Site icon SumutPos

Ahok Dijaga Berlapis

Tersangka kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat tiba di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (1/12). Bareskrim menyerahkan tersangka Ahok beserta berkas dan barang bukti setelah berkas perkara dugaan penistaan agama dinyatakan telah lengkap.FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
Tersangka kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat tiba di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (1/12). Bareskrim menyerahkan tersangka Ahok beserta berkas dan barang bukti setelah berkas perkara dugaan penistaan agama dinyatakan telah lengkap.FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sidang perdana kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan digelar hari ini, Selasa (13/12). Umat Islam yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) dipastikan ikut mengawal jalannya sidang. Polri pun mempersiapkan pengamanan terhadap majelis hakim.

‎Wakil Ketua GNPF MUI KH Zaitun Rasmin menyerukan agar seluruh umat Islam yang akan hadir di persidangan perdana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk bersikap tertib. Jangan sampai berbuat gaduh, menyela, atau melontarkan kalimat yang bisa mengganggu jalannya sidang.

“Yang mau hadir besok, harap tertib. Tunjukkan sikap umat Islam ‎yang berakhlaqul karimah. Ingat, kita berjalan di atas koridor hukum yang berlaku,” imbau Ustad Zaitun, Senin (12/12).

Kepada aparat hukum, dia mengimbau agar ‎tidak menghalang-halangi masyarakat yang ingin menyaksikan jalannya sidang. “Umat muslim tidak ingin ribut. Kalau mau ribut sudah sejak aksi 411 dan 212. Karena itu kepada aparat berikan kesempatan kepada umat Islam untuk mengawal kasus penistaan agamanya,” tuturnya.

Dia menambahkan, GNPF MUI sangat konsisten mengawal kasus Ahok ini. Masyarakat berharap hasil sidang nanti tidak mengecewakan lebih dari ‎100 juta umat Islam di Indonesia.

“Sekitar 1.000 orang akan datang ke sidang perdana ini. Kami hanya datang untuk mendengar dan mengawasi jalannya sidang, apakah sesuai koridor hukum atau tidak‎,” kata Zaitun.

Diakuinya, animo umat Islam untuk menyaksikan sidang Ahok sangat besar. ‎Namun, GNPF MUI memberikan batasan. Itu pun bagi umat Islam dari daerah yang ingin datang harus berkoordinasi dulu dengan GNPF.

“Umat Islam yang mau hadir silakan koordinasi dengan GNPF agar kami bisa koordinasikan dengan aparat Kepolisian. Kami juga meminta‎ agar kepolisian bisa memaksimalkan penjagaan,” terangnya.

Sementara, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divhumas Mabes Polri Kombespol Martinus Sitompul menyebutkan, pihaknya telah mempersiapkan pengamanan terhadap majelis hakim.

”Kami persiapkan pengamanan khusus untuk mereka,” terang Kombespol Martinus Sitompul di kantor Divhumas, kemarin.

Karena itu, lanjut dia, siapapun diharapkan tidak mengintervensi hakim dengan cara apapun. Pengunjung pun hanya dibatasi hanya 100 orang agar proses pengamanan berjalan lebih lancar. ”Semua kami amankan,” ujarnya. Karena sidang itu sangat kontroversial, Polri memilih pengamanan dilakukan dengan terbuka tertutup.

Pengamanan terbuka itu terdiri atas personel bersenjata yang berada di lokasi dengan terang-terangan. ”Tapi ada personel yang berbaur dengan pengunjung dan tidak bisa dikenali,” paparnya.

Berapa jumlah personel yang dikerahkan? Martinus menyatakan bahwa jumlah personel akan sangat dinamis bergantung dari dinamika yang ada. ”Kemungkinan membutuhkan personel yang banyak,” tuturnya. Disebutkan, pengamanan akan dibagi dalam empat ring kawasan. Empat ring tersebut semuanya dilakukan pengamanan. ”Yang pasti, yang terdekat menjadi prioritas,” ujarnya.

Selain pengamanan, Polri juga akan melakukan rekayasa lalu lintas. Namun, semua itu bergantung berapa jumlah pengunjung sidang. Kalau banyak masyarakat yang menunggu di luar sidang, tentu akan dilakukan rekayasa lalu lintas. ”Semua dilakukan saat melihat kondisi lapangan,” terangnya.

