Site icon SumutPos

Jika Dalam Gelar Perkara Ahok Tak Terbukti Bersalah

Ketua Umum MUI Din Syamsuddin memberikan keterangan pers usai sidang Itsbat di Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Selasa (16/6). Menteri Agama menetapkan 1 Ramadan jatuh pada Hari Kamis. Foto: Ricardo/JPNN.com

JAKARTA, SUMUTPOS.CO — Kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi ujian untuk pemerintah dan masyarakat. Bila sukses melewati ujian atas keadilan, Pemerintah Indonesia dinilai akan memiliki perbaikan hukum. Masyarakat juga akan terus memperbaiki diri dalam kesejahteraan dan perekonomian.

Kemarin (9/11), Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar konferensi pers yang merespon perkembangan proses hukum dan berbagai isu seputar kasus dugaan penistaan agama tersebut. Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin menuturkan, kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ini menjadi momentum perbaikan untuk semua elemen, pemerintah dan masyarakat. ”Untuk negara ini, ada ujian apakah dalam kasus penistaan agama pemerintah bersikap adil,” paparnya.

Kalau bersikap adil, maka pemerintah ke depan akan mendapatkan kepercayaan masyarakat yang begitu besar. Namun, kalau ketidakadilan yang justru terjadi, maka semua akan melihat. ”Kami ini ingin bersama-sama menjaga negara yang majemuk ini,” ungkapnya.

Menurut Din, kasus penistaan agama dan aksi 4 November merupakan salah satu manifestasi atau perwujudan dari banyaknya ketidakadilan yang terjadi. ”Ini belum puncaknya, baru manifestasi,” ujarnya.

Untuk masyarakat sendiri, terutama umat Islam, ada perbaikan diri yang harus dilakukan. Yakni, memperbaiki kesejahteraan dan perekonomian. Dia menuturkan, saat ini ada indikasi penguasa ekonomi yang mulai mendikte secara politik. ”Kita ini mau didikte dalam mencari pemimpin,” tuturnya.

Dia menegaskan, maka masyarakat harus meningkatkan perekonomiannya. Tak hanya itu, penguasaan dalam teknologi dan semua bidang perlu untuk ditingkatkan. ”Tentu, kita tak mau didiktekan,” paparnya.

Lalu, bagaimana kalau ternyata Ahok bebas dan tidak ditemukan pidananya? Salah satu anggota Dewan Pertimbangan MUI Haji Inayah menjelaskan, sesuai dengan sikap MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama. Kalau, dalam gelar perkara ternyata tidak ditemukan adanya pidana, maka terdapat kezaliman yang terencana dan terstruktur. ”Jangan merekayasa sesuatu yang sudah sangat terang,” tegasnya.

Din Syamsuddin menambahkan, terlihat adanya pemilihan saksi ahli dari beberapa kelompok. Terutama, untuk saksi ahli agama dan tafsir. Padahal, MUI ini merupakan majelis yang bersatu dari berbagai kelompok agama Islam. ”Tidak ada yang lebih berdasar dari pada saksi ahli dari MUI,” ujarnya.

Din juga mengimbau Basuki Tjahaja Purnama tidak lagi membela diri atau berupaya membenarkan ucapannya yang disampaikan di Kepulauan Seribu pada akhir September lalu. Pasalnya, Ahok mengakui bahwa ucapannya soal ‘dibohongi pakai Al Maidah 51’ sudah menyinggung umat Islam. Karena itu dia minta maaf.

Apalagi terbukti pernyataan tersebut dinilai sebagai penghinaan terhadap Alquran dan ulama yang kemudian menyulut kemarahan umat Islam yang dibuktikan dengan serangkaian unjuk rasa dan puncaknya pada Jumat (4/11) lalu. Menurut Din, dengan menyampaikan permintaan maaf menunjukkan cagub petahana yang akrab disapa Ahok itu telah mengakui kesalahannya.

“Jadi pembela Ahok jangan menyebut Ahok tidak bersalah karena Ahok sendiri sudah minta maaf. Kalau pembela masih menyebut Ahok tidak salah, berarti Ahok belum minta maaf atau seolah-olah minta maafnya tidak tulus,” ujar Din.

‎Apalagi, lanjut Din, pembelaan-pembelaan kepada Ahok itu memakai mulut-mulut orang Islam. Akhirnya, kata dia, umat Islam bereaksi. “Apalagi (pembelaan) memakai mulut-mulut orang Islam, ini bisa bereaksi umat ini. Jadi sudahlah, ini dampaknya kepada ketidakpercayaan umat,” pungkasnya.

Sementara itu, salah satu anggota Dewan Pertimbangan MUI utusan Al Irsyad Umar Husin menjelaskan, saat ini pemerintah dan kepolisian ingin membuat gelar perkara terbuka. Padahal, gelar perkara itu hanya merupakan kebiasaan dalam penyelidikan. ”Tidak ada dalam undang-undang diatur soal gelar perkara,” ungkapnya.

Artinya, gelar perkara itu hanya kebutuhan internal kepolisian untuk menentukan adanya pidana atau tidak. ”Kalau soal terbuka terserahlah, yang utama itu adalah isi dari gelar terbuka,” tuturnya.

