Site icon SumutPos

Siap-siap! Keramba Ikan di Danau Toba Dikurangi 43 Persen

Foto: Net Keramba ikan jaring apung di Danau Toba. Padatnya jumlah keramba di danau kebanggaan warga Sumut ini akan dikaji ulang.
Foto: Net
Keramba ikan jaring apung di Danau Toba. Padatnya jumlah keramba di danau kebanggaan warga Sumut ini akan dikaji ulang.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) melakukan evaluasi terhadap Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba. Alasannya, keberadaan KJA sudah melebih batas kewajaran, sehingga perlu dikurangi hingga 43 persen dari total keseluruhan KJA di Danau Toba.

Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Sumut Hasban Ritonga mengatakan keberadaan Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba, baik milik perusahaan maupun masyarakat akan dievaluasi. Kemungkinan akan ada penataan atas keberadaan dan jumlahnya yang dinilai sudah melewati ambang batas kewajaran terhadap Daya Tampung Beban Pencemaran (DTBP).

“Itu nanti mau dievaluasi, termasuk punya masyarakat. Mungkin nanti ya akan ada penataan, untuk lingkungan dan kelayakan air,” ujar Hasban, Rabu (13/1).

Berdasarkan rekomendasi dari sejumlah penggiat Danau Toba, disebutkan bahwa kualitas air sudah semakin rendah. Bukan hanya tidak layak minum, tetapi sudah sampai tingkat tidak layak mandi. Artinya kadar pencemaran cukup tinggi, dimana hal itu berasal dari kerambah tersebut.

Bagaimana mengenai izin-izin KJA di Danau Toba, “Soal ijin, itu kan sudah pasti dari pemerintah ya. Tentunya kedepan itu bisa kita komunikasikan ulang, untuk kepentingan khalayak ramai. Dimana ada disana perusakan, kita tinjau la pengelolaannya. Misalnya berapa meter dari pinggiran yang boleh,” jawab Hasban.

Dia menyatakan, Pemprovsu mendukung permintaan Menteri Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramil dan Menteri Pariwisata Arif Yahya menginginkan agar keramba budidaya ikan di Danau Toba dibersihkan. Tapi, saat ini Pemprov masih akan mempelajari dan mengevaluasi keberadaannya. Sebab didalamnya juga terdapat masyarakat yang menjadikan usaha tersebut sebagai mata pencaharian utama.

Meskipun mendukung sikap dua menteri agar ditutupnya KJA milik PT Aquafarm Nusantara dan PT Jafpa, Pemprovsu memberi sinyal menutupnya. “Kalau industri besar mungkin mudahlah kita bicarakan. Ya kita bicarakan lah,” katanya. “Yah memang dua perusahaan itu menyumbang PAD, tapi apabila merusak lingkungan. Apalagi Danau Toba, maka tetap dievaluasi keberadaannya,” tambahnya.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut Wan Hidayati mengatakan pihaknya telah menyampaikan bahwa keberadaan KJA baik milik perusahaan maupun masyarakat, harus dikurangi hingga 43 persen dari total keseluruhan.

Dia menyebutkan, alasan dikuranginya KJA dikarenakan daya tampung, artinya masih dalam tahap diperbolehkan atau tidak. Apabila sudah melewati, maka harus dikurangi sesuai dengan batas daya tampung itu. “Kalau KJA itu memang telah melebihi baku mutu atau standard yang diperbolehkan di Danau Toba,” katanya.

Hidayati mengatakan, untuk menghilangkan seluruh KJA di Danau Toba, tentunya sulit dilakukan. Sebab, dalam mengambil keputusan, banyak pertimbangan yang harus dilihat. Dalam hal ini, selain lingkungan, ada aspek sosial ekonomi khususnya masyarakat. Meskipun secara kelembagaan, pihaknya tetap mendukung kebijakan pemerintah.

“Ini kan kebijakan pemerintah. Tetapi menurut saya hal ini, berat mungkin ya. Karena harus memikirkan kesetaraan dan keseimbangan juga kan,” sebutnya.

Dalam kacamata sebagai lembaga yang mengurusi lingkungan hidup, Hidayati menganggap permintaan dua kementrian itu sudah tepat. Sebab, jika kawasan tersebut akan dijadikan wilayah konservasi, maka harus ada upaya untuk membersihkan dan menjaga kualitas air dari pencemaran.

“Tetapi kalau saya berfikir kepentingan lingkungan, ya bagus sekali kalau (KJA) itu dihilangkan. Namun bagaimana masyarakat yang hidup dikawasan itu, mungkin harus difikirkan apa solusinya, terutama ekonomi,” katanya.

Penggiat Komunitas Bumi, Miduk Hutabarat mendukung penutupan KJA, pasalnya pemerintahan Joko Widodo sudah serius menata kawasan wisata Danau Toba di Sumut. Pasalnya, keberadaan KJA juga belum menjamin tentang jaminan kualitas air yang baik.

“Bila keramba ikan masih ada di Danau Toba, siapa yang menjamin air tidak tercemari makanan ikan? Siapa pula yang bisa menjamin tidak gatal-gatal bila mandi di Danau Toba? Pertanyaan inilah yang harus dijawab Pemerintah Daerah dan menyiapkan penanggungjawab Danau Toba,” usulnya.

Miduk menyebutkan, apabila hanya satuan kerja perangkat daerah (SKPD) akan sulit berkoordinasi dengan menteri. Nah, seharusnya ini dipikirkan, siapa yang bertanggung jawab untuk mengeksekusi pembangunan destinasi Danau Toba.

Selain itu, dia menyarankan ada pendekatan terhadap masyarakat juga harus diutamakan karena pasti akan ada pro dan kontra. Selama ini, kepedulian pemerintah daerah terhadap Danau Toba sangat minim, hal ini terbukti dari alokasi-alokasi anggaran, sisi pengembangan, pendampingan dan penguatan agar masyarakat sadar wisata.”Inilah pekerjaan besar pemerintah daerah, bagaimana menyadarkan masyarakat sekitar agar sadar wisata,” tegasnya. (bal)

Exit mobile version