Site icon SumutPos

Suliono, Radikal Karena Sebuah Kelompok dan Internet

Keluarga dan tetangga Suliono di Banyuwangi berbincang di rumahnya, Selasa (13/2).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kendati sumber radikalisme, yakni ISIS telah hancur. Namun, proses penyebaran paham radikal masih berlangsung. Pelaku penyerangan gereja Santa Lidwina, Suliono buktinya. Dia terpapar paham radikal dari sebuah kelompok di Sulawesi Tengah.

Kadivhumas Polri Irjen Setyo Wasisto menjelaskan, Suliono saat masih SMA bersekolah di Morowali dan kuliahnya di Palu. Saat itulah kemduian dia mengikuti kegiatan sebuah organisasi keagamaan. ”Dari situlah dia belajar akidah yang berbeda pemahaman,” terangnya.

Selanjutnya, saat di Magelang, Suliono mondok di sebuah pesantren. Namun pendidikan di pesantren itu hanya dilalui sebentar. ”Dia berencana untuk pulang ke Banyuwangi setelahnya, namun mampir dulu ke Jogja,” paparnya ditemui di kantor Divhumas Polri.

Tercatat, Suliono belajar dari internet terkait paham keliru itu. Hingga akhirnya muncul dorongan dari dalam dirinya untuk melakukan aksi penyerangan di Jogjakarta tersebut. ”Ini pengakuan dari tersangka ya,” ungkapnya.

Sebelum melakukan aksi, Suliono ini juga mengakses internet untuk mencari alamat gereja terdekat serta, tempat mencari senjata. Setyo menjelaskan, akhirnya dipilih gereja yang diserang itu. ”Dengan semua ini, kami masih memandang bahwa pelaku ini lone wolf,” paparnya.

Kejadian penyerangan gereja yang dilakukan Suliono ini sebenarnya bisa dicegah bila sistem keamanan masyarakat berjalan. Suliono diketahui menginap selama tiga hari di sebuah musola di dekat lokasi penyerangan. ”Saat menginap di musola ini sempat komunikasi dengan penjaga mushola dan sejumlah orang,” tuturnya.

Sayangnya, kepala rukun tetangga dan kepala rukun warga tidak mengetahui adanya orang yang menginap di mushola. ”Kalau saja ada kepedulian untuk melaporkan, tentu akan berbeda,” terangnya.

Menurutnya, bila ada orang asing yang berada di lingkungan kampung, saat ada yang melapor ke kepolisian setempat tentu akan ditangani. ”Polisi kan bisa untuk melakukan upaya pemeriksaan dan sebagainya. Sehingga, bisa dicegah sebelum terjadi aksi,” tuturnya.

Masjid yang dirusak orang gila.

Masjid Diserang Orang Gila

Sementara kejadian penyerangan oleh orang gila di Masjid kembali terjadi. Masjid Baiturrahim di Tuban Jawa Timur diserang oleh seseorang yang diduga tidak waras. Hampir semua kaca masjid pecah karena dipukuli.

Sebelumnya, dua ustad di Jawa Barat dianiaya oleh pelaku yang keduanya dipastikan oleh polisi sebagai orang yang mengalami gangguan mental. Terkait penyerangan masjid di Tuban, Setyo menjelaskan bahwa pihaknya masih melakukan pengecekan terkait penyerangan masjid.

Pengamat Terorisme Al Chaidar menuturkan, Polri ini harus bertindak cepat untuk menangani gejala kerja-kerja intelijen. Jangan hanya membantah, namun harus benar-benar memberikan bukti nyata. ”Ya kalau disebut gila, tunjukkan surat dokternya. Bawa dokternya ke hadapan masyarakat untuk menjelaskan,” tuturnya.

Dari kacamatanya, motif ini bisa dikaitkan dengan tindakan penyerangan terhadap masjid, ustad serta ulama di beberapa daerah. “Dari yang saya lihat ini mengarah pembalasan tindakan penyerangan sebelum-belumnya. Karena selain pilihan tempatnya, sampai saat ini juga belum ada kelompok radikal yang bertanggungjawab,” katanya saat dihubungi INDOPOS (grup Sumut Pos).

Tetapi walau bukan dari kelompok teroris yang sudah mempunyai jejak rekam di Indonesia. Chaidar juga punya pandangan kalau kejadian ini bisa saja jadi pertanda lahirnya embrio kelompok teroris baru. “Bisa jadi lahir di luar ISIS dan Al Qaeda. Lahirnya kelompok ini karena kecewa dengan kedua jaringan besar ini yang cuman bisa ribut sesama Islam saja,” tegasnya.

Tak ketinggalan, Chaidar juga berbicara perihal dampak penyerangan ini. Salah satunya adalah membangkitkan rasa terobati ya moral torment yang diidap oleh umat islam. “Ini juga akan membenarkan perilaku diskriminatif dan intoleransi. Soalnya negara dianggap berat sebelah,” tambahnya. (idr/rvn/jpg)

 

Exit mobile version