Site icon SumutPos

Saksi Ahli Nilai tak Ada Rugikan Negara

AMINOER RASYID/SUMUT POS TURBIN: Seorang pekerja berjalan menuju mesin turbin pembangkit listrik di Pulau Naga Putri Sicanang Kecamatan Medan Belawan. Hingga kini perkara LTE Gas Turbin Belawan masih tetap berlanjut hingga ke persidangan.
AMINOER RASYID/SUMUT POS
TURBIN: Seorang pekerja berjalan menuju mesin turbin pembangkit listrik di Pulau Naga Putri Sicanang Kecamatan Medan Belawan. Hingga kini perkara LTE Gas Turbin Belawan masih tetap berlanjut hingga ke persidangan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Sidang lanjutan perkara peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2) di Pengadilan Tipikor Medan kembali menghadirkan sejumlah saksi ahli, Kamis (11/9).

Dr Dian Simatupang, Ahli Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik Universitas Indonesia (UI) menegaskan, perkara LTE PLTGU Belawan Medan tidak bisa sertamerta dikategorikan sebagai perbuatan pidana korupsi. “Untuk memenuhi unsur tindak pidana korupsi haruslah memenuhi unsur memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi, melawan hukum, dan merugikan keuangan negara,” ujarnya.

Namun, lanjutnya, untuk perkara memperkaya diri sendiri/suatu korporasi, selama persidangan perkara LTE berlangsung sejak empat bulan lalu, unsur-unsur tersebut belum terbukti. “Para tenaga ahli PLN yang dijadikan terdakwa dalam perkara ini sama sekali tidak menerima sepeser pun uang alias tidak melakukan korupsi dalam pekerjaan peremajaan LTE PLTU Belawan,” ujarnya.

Sedangkan unsur kerugian negara, terang Dian,  juga tidak terpenuhi. Sesuai Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan Peraturan Pemerintah (PP) No.12 Tahun 1998, sudah sangat jelas bahwa yang menjadi Keuangan Negara dalam Perusahaan Perseroan adalah saham milik Negara di Persero.

Hal itu dipertegas oleh Putusan MK Nomor 77/PUU-X/2011 yang menyatakan bahwa keuangan negara di persero hanya saham saja. Sehingga, bila terjadi kerugian dalam BUMN persero saat mengerjakan proyek tertentu, hal tersebut bukanlah kerugian negara, melainkan kerugian perseroan, karena saham negara tidak ikut hilang.

Menurut Dian, berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Kerugian negara adalah kekurangan uang, barang, dan surat berharga yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian.”Jadi kerugian negara itu dihitung dengan harus memenuhi unsur nyata dan pasti / riil. Bila baru potensi, itu belum dihitung kerugian negara,” kata Dian.

Dr. Tri Yuswidjajanto, ahli Sistem Pembangkit Daya dan Perawatan Mesin ITB, dalam kesaksiannya menegaskan, dalam perkara LTE ini, PLN justru bisa berhemat dan malah untung. Unit pembangkit listrik yang bekerja, butuh BBM yang disubsidi negara (BBM subsidi). Selain itu, listrik yang dihasilkan dan disalurkan ke masyarakat juga harga jualnya disubsidi pemerintah.

Dengan asumsi harga solar non subsidi Rp12.000/liter, sementara harga Solar subsidi Rp5.500/liter, maka negara memberi subsidi Rp 6.500/liter. Untuk turbin gas dengan daya 132 MW dan konsumsi Solar subsidi 0,31 liter/kwh, maka beban subsidi Rp184 juta per jam. Nilai dihitung untuk 309 hari dan dianggap bekerja terus menerus, butuh subsidi Rp 1,365 triliun.

Sementara untuk mengoperasikan dalam jangka waktu tersebut diperlukan biaya BBM sebesar Rp 1,365 triliun dan biaya operasi serta pemeliharaan Rp819 miliar. Dengan kata lain tidak beroperasinya unit tersebut ada penghematan sebesar Rp 2,184 triliun di PLN. Jika ini dibandingkan dengan pendapatan PLN yang tidak terealisir menurut perhitungan BPKP sebesar Rp 2,007 triliun, justru terjadi penghematan Rp177,6 miliar.

Menurut Tri Yus, bila dakwaan jaksa menuduh ada potensi kerugian karena mesin turbin GT 2.1 dan 2.2 saat tidak beroperasi, justru sebetulnya PLN menghemat karena tidak ada pembelian BBM, pengeluaran untuk operasi dan pemeliharaan, serta bagi negara ada penghematan subsidi BBMi dan subsidi listrik sejumlah di atas.

“Tapi tentu saya yakin bukan tujuan PLN untuk tidak mengoperasikan pembangkit GT 2.1 dan 2.2, karena saya yakin PLN berkomitmen penuh untuk melayani kebutuhan listrik masyarakat, dan itu menjadi tugas utama PLN,” kata Tri Yus.

Akan tetapi perlu diingat bahwa perhitungan kerugian negara itu hanya berdasarkan asumsi, karena pada kenyataan di lapangan GT 2.2 tetap beroperasi. Sekalipun GT 2.2 pada akhirnya dimatikan untuk keperluan pemeliharaan rutin dalam bentuk LTE, penghentian operasi tersebut masuk di dalam periode pemeliharaan rutin yang terencana, sehingga tidak ada kerugian.

Sebagai catatan, dalam perkara LTE ini, para tenaga ahli PLN yang dijadikan tersangka adalah eks General Manager Chris Leo Manggala, ketua panitia lelang Surya Dharma Sinaga, Rodi Cahyawan, dan Muhammad Ali. Selain itu, dua dari pihak swasta, yaitu Direktur Utama PT Nusantara Turbin dan Propulsi Supra Dekanto dan Direktur Utama PT Mapna Indonesia Mohammad Bahalwan.

BPKP No Comment
Terkait tudingkan kalau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tak berhak menghitung kerugian Negara, Kepala Perwakilan BPKP Sumut, Mulyana Ak memilih untuk no comment alias tak mau menanggapi. “Kami tidak bisa memberikan komentar karena kasusnya masih berjalan di pengadilan. Jadi biarkan hakim yang memutuskan,” sebutnya melalui Sekretaris Humas Riri Adda Sari kepada Sumut Pos, Rabu (10/9).

Mulyana justru menyarankan jika mau bertanya soal kewenangan BPKP, agar objektif dapat diajukan kepada pihak APH antara lain Kejaksaan, Kepolisian dan Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK), yang meminta jasa BPKP untuk AI dan PKKN.

“Lalu kepada pemberi mandat yaitu Presiden RI, kepada Mahkamah Konstitusi yang menguatkan peran BPKP sebagimana termuat dalam Pasal 6 huruf a UU No.30/2002 tenang KPK, kemudian kepada Mahkamah Agung (MA) yang pada Rakernas MA pada tahun 2009 ,” ujarnya. (prn/ila)

menyimpulka penghitungan kerugian negara dapat dilakukan BPK atau BPKP atau jaksa selaku penyidik,” jelasnya. (prn/ila)

Exit mobile version