Kalau gelar perkara tertutup, tapi tidak ada settingan, sama sekali tidak ada masalah. Namun, gelar perkara terbuka tapi disetting, tentunya sama sekali tidak ada gunanya. ”Jadi, jangan terlalu berharap pada apa yang belum Nampak seperti gelar perkara terbuka ini,” ujarnya.

Dia menegaskan, jangan pernah bermain-main dalam kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Ahok tersebut. Harus ditegakkan hukum secara adil. ”Kalau tidak adil maka yakinilah ada Allah SWT yang akan menerapkan keadilannya di sini dan di akhirat,” ungkapnya.

Sementara Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Brigjen Agus Andrianto menuturkan bahwa pemeriksaan saksi akan fokus pada pekan ini. Baik dari saksi pelapor, ahli dan terlapor. ”Mereka juga memiliki saksi ahli yang diajukan,” tuturnya.

Kalau untuk saksi ahli dari kepolisian, hanya tinggal dari Kementerian Agama yang belum diperiksa. Menurutnya, hari ini (10/11) pemeriksaan saksi ahli dari Kemenag akan dilakukan. ”Secepatnya selesai,” ungkapnya.

Sementara Juru Bicara Divhumas Polri Kombespol Rikwanto menuturkan, gelar perkara akan dilakukan dengan seobyektif mungkin. Polri yang baru kali pertama melakukan gelar perkara terbuka akan menyusun semuanya. ”Mekanismenya akan disusun dulu,” tuturnya.

Dengan gelar perkara terbuka, masyarakat bisa melihat secara langsung. Sehingga, proses hukum ini dilakukan dengan benar-benar transparan. ”Ya, jadwalnya pekan depan, tapi belum ditentukan tanggalnya,” ujarnya.

Sementara Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) Prof Jawahir Thontowi mengatakan, penyidik Bareskrim Mabes Polri semestinya tidak sulit untuk menetapkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki T Purnama sebagai tersangka kasus penistaan agama. Karena sudah terpenuhi semua unsur untuk menjerat Ahok.

Prof Jawahir Thontowi menjelaskan, dari unsur perbuatan, pernyataan Ahok yang disampaikan dalam sebuah pertemuan di Kabupaten Kepulauan Seribu jelas sebuah penistaan agama/Islam. “Karena seseorang yang bukan Muslim menggunakan Surat Al Maidah ayat 51 sebagai argumentasi menuduh penduduk Kepulauan Seribu yang tidak memilih Ahok,” jelas Prof Jawahir.

Sedangkan dari unsur niat jahat, katanya melanjutkan, jelas ada unsur kesengajaan untuk melakukan penistaan agama. Sebab peristiwa pada Selasa, 27 September 2016 lalu itu merupakan pemantik yang sesungguhnya sudah berulang kali diucapkan Ahok.

“Dari aspek bahasa, kesalahannya bukan karena ada tidaknya ‘kata pakai’, melainkan pada kata “dibohongi”. Sehingga konotasinya tidak lain sebagai alasan yang digunakan sebagai argumentasi memperkuat tudingan yang tidak tepat,” ungkapnya.

Sementara dari unsur sebab-akibat, hal ini juga sudah terpenuhi. Terbukti unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan umat Islam yang tak terima dengan pernyataan Ahok tersebut.

“Bahwa nyatanya ucapan Ahok atas surat Al Maidah 51 sebagai penistaan atas agama/Islam telah terpenuhi karena telah menimbulkan rasa terhina atau tenista yang menimbulkan gangguan ketertiban secara nadional,” tekan dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta ini.

Lebih jauh, Prof Jawahir menjelaskan dugaan tindakan Ahok sebagai delik umum/bukan delik  aduan adalah telah dibuktikan adanya bukti-bukti atau petunjuk yang jelas yaitu secara formal ada fakta TKP di Kepulauan Seribu, ada video tentang Ahok yang cenderung melakulan penistaan atau penghinaan, ada saksi hidup yang mendengarkan, dan juga adanya keterangan dari saksi ahli.

“Ulama-ulama, habaib, intelektual Muslim dan sebagian besar umat Islam adalah golongan yang telah dirugikan hak-hak kebebasan agama karena perkataan Ahok tersebut,” tegasnya.

Menurutnya juga, tidak kurang dari dua juta kaum muslimin yang turun ke jalan pada aksi Bela Islam 4 November lalu adalah subyek hukum yang membuktikan perbuatan dan ucapan Ahok adalah salah dan menista harga diri atau harkat dan martabat umat agama sebagaimana diiatur dalam Pasal 156 KUHP.

Dengan demikian, seharusnya proses hukum dilakukan Polri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan yang akhirnya dapat disimpulkan tanpa ada keraguan (unreasonable doubt)  bahwa Ahok telah melakukan tindakan pidana penistaan yang harus ditetapkan sebagai tersangka dan segera harus dilakukan penahanan.

“Selamat bekerja Bareskrim Polri secara profesional dan berkeadilan serta selamat pula pada relawan Muslim yang turut mengawasi jalannya proses hukum ini,” demikian Prof. Jawahir yang juga Direktur Centre of Study for Indonesian Leadership ini.  (idr/jpg/adz)

Exit mobile version