Site icon SumutPos

Parmalim: Anak-anak Kami Sulit Dapat Kerja…

Foto: Repro/Pran Hasibuan/Sumut Pos
Parmalim, penganut agama bangsa Batak.

Menjadi kelompok minoritas dalam kehidupan bermasyarakat memang tak mudah. Banyak diskriminasi yang dirasakan dan terkadang merasa terkucilkan, baik itu di sekolah, dalam mencari pekerjaan bahkan saat ingin menikah.

————————————

PRAN HASIBUAN, Medan

————————————

DI Medan, ada penghayat kepercayaan bernama Ugamo Bangso Batak. Kelompok ini memiliki kantor di Jalan Binjai Km 7,5 Pasar II, Gang Karya, Kelurahan Cinta Damai, Medan Helvetia. Salah seorang Ketua Adat Ugamo Bangso Batak asal Medan, Arnol Purba, merupakan bagian yang ikut memperjuangkan agar kepercayaan ini mendapat legalitas dari pemerintah.

Usaha dan perjuangan selama 20-an tahun pun, tak sia-sia. Kini penghayat kepercayaan Ugamo Bangso Batak, sama seperti agama dan kepercayaan lain yang sebelumnya diakui pemerintah. Hal itu diketahui paska Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mereka beberapa waktu lalu.

Berbicara kepada Sumut Pos, Arnol mengungkapkan, banyak sekali diskriminasi yang mereka rasakan dalam kehidupan dan sosial masyarakat. Antara lain, sulitnya mendapat pekerjaan lantaran tak tersedia kolom agama atau kepercayaan yang mereka anut.

“Diskriminasi lebih terasa saat anak-anak kami melamar pekerjaan, lalu tidak diterima. Sewaktu di-klik di situs online, tidak ada tercantum kolom agama/kepercayaan, di situ saja anak-anak kami sudah gugur,” katanya membuka cerita saat dihubungi, Minggu (12/11).

Selama ini kata dia, kolom agama/penghayat kepercayaan memang tak tertera alias kosong. Salah satunya pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini pulalah yang membuat mereka merasa hak-hak seluruh anak bangsa belum disamaratakan.

“Ketika di Medan, anak pertama saya pernah coba melamar di bidang kesehatan, cuma tak lulus. Tapi ketika mencoba di Jakarta, dia justru masuk. Dia diterima di PT Faros milik pengusaha Singapura. Dan sekarang ini anak kita sudah bekerja di PLN Cabang Medan,” akunya bangga.

Sepenggal cerita diskrimasi terhadap kelompok minoritas seperti mereka, dalam hal mendapat pekerjaan diakuinya memang sangat sulit dan berat dihadapi. Tapi dengan kepercayaan kuat terhadap leluhur, dimana Tuhan tak pernah tidur membantu umatnya, Arnol selalu berserah diri saja.

“Sekarang ini anak saya sudah dua orang sarjana, satu sedang kuliah dan anak keempat duduk di kelas 3 SMA. Sedangkan istri saya orang Porsea, lahir di Belawan. Mertua saya keturunan Permalin. Saya awalnya Kristen juga. Tapi saya yakini leluhur itu pasti membantu saya, dan terbukti saya bisa menyekolahkan anak-anak,” ungkap pria kelahiran Humbahas ini.

Mewakili umat Ugamo Bangso Batak, Arnol mengharapkan, ke depan Kementerian Tenaga Kerja dapat menampilkan di situs online ada kolom penghayat kepercayaan. Ini bertujuan agar anak-anak mereka ingin melamar kerja, memperoleh pekerjaan sesuai keinginannya. “Tampilan di situs online ada kolom penghayat kepercayaan agar tidak ada diskriminasi lagi. Terkhusus bagi kami penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia. Baik di Jawa yang namanya itu Kejawen atau Sapto Darmo, Ugama Bangso Batak, Pemena di Karo, di Kisaran Parbaringin atau Sunda Witan bisa mendapat hak dan kewajiban yang sama,” jelasnya.

Seperti diketahui, MK mengabulkan permohonan uji materi para penghayat kepercayaan untuk mendapatkan kesetaraan   dalam dokumen administrasi kependudukan. Ketua MK Arief Hidayat  dalam sidang menyatakan mengabulkan seluruh permohonan. “Amar putusan mengadili, satu mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat saat sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi, Selasa (7/11).

Majelis hakim memutuskan dalam dokumen kependudukan para penganut aliran kepercayaan hanya ditulis penganut aliran kepercayaan. “Bahwa agar tujuan tertib administrasi kependudukan dapat terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, maka pencantuman data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan, hanya dengan mencatat bahwa yang bersangkutan adalah sebagai penghayat kepercayaan tanpa merinci yang dianut dalam KK maupun KTP elektronik. Begitu juga dengan penganut agama lain,” tutur Majelis Hakim.

Dalam aturan sebelumnya bagi penghayat dokumen kependudukan diu  kolom agama dikosongkan. Permohonan uji materi  dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016  diajukan Nggay Mehang Tana, Tagar Demanra Sirait, Arnold Purba, Karlim, dkk. Mereka menggugat Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475).

Pasal 61 (1) berbunyi; KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam  keluarga,  kewarganegaraan,  dokumen  imigrasi, nama orang tua. Sedangkan Pasal 64 (1) berisi; KTP mencantumkan gambar lambang  Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan  tentang  NIK,  nama, tempat  tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang  KTP,  serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya. (*/bersambung)

Exit mobile version