Site icon SumutPos

Regulasi Taksi Online Diatur Ulang

Taksi daring.

SUMUTPOS.CO – Pembatalan Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 oleh Mahkamah Agung (MA), membuat keberadaan transportasi online kembali tak memiliki payung hukum. Namun, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan kembali merancang aturan baru sebagai regulasi taksi daring dan angkutan sewa khusus.

DIRJEN Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengakui, untuk sementara ini memang ada kekosongan payung hukum bagi taksi daring. “Ini hanya sementara, tapi kita sudah ada rancangan aturan baru,” kata Budi, Kamis (13/9).

Dia menegaskan, pembahasan untuk memantapkan rancangan aturan baru taksi daring dan angkutan sewa khusus yang sudah dibuat akan dilakukan hari ini, Jumat (14/9). Budi juga menjelaskan, tidak seluruh pasal yang ada di PM 108 dibatalkan.

Namun beberapa pasal yang sudah dibatalkan MA, Kemenhub tidak bisa memasukkan kembali aturan tersebut. “Kalau MA sudah menganulir beberapa pasal, berarti saya tidak bisa mengatur lagi. Kalau belum diatur ya kita atur kembali,” jelas Budi.

Dia memastikan, untuk selanjutnya Kemenhub akan mempelajari lebih lanjut putusan MA. Dengan begitu nantinya akan disesuaikan dengan rancangan aturan baru yang sebelumnya sudah disusun Kemenhub.

Untuk menyusun aturan yang baru, Budi memastikan tidak akan memutuskannya sendiri. “Nanti akan kita bahas dan melibatkan aplikator, asosiasi pengemudi taksi daring, dan Organda,” tutur Budi.

Sementara, usai Mahkamah Agung mencabut aturan transportasi online khususnya roda empat, pihak Grab akan berkonsultasi dengan Kementerian Perhubungan sebagai regulator. Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata memaparkan, ada dua poin utama terkait persoalan tersebut.

Pertama, Grab akan mempelajari keputusan MA. “Keputusan ini yang saya pelajari dulu, nomor satunya adalah ini keputusan MA-nya cukup komperhensif, sehingga buat kami butuh waktu untuk mempelajarinya. Bahkan dari Kementerian Perhubungan juga akan mempelajari hal ini,” tutur Ridzki kepada wartawan di Plaza Maspion, Jakarta, Kamis (13/9).

Kedua, perusahaan ride hailing ini tentunya akan berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan mengenai langkah selanjutnya. “Dan, kami akan mentaati aturan hukum dari pemerintah.”

Sejauh ini, Grab masih belum ada gambaran, apakah dari Kementerian Perhubungan akan mengeluarkan produk regulasi yang baru atau tetap menggunakan Permenhub 108 setelah beberapa artikelnya dicabut oleh MA. “Tentunya itu saya belum tahu karena harus konsultasi dulu dengan Kementerian Perhubungan seperti apa arah berikutnya,” kata Bos Grab Indonesia ini.

“Yang saya baca di media sih, pihak kementerian akan mempelajari hal ini. Keputusannya baru kemarin. Beri kami waktu untuk melakukan koordinasi dan konsultasi karena tentunya kami menghormati kementerian perhubungan yang mengeluarkan aturan ini,” ungkapnya melanjutkan.

Terkait dampak dari dicabutnya aturan transportasi online, Grab mengaku sampai sekarang masih belum terlihat akibatnya. “Saya kira untuk saat ini belum ada ya, minggu depan mungkin kita bisa lihat hasil dari diskusinya,” ujar Ridzki.

Senada disampaikan VP Corporate Communications Go-Jek Michael Reza Say. Dia menegaskan, Go-Jek secara umum menghormati Putusan Peninjauan Kembali Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 atau Permenhub 108. “Cuma saat ini, kami masih menunggu salinan resmi Putusan MA tersebut untuk dapat mempelajari secara langsung. Termasuk akibat hukum dan dampaknya akibat hukum dan dampaknya terhadap terhadap para mitra dan pengguna jasa layanan Go-Car,” tutur Michael, Kamis (13/9).

