Site icon SumutPos

Pengamanan Eksekusi D’Caldera Coffe Berlebihan, Polisi Harus Bertanggungjawab

EKSEKUSI: Petugas kepolisian melakukan pengamanan eksekusi D'Caldera Coffee di Jalan Sisingamangaraja, Kota Medan.(ist)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengamanan eksekusi D’Caldera Coffee di Jalan Sisingamangaraja, Kota Medan, Rabu (13/7) dilakukan pihak kepolisian terlalu berlebih. Sehingga eksekusi tersebut, berakhir ricuh dan puluhan orang diamankan.

Hal itu, diungkapkan oleh Kepala Operasional KontraS Sumut, Adinda Zahra Noviyanti kepada wartawan, Kamis (14/7). Ia menilai eksekusi tersebut, terkesan melanggar asas nesesitas dan proporsionalitas sebagai aparat negara dalam menjaga keamanan.

“Atau dengan kata lain takaran penggunaan kekuatannya juga harus disesuaikan antara kekuatan dan besarnya ancaman yang dihadapi,” sebut Dinda.

Dinda menjelaskan pengamanan berlebih dalam eksekusi dilakukan Juru Sita Pengadilan Negeri (PN) Medan ini, bukan besar ancaman terhadap ketertiban masyarakat dan mengancam kedaulatan negara di Indonesia.

“KontraS secara kelembagaan pada prinsipnya siap untuk mengawal korban mencari keadilan. Bukan semata-mata untuk mencari-cari kesalahan, tapi untuk memastikan proses hukum yang tegas bisa menjadi pelajaran agar peristiwa serupa tidak berulang,” jelas Dinda.

Atas pengamanan berlebih ini, Dinda mengatakan dari pemantauan KontraS menyebabkan 1 orang mengalami luka dibagian mulut. Sedangkan sekitar 33 orang lagi dibawa ke Polrestabes Medan.

“Sebagian besar mereka adalah para seniman dan penggiat budaya di Kota Medan yang menolak eksekusi D’Caldera Coffe. Status 33 orang tersebut masih belum jelas sebagai apa di kantor polisi,” jelas Dinda.

Dinda mengungkapkan pihaknya menemukan ada indikasi pelanggaran dilakukan aparat kepolisian dalam melakukan pengamanan eksekusi tersebut.

Ia mengatakan apalagi peristiwa-peristiwa serupa kerap kali terjadi berulang-ulang, khususnya yang berkaitan dengan konteks eksekusi lahan ataupun sengketa agraria lainnya di Kota Medan maupun di Sumut ini.

“Pendekatan kepolisian dalam menyelesaikan masalah cenderung menggunakan cara represif, mengandalkan senjata dan wewenang penegakan hukum yang dimiliki. Bukan memilih langkah lain yang lebih humanis dan menjunjung tinggi martabat manusia,” ucap Dinda.

Dinda mengatakan sejatinya proses eksekusi dilakukan oleh juru sita dari Pengadilan Negeri Medan. Kepolisian hanya berperan mengamankan. Apalagi eksekusi pengosongan bangunan itu seharusnya bisa dilakukan dengan persuasif dengan tetap memperhatikan nilai kemanusian dan keadilan.

Hal itu, lanjut Dinda, sesuai dengan Surat keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 40/DJU/SK/HM.02.3/1/2019 tentang Pedoman Eksekusi Pada Pengadilan Negeri.

Meski demikian, kata Dinda, situasi di lapangan menunjukkan gelagat, aparat kepolisian lah yang justru menjadi aktor utama dalam eksekusi. Hingga terjadi aksi saling dorong antara pihak kepolisian dan massa yang menolak eksekusi bangunan.

“Dalam kasus-kasus eksekusi lahan, Kepolisian kerap memilih untuk dihadapkan langsung dengan masyarakat. Pada akhirnya kepolisian juga yang mendapat sorotan karena diduga melakukan kekerasan,” tandas Dinda.(gus)

Exit mobile version