Site icon SumutPos

Pengungsi Masak Sendiri

BERI SANTUNAN: Presiden RI, Joko Widodo menyerahkan santunan kepada para ahli waris korban meninggal gempa di halaman Masjid Al Takarruf, Trienggadeng, Pidie Jaya, Aceh, Jumat (9/12). ISHAK MUTIARA/RAKYAT ACEH
BERI SANTUNAN: Presiden RI, Joko Widodo menyerahkan santunan kepada para ahli waris korban meninggal gempa di halaman Masjid Al Takarruf, Trienggadeng, Pidie Jaya, Aceh, Jumat (9/12).
ISHAK MUTIARA/RAKYAT ACEH

SUMUTPOS.CO  – Belum semua korban gempa di Pidie Jaya, Aceh, terjangkau bantuan. Salah satunya korban di Dusun Kutang, Desa Sageo, Kecamatan Trienggadeng. Kepala Dusun M Isa menyatakan, pihaknya menggunakan fasilitas swadaya masyarakat untuk menghidupi para pengungsi. Bantuan dari pemerintah belum ada.

“Kami ini buat tenda sendiri dan masak dari urunan warga. Tadi saya datang ke posko katanya bakal ada bantuan tapi sampai sekarang tidak ada,” ujarnya saat diwawancara sore kemarin.

Padahal, lanjut dia, kebutuhan bahan makanan untuk posko tersebut sangat besar. Setiap hari, pihaknya membutuhkan 90 kg beras, 180 butir telur, dan 5 boks air mineral ukuran gelas. Sedangkan relawan-relawan bantuan hanya menyalurkan logistik ke posko-posko di wilayah kota seperti kecamatan Meuredue. Sedangkan bantuan yang sampai ke mereka hanya mie instan saja.

“Padahal masih ada desa yang lebih terpencil lagi dari kami. Kami coba kasih mereka mie instan kalau punya lebih. Tapi mereka malah sama sekali tidak dijangkau,” jelasnya.

Di sisi lain, Nur Lela, 43, yang sudah tiga hari ini tinggal di posko Kementerian Sosial Masjid Istiqomah mengaku sudah tercukupi soal makanan. Meski memang menunya masih monoton. Namun dia mengaku masih kekurangan soal kebutuhan lain-lain. Terutama kebutuhan anak seperti susu dan popok.

“Kita juga tak punya peralatan mandi seperti sabun dan shampo,” jelasnya.

Bantuan logistik dari pemerintah juga belum sepenuhnya dirasakan korban gempa di Desa Keude, Kecamatan Panteraja. Sebanyak 500 kepala keluarga (KK) di desa tersebut sampai kemarin hanya mengandalkan stok bahan makanan yang dikumpulkan dari warga. Setiap hari, mereka memasak 20 karung beras ukuran 15 kilogram di dapur umum yang didirikan secara swadaya. Makanan itu kemudian dibagikan ke para korban yang membutuhkan. “Aktivitas warga disini belum normal, banyak yang belum bisa bekerja,” ujar Suhardi, warga setempat.

Tak menyeluruhnya distribusi bantuan bisa jadi bakal lebih parah. Pasalnya, posko-posko di Kabupaten Pidie Jaya dan sekitarnya meningkat dua kali lipat hari ini akibat gempa susulan yang masih terjadi hari ini. Menurut pantauan Jawa Pos, gempa yang kuat terasa tiga kali selama tanggal 9 Desember kemarin. Yang terkuat terasa sekitar pukul 17.00 dan cukup membuat masyarakat panik. Bahkan sampai pukul 21.15 tadi juga terjadi gempa yang cukup lama.

Ketidakmerataan distribusi bantuan ini juga diakui oleh Yusri, Korlap Posko I Meuraksa Barat, Pidie Jaya. Dia mengatakan, di posko I ini terdapat 875 jiwa yang sebagian besar masih kekurangan selimut. Mereka pun harus sedikit berdesakan karena tenda yang terbatas.

“Kalau makanan sejauh ini cukup. Tapi memang kayak selimut, obat dan tenda masih kurang,” ujarnya.