Bisa Picu Konflik Horizontal

Menyikapi pencabutan aturan tentang angkutan sewa khusus (ASK) atau taksi online oleh MA, Sekretaris Komisi D DPRD Sumut Sutrisno Pangaribuan menilai, keputusan MA ini justru akan membangun kerumitan baru di masyarakat. Karena selama ini, pemberlakuan aturan di ASK merupakan upaya menyamakan dengan kendaraan umum plat kuning. Taksi online (daring) dianggap solusi mengingat aktivitasnya sudah mengarah kepada transportasi publik. Sehingga ini harus direspon oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

“Mungkin MA punya pertimbangan hukum yang harus dihormati. Hanya saja Kemenhub harus menyiapkan regulasinya. Terutama konsolidasi diantara kita yang sering tidak dilakukan. Sebab patokannya adalah hukum dan aturan. Padahal itu meskinya sebagai upaya terakhir menciptakan suasana kondusif untuk kehidupan berbangsa dan bernegara,”ujar Sutrisno, Kamis (13/9).

Artinya lanjut Sutrisno, Kemenhub harus mengantisipasi ini dengan menyiapkan regulasi sesuai petunjuk MA. Disamping itu, mereka juga harus membangun komunikasi dengan lembaga yudikatif tersebut, kemana arah keputusan itu. Sehingga ada penyesuaian dengan pertimbangan hukum untuk kemudian diterbitkan regulasi yang baru.

“Jadi memang tugas kita bersama juga di daerah untuk mempertemukan para pihak. Jadi konsolidasinya kan bisa secara bersamaan atau terpisah. Misalnya kendaraan plat kuning kemudian ada juga untuk taksi online, dikonsolidasikan dulu. Jangan dibangun kontradiksi di antara keduanya,” sebutnya.

Sutrisno juga melihat, pemerintah dearah bisa saja membuat aturan yang tidak bertentangan dengan aturan yang ada di pusat. Sehingga meskipun secara hukum, ketentuan mengenai kewajiban uji KIR atau berada di bawah perusahaan (badan hukum) bagi taksi daring tidak diharuskan, daerah tetap bisa mengatur ketentuan terkait dengan pertimbangan konflik sosial.

“Misalnya kita yang atur untuk mengantisipasi gesekan. Tinggal saja penyusunannya perlu komunikasi para pihak untuk membentuk aturan, pergub atau peraturan kepala daerah. Paling tidak, ada antisipasi terhadap kekosongan hukum. Kalaupun tidak bisa regulasi, kita harus siapkan kesepakatan bersama,” katanya.

Kajian Kemenhub Tak Matang

Pemerhati transportasi Sumatera Utara, Sukrinaldi menilai, pembatalan regulasi yang dibuat Kemenhub untuk kedua kalinya oleh Mahkamah Agung, diperkirakan akan menjadi bom waktu. “Jujur, secara pribadi saya terkejut mendengar kabar tersebut. Pertama saya katakan ini aneh. Kenapa aneh? Karena dari awal regulasi itu disusun dan dikaji tidak secara matang,” kata Sukrinaldi menjawab Sumut Pos, Kamis (13/9).

Menurutnya, MA merupakan lembaga tinggi negara untuk urusan produk hukum dan tak mungkin sembarangan mengeluarkan keputusan seperti itu. Justru, kata dia, kekonyolan ditunjukkan Kemenhub yang tidak belajar dari pengalaman sebelumnya. Di mana Permenhub No. 26/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, yang pernah ditolak MA.

“Sebenarnya saya bukan dalam konteks ingin menyalahkan siapapun. Cuma logika berpikir publik tentu ke arah itu. Kenapa bisa sampai gagal dua kali berarti kajian atas regulasi itu ada yang salah. Leading sector-nya kan Kemenhub, toh? Kan gak mungkin MA memutuskan sesuatu atas dasar like or dislike? Tentu sudah melalui klarifikasi yang cermat dan objektif,” kata Ketua Lembaga Studi dan Advokasi Transportasi Sumut ini.

Persoalan transportasi dalam jaringan (daring) diakuinya tidak akan ada habisnya selama pemerintah tidak tegas untuk membuat payung hukum yang ada. “ Masa sampai dua kali kalah terus. Berarti gak profesional dan apa yang dibuat tidak berdasarkan kebutuhan melainkan kepentingan,” ucap mantan pegawai negeri sipil di Departemen Perhubungan tersebut.

