Site icon SumutPos

Sumut Minus Rp1,4 Triliun

Diserap Pemerintah Pusat, Pajak Perkebunan Diributi

MEDAN- Sumatera Utara (Sumut) selama ini tidak mendapatkan manfaat dari hasil devisa perkebunan. Padahal, jika Sumut mendapat ‘kue’ perkebunan melalui pajak ekspor hasil perkebunan, maka provinsi ini akan mendapat dana segar Rp1, 4 triliun.

Pernyataan ini disampaikan ekonom dari Universitas Sumatera Utara (USU) Jhon Tafbu Ritonga kepada Sumut Pos. Menurutnya, Sumut merupakan penyumbang terbesar dari hasil perkebunan yang menjadi devisa negara. Di mana Sumut setidaknya menyumbang 20 persen dari keseluruhann
devisa negara dari sektor perkebunan tersebut.

Pada 2011, tercatat pendapatan bea keluar atau pajak ekspor yang mencapai 28,3 “Kalau 20 persen dari Rp28 triliun itu, sudah bisa untuk membangun sekolah, sarana dan prasarana jalan di daerah-daerah basis perkebunan,” cetusnya Jhon Tafbu, kemarin.

Pertanyaannya, ke manakah uang sebanyak itu? Jhon tak mau berandai-andai. Dia pun ingin mengecek hal itu langsung ke beberapa daerah berbasis perkebunan. “Besok saya akan melihat, sudah adakah perbaikan jalan, sekolah dan sebagainya di daerah Labuhanbatu dan Labuhanbatu Utara (Labura) yang menjadi kampung halaman saya?” tegasnya.

Jika belum ada perubahan, John akan langsung menanyakan hal itu pada pihak yang berwenang. “Kita akan menanyakan itu kepada bupati-bupati daerah itu, apakah sudah ada yang dibuat dari dana bagi hasil itu. kita sudah memetik, dan kita tinggal memanen. Kemenkeu sudah memberikan dan membuka pintu, tinggal kita yang meminta itu. Tapi tidak ada realisasinya,” jelasnya.

Ini Urusan Kabupaten, Bukan Provinsi

Dosen Fakultas Ekonomi USU ini mencurigai ada sesuatu yang tak benar dengan uang pajak perkebunan. “Maka sebaiknya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit, untuk memeriksa sinyalemen itu,” tegasnya.

Menurutnya, selama ini baik Pemprovsu dan para gubernur yang memiliki daerah perkebunan dan semestinya mendapat dana bagi hasil tersebut hanya sebatas retorika.

“Ya, semua gubernur dan bupati se-Indonesia cuma NATO (No Action Talk Only). Menkeu sudah menyediakan,” tambahnya.
Menurutnya, yang paling berhak bertanggungjawab adalah bupati dan bukan Gubsu. Karena yang punya sawit dan karet adalah kabupaten. “Makanya, kalau tunggu Gubsu mana serius. Karena yang bisa gunakan itu ya kabupaten bukan provinsi,” jelasnya.

Sebelumnya Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho sempat mengusulkan agar daerah penghasil perkebunan menerima bagi hasil pajak ekspor maupun devisa perkebunan kepada Menteri Keuangan dan ditembuskan ke Kementerian Pertanian. Menyikapi hal itu, upaya yang akan dilakukan Gatot dan para gubernur di Indonesia lainnya, pada prinsipnya adalah langkah yang terlambat.

Pasalnya, khusus di Sumut sudah ada kesepakatan untuk meminta bagi hasil perkebunan terhadap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, sudah ada sejak Sumut dikepalai oleh Rudolp M Pardede.

“Bukan perjuangan lagi, tapi sudah harusnya berapa yang diajukan dan berapa diterima. Karena kesepakatan itu sudah ada sejak Rudolp Pardede jadi Gubsunya. Atau jangan-jangan, sudah ada yang meminta ke Kemenkeu, tapi ditutup-tutupi,” ulasnya.