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) juga angkat bicara mengenai persidangan Ahok yang digelar hari ini. Khususnya yang terkait dengan penyiaran sidang kepada masyarakat luas, mengingat persidangan Ahok memang menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu masyarakat.

“AJI meminta media bijak dalam menyiarkan sidang kasus bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) mengingat dampak kasus ini sangat besar,” kata Ketua Umum AJI Suwarjono kemarin.

Menurut dia, media memang punya kewajiban menyiarkan berita sebagai bagian dari fungsinya untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi. Menyiarkan proses persidangan sepanjang dibolehkan pengadilan, adalah bagian dari kebebasan pers. Namun dia juga mengingatkan soal tanggung jawab lainnya, yaitu menjaga kepentingan yang lebih besar.

“Karena itu, penting bagi media untuk mempertimbangkan dampak positif atau negatifnya. Untuk isu SARA, saya berharap media tidak mengejar rating atau jumlah penonton, bisnis, atau untuk memenuhi keinginan politik yang berperkara. Namun juga mempertimbangkan efek yang muncul akibat pemberitaan,” kata dia.

Ketua Bidang Penyiaran AJI Indonesia Revolusi Riza menambahkan, kasus yang menimpa Ahok bukan semata kasus pidana biasa. Kasus itu tergolong sensitif dan bisa membahayakan kebhinekaan bangsa ini jika tak dikelola dengan tepat.”Peran media cukup besar dalam soal ini,” kata Revo, sapaan akrab Revolusi.

“Siaran media yang proporsional dan sesuai KEJ diyakini akan mampu memenuhi kebutuhan publik akan informasi atas kasus itu tanpa mengorbankan kebhinekaan bangsa ini,” tambahnya.

AJI, kata Revo, meminta media untuk menjadikan kepentingan publik dan bangsa sebagai pertimbangan utama, daripada soal faktor rating atau perolehan iklan yang bisa didapatkan dari pemberitaan kasus itu. Pihaknya juga meminta media berkaca pada siaran live sidang kasus Jessica Kemala Wongso, yang diadili karena diduga menjadi pembunuh Mirna Salihin dengan racun sianida.

Siaran live sejumlah media penyiaran dalam kasus itu tak semata berisi siaran jalannya sidang, tapi juga diimbuhi dengan pandangan atau komentar dari pengamat dan pihak luar. Ada persidangan di luar pengadilan yang pengaruh ke publik sangat besar. Pemberitaan soal itu membuat media dikritik berat sebelah dan malah ada yang menudingnya sebagai trial by the press.

Revo juga mengingatkan, perilaku tak patut yang (meskipun) dilakukan segelintir awak media –yang menomorsatukan rating, perolehan iklan, dan cenderung mengabaikan KEJ-akan mencoreng citra pers secara keseluruhan, dan mengancam kebebasan pers yang sedang coba kita pertahankan. “Kita harus berkaca dan introspeksi dari kritik publik itu,” tambahnya.

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel ikut angkat bicara soal kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama. Menurut Reza, dalam kasus ini yang menjadi korban adalah umat Islam.

“Umat Islam yang paling merasakan. Siapakah yang berada di jantungnya sistem peradilan pidana? Dengan kata lain, dalam setiap peristiwa kejahatan, siapakah pihak yang semestinya paling kita pikirkan? Kondisi siapakah yang seharusnya paling kita risaukan? Tiada lain adalah korban,” tegas Reza dalam pesan elektroniknya kepada JPNN (grup Sumut Pos), Senin (12/12)

Dalam perjalanan kasus Ahok, lanjutnya, para korban memandang skeptis (kurang percaya, ragu-ragu). Bahkan pesimistis terhadap profesionalitas kerja otoritas hukum. Menurut Reza, persidangan kasus Ahok seharusnya digelar dalam format yang bisa menjawab skeptisisme para korban seluas mungkin.

“Format untuk maksud tersebut sekaligus berpotensi paling minim bagi bias pemberitaan media, adalah persidangan terbuka dan diliput langsung oleh media,” saran Reza.

Reza melanjutkan, Ahok sendiri, selaku individu yang sangat sering memperlihatkan tabiat ekstrover, boleh jadi juga menginginkan dirinya disorot secara real time oleh sebanyak mungkin kamera. “Tapi hati orang siapa yang tahu,” tandasnya. (idr/dod/oki/jpg/esy/jpnn/adz)

Exit mobile version