Site icon SumutPos

Tergerak karena Pernah Kena Pukul

Foto: Arya Dhitya/Jawa Pos Aktivis masyarakat Erwin Sibarani (berdiri empat kiri) dalam menangani pasien kejiwaan memusatkan penampungan pasien menyatu dengan rumahnya.
Foto: Arya Dhitya/Jawa Pos
Aktivis masyarakat Erwin Sibarani (berdiri empat kiri) dalam menangani pasien kejiwaan memusatkan penampungan pasien menyatu dengan rumahnya.

Semua orang menganggap Erwin Sibarani sudah sinting saat memutuskan untuk tinggal di Rumah Gadara bersama para murid yang memiliki masalah gangguan mental sekitar delapan tahun lalu. Termasuk sang istri. Namun, panggilan jiwa untuk menolong sesama membuatnya bergeming.

—-
BAYANGKAN Anda tinggal serumah dengan 14 orang yang menderita gangguan jiwa alias gila. Setiap saat mereka bisa berbuat apa saja. Mulai yang membahayakan diri sendiri hingga yang membahayakan jiwa Anda dan keluarga.

Jika pun suatu saat Anda terluka karena perbuatan mereka, tidak ada seorang pun yang dapat Anda tuntut dan persalahkan. Risiko itulah yang dihadapi Erwin Sibarani dan istrinya.

Dua puluh empat jam sehari, mereka menyaksikan dari dekat perilaku labil orang-orang yang tinggal serumah dengan mereka. Tidak peduli tengah malam atau dini hari, mereka berteriak-teriak, mendorong pintu, membanting kursi, sampai memecahkan piring.

Sejak 2007, selepas meraih gelar magister hukum dari Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Erwin didapuk untuk meneruskan kepengurusan Rumah Gadara. Itu adalah rumah penampungan khusus pengidap gangguan jiwa di bawah Yayasan Jemaat Kristen Indonesia (JKI) Bukit Zion, Surabaya.

Sebagai tanda kesungguhan untuk merawat para murid, Erwin menempuh cara yang tidak biasa, yaitu tinggal bersama mereka. Di Rumah Gadara, Erwin tinggal bersama istrinya, Desire Karokaro.

Dua anak mereka juga ikut. Si sulung, Georgina Blessing Sibarani, berumur 8 tahun. Yang bungsu adalah George Osaze Sibarani. ”Yang paling kecil masih umur dua bulan,” kata Erwin menyambut Jawa  yang berkunjung ke rumahnya, Sabtu (8/10) sore.

Erwin juga dibantu empat orang mentor. Mereka adalah Mister Baru, Vero, Roganda Sagala, dan Gasper. Semuanya masih mahasiswa. Mereka secara sukarela membantu Erwin. Ada juga bendahara dan pengurus rumah tangga Rumah Gadara, Epa Nababan. Rumah Gadara sama seperti umumnya rumah-rumah biasa. Beralamat di kompleks Perumahan Kutisari Indah Barat, Kecamatan Tenggilis Mejoyo, Surabaya.

Alih-Alih berada di tempat yang terisolasi, Rumah Gadara malah berada tepat di depan Balai RT V, RW IV, Kelurahan Kutisari. Pusat aktivitas masyarakat setempat. ”Semua warga juga sudah kenal kami, bahkan para murid,” kata Erwin. Erwin lantas menunjukkan tempat tinggalnya itu.

Bangunan berukuran 10 x 20 meter itu punya teras dan ruang utama yang memanjang hingga dapur. Ada delapan kamar. Dua di kanan ditempati seorang pengurus rumah tangga Rumah Gadara dan kamar tamu. Dua kamar lain untuk Erwin, istri, dan anak-anaknya. Empat kamar di belakang digunakan untuk para murid dan empat orang mentor (pembina). Tidak ada sekat khusus antara keluarga Erwin dan para murid.

Jika saja para murid tiba-tiba hilang kontrol, mereka bisa segera mencapai kamar sang bayi George hanya dengan menyeberangi ruang tengah. Namun, lagi-lagi semangat membantu orang lain mengalahkan semua kekhawatiran.

”Kalau dibilang khawatir, pasti. Tapi, ini menunjukkan kepedulian kami,” tutur Erwin. Pria kelahiran Medan, 18 Agustus 1983, itu adalah orang yang trauma dengan keberadaan para pengidap gangguan jiwa di jalanan.

Namun, justru karena trauma tersebut, Erwin terpanggil untuk membantu menemani perjuangan mereka dalam mendapatkan kewarasannya kembali. ”Saya pernah dipukul orang gila. Dua kali,” katanya membuka cerita.

