Site icon SumutPos

Bolak-balik Lihat Posisi Terjun, Polisi Pastikan Edo Bunuh Diri

Foto: Oki/PM Edoardo yang tewas lompat di Sun Plaza, Medan.
Foto: Oki/PM
Edoardo yang tewas lompat di Sun Plaza, Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Setelah melakukan penyelidikan dan memeriksa rekaman CCTV, polisi memastikan Edoardo Servasius Napitupulu SE (25), meninggal karena bunuh diri dengan cara lompat dari lantai tiga gedung Sun Plaza, Minggu (7/2) malam lalu.

“Sudah bisa dipastikan Edoardo meninggal karena bunuh diri. Dari amatan CCTV, korban bolak balik melihat posisi dia akan terjun ke bawah,” terang Kanit Reskrim Medan Baru, AKP Adhi saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (11/2).

Lebih lanjut, perwira berpangkat 3 balok emas di pundaknya ini menyakini korban loncat dari lantai 3. “Dari lantai 3 dia meloncat, dan saat kejadian dia sendiri datang ke parkiran mobil Sun Plaza,” katanya.

Kenapa saat ditemukan jenazah Edoardo dalam posisi telungkup? “Jadi hasil iden di Brimob, Edo loncat dengan awalnya duduk. Dengan membalikkan badan. Karena posisi bagian kepala belakang duluan hancur seperti posisi awal korban ditemukan (di Sun Plaza),” jawabnya.

Polisi juga meyakini Edo tidak mungkin dibuang seseorang ke lantai LG gedug Sun Plaza.”Posisi tempat dia meloncat dibatasi dengan dinding setinggi dada pria dewasa. Jadi ini murni bunuh diri,” tandasnya.

Sebelumnya keluarga yakin mahasiwa USU Fakultas Ekonomi angkatan 2008 itu bukan bunuh diri, melainkan dibunuh. Kekasih Edo berinisial TR (25) yang ditemui di rumah duka menegaskan, tak ada alasan bagi lelaki pujaan hatinya itu untuk bunuh diri. Apalagi,semasa hidupnya TR mengenal Edo sebagai sosok pribadi yang periang. Bahkan, sebelum kejadian, pria yang telah pacaran dengannya dari bangku SMA itu sempat menyatakan rencananya ke depan.

“Menurut saya tidak mungkin dia nekad bang. Banyak rencananya yang masih mau dia wujudkan. Selain akan mengambil ijazah S1 Sarjana Ekonomi di USU dan melamar pekerjaan, dia juga sempat mengaku akan membuat surprise dengan menemui saya ke Batam bang,” ucapnya.

Disebutkan wanita yang bekerja di Batam ini, selain tidak pernah memiliki masalah dengan orang lain, korban merupakan sosok pria yang selalu peduli dengan kesusahan teman atau sekelilingnya.

Terpisah, teman SD korban Alexander Sitepu (26) juga tak yakin korban bunuh diri. Menurutnya, hal itu tidak sesuai dengan sosok korban yang selama ini dikenalnya. “Tidak mungkin dia berani bunuh diri seperti anggapan yang beredar, sama jarum suntik dan gelap saja dia takut bang. Makanya, tak wajar saya rasa kalau kematian korban disebut bunuh diri, seperti yang diberitakan. Untuk itu, kami berharap polisi mampu memastikan penyebab kematian korban yang sebenarnya,” tegasnya.

Sementara Ahli Forensik dr Reinhard Hatahaean SH SpF mengatakan, untuk menentukan penyebab kematian korban, penyidik harus melakukan olah TKP secara teliti, digabungkan dengan hasil otopsi dan keterangan saksi-saksi, serta hal lainnya. Meski mengakui otopsi tak bisa menentukan korban bunuh diri atau dibunuh, namun melalui otopsi dapat diketahui luka-luka dan pendarahan pada korban dialami pada saat masih hidup atau sesudah meninggal.

“Contoh, luka yang dialami orang yang melompat bunuh diri atau dibuang tentu berbeda. Kalau dibuang cenderung posisi mayat terlentang di lantai dan dapat diperkirakan bagaimana patahan-patahan pada tulangnya. Sementara, kalau bunuh diri dengan cara melompat, kemungkinan besar kaki duluan yang mendarat di bawah. Walau posisi mayat bunuh diri bisa terlentang atau terlungkup,” jelasnya.

Masih kata Rainhard, distribusi patah-patah pada tulang dan pendarahan yang dialami akan dapat menjelaskan bagaimana sebenarnya posisi mekanisme benturan (trauma) yang dialami korban saat terjatuh.

Dari otopsi itu juga nantinya, sebutnya dapat diketahui apakah patah tulang dan pendarahan pada korban dialami sebelum atau sesudah kematian. Namun, untuk dapat memastikan patah tulang yang dialami korban, harus dilakukan foto rontgen secara menyeluruh pada tiap bagian tubuh korban.

“Meski otopsi dan foto rontgen menyeluruh masih dapat dilakukan setelah korban dikubur, namun masalahnya adalah apakah ada instalasi yang mau melakukan foto rontgen itu pada mayat yang telah dikubur. Kalau untuk kepentingan penyelidikan, bisa saja dilakukan lagi otopsi dan foto rontgen secara menyeluruh, dengan dibantu dokter forensik yang menangani korban, dibantu ahli forensik yang independent sebagai pembanding,” tegasnya. (mag-1/deo)

Exit mobile version