Site icon SumutPos

Sudah Bodong, Tunggak Pajak Lagi

Tim Olah TKP meninjau kondisi Alfamart pasca dimaling.
Salahsatu Alfamart di Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Selain banyak yang tak memiliki izin, ternyata minimarket yang menjamur di Kota Medan juga menunggak pajak bumi bangunan (PBB). Hal ini diungkapkan Kepala Bidang (Kabid) Bagi Hasil Pendapatan (BHP) Dispenda Kota Medan, Zakaria S.Kom, Senin (9/11).

“Umumnya Alfamart dan Alfamidi menunggak PBB dalam lima tahun terakhir,” ujarnya. Menurut Zakaria lagi, dari 181 yang terdaftar dari pajak plang di Dispenda, tidak semua gerai toko modern ini memiliki wajib pajak. Bahkan, hanya sedikit saja yang terdaftar WP PBB.

“Sangat sedikitlah. Dari 181 terdaftar plang, 143 Alfamart hanya 29 WP PBB atas nama Hartono Kurniawan, BA, 29 Alfamidi hanya 8 WP atas nama Aris terdaftar PBB dan 9 Indomaret tidak ada satu pun WP atas nama Bintang Hamongan SP yang membayar PBB,” tuturnya.

Ditemui di lokasi terpisah, Plt Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Medan, Qamarul Fatah terkesan ‘membela’ pengusaha gerai toko modern yang dapat mematikan ekonomi kerakyatan itu. Qamarul berdalih selama ini ada survei atau penelitian mengenai dampak keberadaan toko modern terhadap kehidupan ekonomi toko tradisional. Sehingga ia berpendapat, matinya usaha toko tradisional seperti kelontong atau kedai sampah bukan semata-mata dikarenakan keberadaan toko modern.

“Ada juga toko modern yang baru beroperasi dua tahun, tiba-tiba udah tutup. Itu ada di daerah Amaliun sana. Harus ada survei atau penelitian untuk membenarkan pernyataan itu. Harus diketahui penyebabnya apa. Apakah karena kelesuan perekonomian, daya beli masyarakat, atau karena lokasinya. Kalau susah tahu jawabannya, tentu akan kita atur. Apakah lokasinya, atau memang tren masyarakat saat ini suka belanjanya di tempat uang nyaman seperti toko modern,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (9/11).

Jika bicara harga, perbandingannya terlihat jelas. Toko modern jelas menjual barang dengan harga yang lebih mahal dibanding toko tradisional. Sehingga, bidikan pasarnya sudah sangat terlihat jelas. Masing-masing sudah memiliki pangsa pasar sendiri. Lalu, Qamarul juga menjelaskan adanya seni berbelanja di toko tradisional yang sampai saat ini belum sirna. Seni yang dimaksud adalah seni tawar-menawar. Sebagian orang masih begitu mengelu-elukan betapa nikmatnya mendapatkan barang dari hasil tawar-menawar.

“Apakah seni itu sudah hilang? Kan belum. Betapa gembiranya pembeli yang berhasil menawar barang sampai harga yang diinginkannya. Di toko tradisional lah tempatnya. Misal, wak sekilo gula kan harganya Rp15ribu, kasih aku Rp14 ribu ya wak. Sama juga kayak toko modern. Harganya mana bisa ditawar. Malah lebih mahal. Jadi enggak semua orang mau ke toko modern. Sampai sini jelas kan kalau masing-masing udah ada target pasarnya,” ujarnya.

Jika harus melakukan pembinaan kepada toko-toko tradisional agar berganti rupa layaknya toko modern, Qamarul mengatakan hal itu sulit. Sulit untuk pemilik toko, karena harus mengeluarkan biaya besar untuk perombakannya. Untuk itu, pemilik toko memerlukan waktu.

Namun Disperindag akan melakukan pembinaan dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM), manajerial, dan administrasi keuangan.

“Pembinaan yang akan kita galakkan nanti terhadap manajerial akuntansinya. Kalau harus merubah mereka menjadi toko modern itu kan harus punya modal besar. Belum lagi inflasi terus meningkat. Ketika masih mengumpulkan modal, kemampuan untuk menyediakan barang dagangan pun tak meningkat di banding waktu-waktu sebelumnya. Sementara modalnya semakin tinggi. Misal tahun ini saya bisa belanja sabun 100 buah dengan harga Rp1 juta. Mungkin tahun depan dengan harga Rp1 juta saya cuma bisa beli 60 buah,” ujarnya.

Qamarul juga sangat berharap adanya kesinambungan kinerja antara satu SKPD dengan SKPD lainnya. Sehingga tidak ada cerita mengenai toko modern yang berdiri tanpa izin. Ketika sudah berdiri, Qamarul mengaku akan sulit untuk menutupnya. Investasi yang dikeluarkan oleh pemodal adalah hal yang harus dipertimbangkan.

“Begini ya, kami harus menutup itu bukan persoalan gampang. Jadi perlu keterpaduan antar SKPS untuk mengelakkan ini. Itu (toko modern) kan harus ada izin SIMB. Tapi banyak kawasan tempat tinggal dirubah jadi pertokoan. Nah kenapa bisa lolos? Harusnya mulai dari camat bisa mengkritisi ini. Laporkan langsung kalau ada yang sekiranya tidak pas. Jadi kalau dari bawahnya sudah betul, ke atasnya pun baik jadinya,” ungkapnya. Qamarul yang juga merangkap jabatan sebagai Asisten Wali Kota Medan Bidang Ekonomi dan Pembangunan (Ekbang) itu mengakui ia belum memahami sepenuhnya peraturan detil yang mengatur tentang keberadaan toko modern.

Namun ia kembali menekankan bahwa masing-masing SKPD agar tidak egois. Egois yang dimaksud adalah SKPD tersebut hanya sekedar melaksanakan tugasnya saja, tanpa melakukan komunikasi dengan SKPD terkait lainnya. “Harus ada harmonisasi dan koordinasi antar SKPD yang dikedepankan. BPPT juga ada persyaratan. Kajian terhadap lingkungan misal dekat dengar pasar ini atau itu, kan harus terpadu. Inilah yang akan kami bina nantinya dari segi internal dan eksternal kami,” ujarnya. (win/deo)

Exit mobile version