Site icon SumutPos

Karidor Penumpang Harus Diatur

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Seorang calon penumpang yang akan naik angkot depan pusat perbelanjaan jalan Iskandar Muda Medan,jumat (11/1).

SUMUTPOS.CO – PERSAINGAN mendapatkan penumpang antara angkutan kota (angkot) dan transportasi aplikasi online kian sengit. Bahkan, kehadiran transportasi aplikasi online menyebabkan penurunan jumlah angkot di Kota Medan, dari 10 ribu unit, menjadi 5.000 unit. Untuk itu harus diatur koridor serta akses untuk mengangkut penumpang.

Hal ini agar tidak terjadi tumpang tindih dengan transportasi berbasis aplikasi. Kemudian, dibutuhkan pengaturan jam operasional antara transportasi massal dengan berbasis aplikasi. Sedangkan Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Medan dan pemerintah setempat dinilai harus kreatif dalam menentukan koridor serta akses untuk mengangkut penumpang. Hal ini dikatakan Pengamat Transportasi, Medis Sejahtera Surbakti.

“Makanya saya pikir, perlu kembali duduk bersama antara pemerintah daerah setempat dengan Organda dalam hal ini. Sehingga kepadatan volume kenderaan dan lalu lintas tidak terjadi terutama saat jam-jam sibuk,” kata pengamat transportasi Medis Sejahtera Surbakti kepada Sumut Pos, Jumat (12/1).

Medis mencontohkan, seperti pengaturan jam operasional kenderaan di Penang, Malaysia. Dikatakannya, saat jam-jam sibuk, Bus Rapid Penang itu jalannya bergandengan. Artinya ada banyak bus yang dioperasikan buat mengangkut penumpang.

“Ya, di sana di saat banyak orang, banyak bus yang lewat. Namun ketika di luar jam sibuk, hanya dua atau tiga bus saja yang beroperasi. Ada pengaturan operasional di situ. Kalau di kitakan tidak ada pengaturan operasional, hanya kuota saja. Jadi memang harus ada pengaturan operasional dalam rangka berkurangnya jumlah angkutan kota saat ini,” ujarnya.

Apalagi dengan kehadiran angkutan berbasis aplikasi, kata dia, yang tidak punya rute, jam tayang dan kapan mau pakai tinggal panggil (order) via aplikasi. “Seperti yang saya sebutkan tadi, bahwa harus ada kreativitas baru dari Organda dibantu pemerintah setempat dalam hal ini. Karena (kehadiran angkutan online) itu sesuatu yang sudah diprediksi sebelumnya,” Ketua Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara (USU) ini menambahkan.

Sekaitan berkurangnya jumlah unit angkutan kota (angkot) di Medan seiring kehadiran angkutan online, Medis menyarankan butuh perhatian bersama antar stakeholder terkait. Dimana harus mendudukkan peraturan yang ada, dalam rangka azas keadilan bagi objek yang terkait pada regulasi dimaksud.

“Yang saya tahu sudah ada pembagian kuota (taksi online) per daerah di Indonesia. Seperti di Jawa Barat juga tiga hari lalu sudah tetapkan kuota. Kita pun di sini saya tahu sudah. Tapi bagaimana kita mengawasi itu (tak terjadi penambahan kuota),” sebutnya.

Ke depan, lanjut dia, perlu kesungguhan semua pihak dalam pengawasan jumlah kuota ini. Sehingga, azas keadilan dapat terwujud dan tidak terjadi prilaku ‘kanibalisme’ di lapangan.

“Saya contohkan lagi seperti di Lampung. Di sana mereka dibantu pihak ITB untuk membuat sebuah sistem mengenai transportasi online. Bedanya di sana antara Organda, pemerintah dan penyelenggara aplikasi bisa duduk bersama dan bersepakat,” katanya.

Atas dasar itu pula, Medis kembali menyarankan kiranya Organda di wilayah ini perlu menghitung ulang armada yang aktif. Kemudian memahami betul pada saat jam-jam sibuk berapa unit angkutan yang mesti dioperasikan. “Tapi di luar itukan paling 20 sampai 30 persen saja ada penumpang (terisi). Jadi sebetulnya tidak efektif angkutan kota kita ini,” katanya.

Artinya harus ada penataan terhadap itu supaya lebih efektif dan optimal. Apakah memang dibutuhkan koridor-koridor baru, seperti tempo hari pernah di atur angkutan online tidak boleh mengambil penumpang di depan pasar tradisional dan semacamnya. Sehingga akses-akses bagi driver taksi online ini diatur ke depan, dan semata-mata tidak ‘menghabisi’ angkutan konvensional.  “Supaya adil memang harus duduk bersama, menjamin semua angkutan mendapat penumpang atau sewa. Padahal kalau mau mengatur kota ini, bukan mengatur pergerakan kenderaan melainkan pergerakan orang. Makanya, dibutuhkan angkutan massal. Itu pun kalau pemerintah serius mau membenahi angkutan massal,” tegasnya.

Ketua Organda Kota Medan, Mont Gomery Munthe sebelumnya mengungkapkan, jumlah angkot di Medan menurun drastis paskakehadiran transportasi berbasis aplikasi. Dimana dari sepuluh ribuan angkot yang sebelumnya beroperasi, kini jumlahnya tidak sampai 5.000 unit. (prn/ila)

 

Exit mobile version