usaha. Minimal 14 hari pihak usaha dapat mengajukan izin kembali.

“Tapi bisa lebih dari 14 hari. Kalau udah bebas dari pembekuan itu dia bisa ajukan izin lagi. Tapi itu pun dia harus dilihat apakah mampu membenahi kelalaian mereka,” ungkapnya.

Lalu kenapa sampai saat ini lokasi panti pijat dan spa masih menyediakan layanan plus-plus? Uno berdalih pihaknya tak sangguh memantau satu persatu tempat hiburan. “Waktu kami monitoring ga buka tapi setelah kami pergi bisa jadi buka. Tapi kami nggak tahu. Penertiban ini kan nggak kayak makan cabai,” dalihnya.

Selama ini Uno mengaku pihaknya melakukan monitoring secara berkala dengan mengecek langsung ke lokasi setiap bulannya secara acak. Lalu pihaknya juga melakukan monitoring lewat media massa. “Kalau kita bicara spa ya itu tadi bisa dilihat dari bentuk apanya kayak apa. Kalau narkoba dan prostitusi, ya bisa saja transaksi antara pengunjung, tapi pengusahanya nggak tahu,” elaknya.

Sebagai tindakan preventif, Disbudpar katanya mengeluarkan peraturan baru berupa kartu tanda pengenal tenaga kerja usaha pariwisata yang harus dikenakan saat bertugas. Tenaga kerja yang dimaksud adalah: pramu minuman atau bartender, disc jokey (DJ), pramusaji (waiters), security, pramu pijat/tenaga terapis, pramuria, pemandu lagu, instruktur fitnes, receptionist dan kasir, serta tenaga kerja pariwisata lain yang telah ditetapkan oleh Walikota Medan.

Selain itu, dalam peraturan baru yang ditetapkan belum lama ini juga mengatur larangan memakai tenaga kerja di bawah umur dan/atau tenaga kerja asing yang tidak memiliki izin sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. “Kami sebagai petugas Disbudpar saat melakukan pemeriksaan di lapangan juga harus dilengkapi dengan identitas resmi berupa surat perintah tugas atau tanda pengenal petugas pengendalian dan pengawasan Disbudpar,” tandasnya.

Uno sah-sah saja membela diri. Tapi kenyataan di lapangan, panti pijat dan spa secara terang-terangan menyediakan layanan plus-plus tanpa ada penindakan. (win/deo)

Exit mobile version