Sukri menambahkan, untuk saat ini pemerintah perlu memikirkan strategi dan mengambil langkah agar tidak terjadi lagi gesekan antara sopir angkutan online dan umum, paska pembatalan Permenhub 108 tersebut. “Ibarat bom waktu, ini sewaktu-waktu akan meledak.

Bisa saja persepsi sopir angkutan umum bahwa transportasi online itu ilegal. Beroperasi tanpa ada payung hukum seperti mereka. Tidak dibebankan pajak seperti speksi, uji Kir dan lainnya. Jadi ini rawan gesekan lagi dan pemerintah harus cepat mengantisipasinya,” pungkasnya seraya meminta secara kesatria agar Menhub Karya Budi Sumadi mundur dari jabatannya.

Meski belum mau merespon kabar penolakan Permenhub 108 ini, Dishub Sumut menyebutkan masih 39 perusahaan transportasi daring yang mendaftarkan diri ke pemerintah provinsi untuk beroperasi di wilayah ini. Jumlah tersebut belum ada pertambahan sedikit pun pada tahun ini.

“Masih segitu (sampai sekarang 39 perusahaan) angkutan online yang mendaftar ke kita. Bahkan sepanjang 2018 belum ada tambah sama sekali,” ungkap Kepala Bidang Angkutan Jalan Dishub Sumut, Iswar, kemarin.

Pihaknya selalu intens mengimbau kepada pelaku angkutan online untuk mendaftarkan diri secara legal ke pemerintah sebelum beroperasional di Sumut. Hal ini bertujuan agar di dalam implementasinya nanti dapat berjalan harmoni dengan angkutan konvensional yang sekarang. “Kita memang selalu mengajak, menyosialisasikan hal ini kepada mereka (pelaku angkutan online) untuk taat akan aturan pemerintah. Ketentuan yang sudah dibuat mari sama-sama dipatuhi, agar tidak terjadi gesekan di lapangan dengan angkutan konvensional,” katanya.

Apalagi, sambung dia, meskipun regulasi yang ada saat ini belum menunjukkan titik terang bagi pelaku usaha angkutan online, namun ada ketentuan yang wajib diikuti sebagaimana yang lebih dulu diterapkan untuk pelaku angkutan konvensional. “Salah satunya kan tentu wajib berplat kuning, memakai stiker, uji Kir dan sebagainya.

Serta juga harus berbadan usaha dan bergabung di dalam sebuah perusahaan (PT),” katanya yang menyebut ke-39 perusahaan itu umumnya mengangkut orang di wilayah Kota Medan dan sekitarnya.

Grab Berhentikan Puluhan Ribu Mitra

Grab Indonesia telah memutus hubungan kerja dengan puluhan ribu mitra pengemudinya karena terbukti curang selama menjadi mitra pengemudi Grab. Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyatakan, kecurangan yang dilakukan mitra pengemudi bervariasi, mulai dari menggunakan fake GPS hingga aplikasi “tuyul”.

“Puluhan ribu akun fiktif telah kita matikan. Setelah kita matikan itu, kita tidak memberikan ruang bagi pelaku kecurangan ini untuk masuk lagi ke sistem kita,” kata Ridzki dalam jumpa pers di Kantor Grab, Pademangan, Kamis (13/8/2018). Ridzki menuturkan, akun-akun yang hendak dihapus itu diperingatkan sebelumnya. Bahkan, para mitra pun telah diberikan waktu untuk memperbaiki pekerjaannya.

“Masing-masing mitra itu ada statusnya sebelum kita putus. Statusnya mereka tingkat pelanggarannya bagaimana, apakah sudah parah, bahkan ada kesempatan untuk mereka memperbaiki diri,” kata Ridzki. Namun, Ridzki menyebut tidak semua mitea memanfaatkan waktu amnesti itu. Beberapa mitra pun langsung diputus karena kecurangannya dinilai terlalu berat.

Adapun para mitra yang terbukti melakukan kecurangan berat tersebut juga dilaporkan ke pihak kepolisian supaya diproses secara hukum dan mendapat efek jera.

“Kita sudah menyerahkan beberapa data ini kepada kepolisian. Tetapi kita juga lakulan pembagian kategori dari yang paling berat, yang sedang, dan lain-lain,” katanya. (bal/prn/bal/adz)

Exit mobile version