Pengalaman pertama terjadi sekitar 2001. Erwin masih siswa SMA di kampung halamannya, Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Waktu itu, dia sedang berjalan sendirian sepulang sekolah.

”Tiba-tiba ada yang mukul saya dari belakang pakai bambu,” ujarnya. Erwin pun segera kabur sambil menahan sakit di belakang kepala.

Yang kedua terjadi sekitar 2007. Erwin baru meraih gelar sarjana hukum dan akan mengikuti acara doa persekutuan di daerah rumahnya, Krian, Sidoarjo. Di sela-sela acara, dia mampir ke warung untuk membeli minuman dan beberapa makanan ringan. Seseorang terlihat duduk di warung tersebut.

Erwin berdiri di sampingnya untuk melakukan transaksi dengan penjaga warung. Tiba-tiba, ”Brak! Dia pukul punggung saya pakai kursi,” tuturnya. Punggung Erwin sempat berdarah karena pukulan tersebut.

Selepas kejadian tersebut, Erwin malah tidak merasa bertambah takut kepada orang gila di jalanan. Dia semakin sering mampir dan mengamat-amati beberapa orang yang ditemuinya.

Menurut Erwin, para penyandang gangguan jiwa tersebut hanya perlu diajak berinteraksi. ”Kuncinya cuma komunikasi dan mengharapkan pertolongan dari Yang Mahakuasa,” kata Erwin.

Dari pengalaman dipukul orang gila, Erwin mengambil sebuah kesimpulan. Mereka yang bermasalah dengan mental sebenarnya juga takut kepada orang-orang normal di sekitar mereka.

Mereka merasa diasingkan, dibenci, dikucilkan, dan selalu merasa terintimidasi. ”Karena takut, mereka cenderung melakukan aksi membela diri pada orang yang dianggap berbahaya,” tutur Erwin.

Cara terbaik untuk membantu pemulihan mental mereka adalah dengan menunjukkan sikap yang ramah. Sebisanya mengajak mereka untuk berinteraksi, berkomunikasi, serta menghargai keberadaan mereka.

”Intinya, kita manusiakan mereka. Saya yakin mereka juga pasti mengerti,” kata Erwin.

Sifat Erwin yang kelewat penolong itu diingat betul oleh sang istri, Desire. Dia menuturkan bahwa beberapa kali terjadi Erwin keluar rumah dengan menggunakan jaket. Sekembalinya ke rumah, Erwin sudah tidak memakai jaket. Waktu ditanya, jawaban Erwin selalu sama. ”Katanya sudah dikasihkan sama orang itu di jalan,” tutur Desire.

Momen ketika Erwin memutuskan untuk tinggal di rumah Gadara adalah masa-masa sulit bagi mahligai rumah tangga mereka. Desire jelas tidak mau tinggal bersama orang-orang sinting.

Dia memikirkan keselamatan sang buah hati, Georgina Blessing, yang waktu itu masih berusia 8 bulan. Bahkan, mereka hampir bercerai. ”Saya bilang, kamu saja yang tinggal di situ biar saya sama anak-anak,” tutur perempuan asli Medan tersebut. Toh, akhirnya Desire melunak dan bersedia ikut sang suami tinggal di rumah Gadara.

Namun, lagi-lagi proses pertama tidak mudah. Desire punya masalah dengan makan dan minum di rumah itu. Melihat para murid, Desire selalu diserang rasa jijik. Setiap kali ingin makan atau minum, Desire mencari tempat di luar rumah. ”Saya tidak mau pakai gelas dan piring yang sama dengan mereka meskipun sudah dicuci,” tuturnya.

Namun, lambat laun Desire bisa menyesuaikan dan mengatasi rasa jijiknya. Apalagi sejak diurus oleh Erwin, perlahan rumah Gadara semakin bersih. Para murid pun hidup lebih disiplin dan higienis.

”Sekarang mendingan. Ada gelas yang sudah dipakai mereka, saya cuci, terus saya pakai tidak masalah,” ujarnya.

Hingga saat ini masih banyak orang yang menyesalkan keputusan keduanya untuk tinggal di Rumah Gadara. Baik kerabat Erwin maupun Desire. Selain masalah keamanan, ada juga yang khawatir tumbuh kembang Blessing dan George terganggu. ”Katanya mental anak saya bisa terpengaruh,” katanya.

Tapi, tampaknya, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Di ruang tamu rumah Gadara, Blessing tampak sama sekali tidak risi, apalagi takut. Saat mentor mengarahkan para murid untuk berkumpul di ruang tengah, Blessing juga ikut-ikutan mengarahkan dengan lagak khas. ”Sana Om, sana Om,” katanya.

”Hampir semua murid suka sama Blessing,” kata Desire sambil tersenyum. (jpg/rbb/bersambung)

Exit mobile version