Site icon SumutPos

Bos Iklan Ingin Cari ‘Perlindungan’

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
REKLAME_Beberapa kendaraan melintas dibawah reklame bergambar Kapolda dan Wakapolda Sumut di Jalan Stasiun Besar Medan, Senin (6/11) Banyak sekali papan reklame yang memasang foto pejabat tanpa ada ijin dari pejabat terkait, salah satunya reklame yang memasang foto kapolda dan wakapolda sumut.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Pengusaha (Bos) iklan di Kota Medan diminta tidak lagi ‘memanfaatkan’ wajah-wajah pejabat tinggi di Sumatera Utara untuk produk bisnisnya. Sebab, cara-cara seperti itu dianggap sebagai bentuk ‘perlindungan’ dalam rangka memuluskan bisnis si pengusaha tanpa memperdulikan estetika (keindahan) kota ini.

“Kita sudah sangat sering menyuarakan agar Pemko berani bertindak tegas untuk membongkar papan reklame bermasalah. Kalau tidak begitu, kapan Pemko punya marwah di mata masyarakat,” kata Wakil Ketua Pansus Reklame DPRD Medan Robby Barus kepada Sumut Pos, Kamis (9/11).

Menurutnya, akibat ketidaktegasan Pemko itulah Medan menjadi hutan reklame. Para pengusaha iklan dinilai Robby cenderung ‘memanfaatkan’ kelemahan Pemko tersebut. “Sekarang kita pertanyakan dulu sama tokoh-tokoh yang kerap wajahnya terpampang di ruas jalan. Apakah mereka tahu baliho itu berdiri di titik yang salah? Kalau mereka tahu tentu mereka mendukung yang salah. Tapi kalau ketidaktahuan mereka, perlulah kiranya kita beri tahu,” katanya.

Politisi PDIP ini juga menyerukan, agar para tokoh-tokoh seperti Pangdam I/BB, Kapoldasu, Kapolrestabes, wali kota, ketua partai politik sampai ketua organisasi kepemudaan, jangan mau wajahnya dipampangkan dalam papan iklan di ruas ‘haram’.

“Kan tidak mungkin mereka (pengusaha iklan) berani naikkan jika tak ada izin (dari tokoh terkait). Tentu harus ada konfirmasi ataupun komunikasi dulukan? Mereka juga sebagai tokoh tahu peraturanlah, masak kita ajari lagi,” katanya.

Padahal sesungguhnya, sebut Robby, media massa sudah cukup membantu publikasi terkait ruas-ruas ‘haram’ berdirinya papan iklan selama ini. “Ya kita apresiasilah pernyataan Pangdam dan Kapoldasu, yang minta gambar wajahnya diturunkan jika berdiri di titik terlarang. Hal ini juga maunya diikuti penindakan tegas oleh tim terpadu. Jangan lagi ragu-ragu ke depan melakukan pembongkaran,” katanya.

Dia pun berharap, seluruh forum komunikasi pimpinan daerah baik Sumut dan Kota Medan menindaklanjuti pernyataan Pangdam dan Kapoldasu tersebut. Sehingga menjadi spirit bagi Pemko melalui tim terpadu.

“Sebenarnya banyak kali pelanggaran perda yang mau kita tindak lanjuti. Tidak hanya seputar masalah reklame liar, juga usaha retail berjejaring banyak diketahui tidak berizin,” ujar mantan Ketua Komisi A tersebut.

Ketidakpatuhan pengusaha iklan atas perda Kota Medan menurutnya perlu ditindak tegas. Sebab, kedepan tidak lagi diberikan izin berinvestasi di Kota Medan, jika terbukti banyak melanggar aturan.

“Bayangkan saja, berapa banyak PAD kita hilang dari sektor pajak reklame. Apa kita nggak malu dengan Surabaya yang tiap tahun capaiannya selalu meningkat? Di Medan, sudahlah estetika kota semrawut karena hutan reklame, pajak yang diperoleh juga minim. Masak Pemko nggak pernah mikir tentang itu,” pungkasnya.

Anggota Pansus Reklame lainnya, Salman Alfarisi menilai pengajuan revisi perda reklame sebagai bentuk ‘pengkaburan’ atas penataan reklame di Medan. Menurutnya, masalah di depan mata yang sudah terlihat jelas malah tidak mampu diatasi oleh Pemko.

“Logika sederhananya begini, kalaulah papan reklame yang banyak berdiri di ruas terlarang itu mampu ditarik pajaknya, kenapa PAD dari situ justru kecil sekali. Kan tentu ada bermain-main di situ,” katanya.

Salman menduga, jika tidak oknum pemungut pajak atau oknum di instansi perizinan ikut bermain, ada beking oknum tertentu yang memuluskan bisnis periklanan di Medan. “Dengan kata lain, Kota Medan ini sudah dikuasai oleh banyak arogansi. Kalau tidak ada kesadaran bersama saya pikir sulit mewujudkan penataan kota ini lebih baik. Dan revisi perda yang akan diajukan itu menurut saya adalah upaya merusak. Sebab, sudah jelas di 13 titik terlarang tidak boleh ada pendirian reklame namun tidak pernah ada konsekuensi hukum,” tegasnya.

Bahkan hemat Salman lagi, kondisi ini mencerminkan Pemko sudah didikte kalangan pengusaha. Sebab aturan yang ada tidak mampu dijalankan maksimal oleh Pemko sendiri.

“Masa’ untuk kepentingan bersama dan keindahan kota kita, Pemko seolah memikirkan kepentingan bisnis pengusaha. Kemudian bagaimana pajak mau ditarik sementara tidak ada izin, kan balik-balik ke situ saja penyebabnya,” pungkasnya. (prn/ala)

 

Exit mobile version