Site icon SumutPos

90 Anggota DPR Ajukan Hak Angket

Anggota DPR RI

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Anggota DPR RI semakin serius mengajukan hak angket terhadap pengaktifan kembali Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebanyak 90 anggota dewan resmi mengusulkan Ahok Gate, kemarin (13/2). Langkah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang tidak memberhentikan mantan Bupati Belitung Timur itu dinilai melanggar undang-undang.

90 anggota dewan yang mengajukan hak penyelidikan terhadap keputusan pemerintah itu berasal dari 4 fraksi. Yaitu, Fraksi Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, dan PKS. Dari Partai Gerindra ada 22 anggota yang telah menandatangani usulan itu, dari Demokrat 42 orang, PAN 10 orang, dan PKS sebanyak 16 legislator.

”Secara resmi kami serahkan usulan hak angket kepada pimpinan DPR,” terang Fandi Utomo, dari Fraksi Partai Demokrat.

Usulan hak angket itu diterima Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan Agus Hermanto. Fadli mengatakan, pihaknya menerima usulan itu dan akan dilanjutkan ke tahap berikutnya. Hak angket itu akan dibahas di Badan Musyawarah (Bamus). Selanjutnya akan dibacakan di rapat paripurna. “Dan akan diputuskan pada rapat paripurna kedua,” ucap dia.

Almuzzammil Yusuf, anggota DPR dari Fraksi PKS menyatakan, partainya bersama PAN, Demokrat dan Gerindra sepakat mengusulkan hak angket. Menurut dia, tidak diberhentikannya Ahok dari jabatan gubernur merupakan pelanggaran hukum. Jadi, katanya, langkah itu merupakan semangat penegakan hukum.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 83 ayat 1, 2, dan 3, Presiden RI berkewajiban mengeluarkan surat kepentusan (SK) pemberhentian sementara bagi gubernur yang berstatus terdakwa. ”Hingga status hukumnya bersifat tetap,” terang Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) DPP PKS itu.

Ahmad Riza Patria, anggota DPR dari Partai Gerindra mengatakan, ada ketidakadilan dalam kasus Ahok. Kepala daerah yang lain dinonaktifkan ketika sudah menjadi terdakwa. Sementara Ahok, kata dia, sampai sekarang masih aktif menjadi gubenur. Mendagri selalu beralasan ketika ditanya pemberhentian calon gubernur yang sekarang diusung PDIP itu.

Sebelumnya, Mendagri berdalih pemberhentian gubernur itu menunggu masa cuti kampanye selesai. Setelah kampanye selesai, pemerintah beralasan menunggu tuntuan dari jaksa, karena sampai sekarang belum ada tuntutan hukum dari jaksa. ”Alasan pemerintah itu yang akan kami tanyakan lewat hak angket. Kebijakan itu sudah melanggar aturan,” paparnya.

Anggota DPR dari Fraksi PAN Yandri Susanto menyatakan, pemerintah seolah-olah menganak emaskan Ahok. Sebab, kepala daerah yang menjadi terdakwa dengan mudah dinonaktifkan. Bahkan, lanjut dia, sebelum memasuki persidangan, kepala daerah itu sudah tidak menjabat lagi sebagai pejabat.

Menurut dia, setelah ini akan semakin banyak anggota DPR yang ikut menandatangi hak angket. Sebab, baru satu hari saja, sudah 90 orang yang ikut tandatangan dan menjadi pengusul atau inisiator. ”Akan kami kawal. Ini juga sebagai pembelajaran bagi masyarakat. Jika ada kebijakan pemerintah yang melanggar, rakyat bisa mempertanyakannya,” ucap dia.

Fahri Hamzah mengatakan, pengusulan hak angket itu sudah memenuhi syarat, karena diusulkan lebih dari 20 orang dan lebih dari satu fraksi. Terkait apakah nanti disepakati atau tidak, ucap dia, hal itu bergantung pada pembahasan di rapat paripurna. ”Jadi, menang atau tidak itu nanti di paripurna,” paparnya.

Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, dia tidak bisa menanggapi hak angket yang diusulkan DPR. “Itu hak anggota DPR,” terang dia saat ditemui usai rapat bersama Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan kemarin.

Menurut dia, pihaknya mendengarkan semua aspirasi, baik dari masyarakat, DPR, dan para pakar hukum. Ada multitafsir dalam memahami peraturan penonaktifan calon kepala daerah yang menjadi terdakwa. Setelah ini, dia akan datang ke Mahkamah Agung (MA) untuk meminta fatwa hukum terkait persoalan tersebut.

Terpisah, peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, dukungan empat fraksi dalam menggalang hak angket Ahok masih kental nuansa politis. Selain terburu-buru, patut diragukan ekspresi tanggung jawab DPR terkait fungsi pengawasan.

”Banyak isu pengawasan yang merugikan publik, sebut saja hasil audit BPK yang tak pernah dianggap DPR,” kata Lucius.

Apalagi, lanjut Lucius, fraksi yang mendukung angket selaras dengan dukungan mereka dalam pilkada DKI. Dengan sigapnya, empat fraksi ini langsung mengajukan hak angket. Karena itu, sikap empat fraksi ini tidak bisa dilepaskan dari nuansa politis, dibanding pengawasan.

”Bagaimana hak angket ini bisa menjadi fungsi pengawasan jika mereka bekerja untuk kepentingan partai,” kata Lucius.

Dilihat dari sisi jumlah, dukungan empat fraksi itu juga masih kurang. Jika dijumlah, kekuatan empat fraksi yakni Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN adalah 222 kursi. Jumlah itu masih kalah dibandingkan enam fraksi lain yakni 337 kursi. Empat fraksi ini harus bisa meyakinkan fraksi lain agar mendukung hak angket.

”Tentu sama hal ini sulit karena sebagian besar fraksi menolak hak angket tersebut,” kata Lucius.

Fraksi Partai Golkar melalui Sekretraris Fraksi Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan menolak usulan hak angket Ahok. Menurut Agus, fraksinya tak bisa mendukung permintaan fraksi lain untuk membentuk Pansus Hak Angket. Kalaupun ada hak-hak yang perlu mendapat penjelasan Pemerintah, sebaiknya diselesaikan lewat rapat di komisi DPR yang terkait.

”Saya kira bisa dilakukan secara mendalam di Komisi II yang menangani tentang hal-hal pilkada,” kata Agus.

Agus menilai, tafsir pasal di UU Pemda masih cenderung multitafsir. Karena itu, lebih baik tafsiran diselesaikan lewat pembahasan di Komisi II, dan tak diperlebar ke penggunaan hak angket. ”Kemendagri harus dilibatkan sebagai ujung tombak dari pihak pemerintah untuk bicara, menjelaskan kepada publik melalui Komisi II,” tandasnya. (lum/bay/jpg/adz)

 

Exit mobile version