Pajak Perkebunan Semuanya Masuk ke APBN

Tadi malam, soal bagi hasil devisa dan pajak perkebunan kembali mengemuka dalam acara Refreshing Petugas Statistik sub Sektor Perkebunan, di Hotel Grand Antares, Jalan Sisingamangaraja, Medan. Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan Kementerian Pertanian Mukti Sardjono, mengungkapkan data pendapatan negara dari sektor perkebunan. “Tahun 2011, kita memperoleh pendapatan devisa ekspor perkebunan lebih US$25 miliar USD atau Rp220 triliun diantaranya kontribusi terbesar dari kelapa sawit mencapai US$15 milyar dan karet US$7 miliar. Kita ketahui sebagian besar komoditi tersebut berasal dari Sumut,” papar Sarjono.

Sarjono menambahkan, pemerintah juga menerima pendapatan dari bea keluar atau pajak ekspor sebesar Rp28,3 triliun pada 2011, semuanya masuk ke dalam APBN. Dia mengakui Kementerian Pertanian mendukung sepenuhnya daerah penghasil perkebunan mendapatkan bagi hasil, namun kebijakan berada pada Kementerian Keuangan.

Pihaknya berharap dana bagi hasil perkebunan bisa digunakan kembali untuk pembangunan perkebunan seperti peremajaan, penggantian bibit kelapa sawit palsu dan perbaikan sarana jalan di lingkungan perkebunan.

Sardjono mengungkapkan bagi hasil perkebunan sudah pantas diperoleh bagi daerah penghasil mengingat pada komoditi lain hal itu sudah diterapkan pada cukai tembakau.

“Contohnya cukai tembakau, sebesar Rp5 triliun sudah dikembalikan ke daerah penghasil tembakau. Seharusnya pada komoditi perkebunan juga bisa,” jelasnya.

Sementara itu, Gatot dalam kesempatan tersebut menjelaskan bahwa pihaknya pernah menginisiasi 16 provinsi berbasis perkebunan untuk bersama memperjuangkan bagi hasil perkebunan. Di antaranya agar daerah mendapatkan bagian dari pajak ekspor Crude Palm Oil (CPO). “Kita sudan berkali-kali teriak ke pusat, namun sampai sekarang belum ada respon positif, padahal untuk cukai tembakau sudah diberlakukan” kata Gatot. (ari)

Sumber DBH dari pajak yang diterima Pemprovsu selama ini

  1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
  2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangun (BPHTB)
  3. Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri     (WPOPDN)
  4. PPh Pasal 21

Untuk Merubah DBH dari Pajak perlu revisi atas:

  1. UU 32/2004 tentang Pemerintah daerah
  2. UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
  3. UU tentang Pajak
  4. UU 18/2004 tentang Perkebunan

PEMBAGIAN IMBANGAN DBH PAJAK

  1. PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
    a.     Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20%;
    b.    DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagi:  8% utk provinsi dan 12% utk kab/kota di provinsi tsb.
    c.     DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 utk  kab/kota  sebesar 12% dibagi: 8,4% utk kab/kota tempat wajib pajak terdaftar; 3,6% utk seluruh kab/kota dalam  provinsi yang bersangkutan dengan porsi sama besar.
  2. PBB
    a.     10% utk pusat dikembalikan lagi kepada seluruh kab/kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB   tahun anggaran berjalan, dengan imbangan : 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh kab/kota;  3,5% dibagikan sebagai insentif kepada kab/kota yang  realisasi tahun sebelumnya melampaui rencana  penerimaan sektor tertentu.
    b.     90% utk daerah, dengan rincian sebagai berikut :  16,2% utk daerah provinsi yang bersangkutan dan   disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi;      64,8% untuk daerah kab/kota yang bersangkutan dan   disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kab/kota; dan         9% utk biaya pemungutan.
  3. BPHTB
    a.     20% utk pusat, dibagikan dengan porsi yang sama   besar utk seluruh kab/kota.
    b.     80% utk daerah dengan rincian sebagai berikut:      16% utk daerah provinsi yang bersangkutan & disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi; 64% untuk    kab/kota penghasil dan disalurkan ke rekening Kas     Umum Daerah kab/kota.

Sumber: Dep. Keuangan RI

Exit mobile version