Dirjen Linjamsos Kementerian Sosial Harry Hikmat mengakui, saat ini memang sebagian besar bantuan masih terkonsentrasi di titik-titik kerusakan paling parah. Apalagi, dalam situasi tanggap darurat ini sebagian besar bantuan langsung ditujukan ke posko-posko besar.

“Jadi kan memang banyak sekali. Tidak cuma dari Kemensos. Ada juga donatur lain,” ungkapnya ditemui disela-sela pemberian bantuan pada korban gempa di Pidie Jaya, Aceh.

Karenanya, dia meminta agar pihak kelurahan dan kecamatan ikut terlibat aktif. Bila memang ada posko-posko kecil belum sepenuhnya tersentuh maka diminta segera melaporkan. “Bisa ke korlap posko utama, dinsos, atau langsung Kemensos. Kita juga sudah minta Tagana untuk aktif menyisir,” ungkapnya.

Harry sendiri menyadari, untuk bantuan ini tidak cuma menyoal pada distribusi. Tapi juga management penyaluran. Karenanya, dia sudah meminta pemerintah kabupaten untuk menyediakan gudang utama. Sehingga, bantuan bisa terkumpul untuk kemudian disalurkan secara merata.

“Saya sudah sampaikan tadi pad pihak pemda ya. Mereka menyanggupi,” paparnya. 

Warga Mencari Barang Berharga yang Hilang Saat Gempa-Jumat (9/12).RAKA DENNY/JAWAPOS

Di sisi lain, proses pemulihan trauma korban juga harus jadi fokus utama pemerintah. Tugas ini akan jadi PR berat bagi instansi yang dipimpin oleh Khofifah Indar Parawansa ini. Pasalnya, pemulihan pasca bencana tidak semudah proses rekonstruksi bangunan yang hancur karena gempa. Apalagi pemulihan bagi anak-anak.

“Kalau itu bisa ditarget setahun, untuk trauma ini tidak bisa langsung dipatok begitu. Bisa saja lebih lama,” tutur Henny Poerwonegoro, Ketua harian Lembaga Perlindungan Anak Indonesia saat ditemui usai mendampingi anak-anak korban gempa di Masjid Al-istiqomah, Rhieng, Pidie Jaya.

Dia menjelaskan, lama pemulihan ini tergantung dari kondisi ketahanan dari masing-masing anak. Ada anak yang cuma beberapa bulan sudah bisa recovery, namun tak jarang juga mereka yang trauma hingga berkepanjangan.

“Karena memang tingkat traumatik yang dialami masing-masing anak berbeda. Kemudian, bagaimana tingkat ketahanan mereka bisa menerima suatu kondisi juga berbeda-beda,” paparnya.

Dia menekankan, kondisi ini harus ditangani sedini mungkin. Bila tidak, bisa membahayakan kualitas hidup anak-anak ini. Akan muncul trauma hebat yang ke depan bisa menghambat perkembangan mereka.

“Misal, anak-anak korban jebolnya tanggul bendungan situgintung. Kalau mereka takut air, bagaimana mereka bisa belajar tentang laut. Atau, padahal mereka sejatinya berkesempatan menjadi calon atlet hebat. Begitu juga untuk anak-anak korban gempa ini,” ungkapnya.

Karenanya, lanjut dia, perlu perhatian ekstra. Pendampingan tak cukup hanya sebatas pada masa tanggap darurat. Orang tua juga perlu cermat dalam memperhatikan kondisi anak. Mengantisipasi hal ini, Henny bersama Kementerian Sosial (Kemensos) sudah menjalin komunikasi dengan mahasiswa setempat untuk meneruskan tongkat estafet ini. Selain itu, ada tim tagana dengan kemampuan psikososial yang akan mendampingi.

Dalam pendampingan yang sudah dilakukan saat ini, Henny menerapkan pendekatan edutaiment. Healing dengan cara bermain sambil belajar. Cara ini dinilai lebih ampuh dari pada cara langsung bertanya pada anak soal kesedihan yang dialami.

“Kita nyanyi, berhitung, sholawat dan banyak lainnya. Atau, kita ajak ngegambar. Lalu kita minta dia cerita soal gambar itu. Dari situ kita bisa tahu juga soal tingkat stres atau trauma anak,” ungkap perempuan berkrudung biru itu. (bil/tyo/mia/dod/ca/jpg/ain/adz)

Exit mobile version