Site icon SumutPos

Poldasu Ogah Libatkan Mabes

FOTO: AMINOER RASYID/SUMUT POS Gedung Centre Poin di Jalan Jawa mengalami permasalahan yang belum juga selesai, karena berada di lahan PTKAI.
FOTO: AMINOER RASYID/SUMUT POS
Gedung Centre Poin di Jalan Jawa mengalami permasalahan yang belum juga selesai, karena berada di lahan PTKAI.

SUMUTPOS.CO – Sikap itu disampaikan Kepala Bidang Humas Poldasu, AKBP Helfi Assegaf, saat dikonfirmasi Sumut Pos terkait permohonan Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan, Dwi Purnam SH MKn, untuk dilakukannya gelar perkara atas laporan laporan nomor SPK/1883/VII/2014/SPKT I, tertanggal 22 Juli 2014 di Mabes Polri.

“Memangnya kita nggak mampu? Kita masih mampu juga kok. Yang menangani Polda, kenapa harus ke Mabes. Urusan Polda ya, Polda!” ungkap Helfi dengan nada terdengar kesal, Minggu (12/10) siang.

Begitu juga ketika ditanya bila gelar perkara tersebut diminta langsung oleh Mabes Polri, Helfi menyatakan keputusan itu ada di tangan Kapoldasu Irjen Eko Hadi Sutedjo. Namun, kembali Helfi menyebut kalau permasalahan tersebut berada di Sumatera Utara yang tidak seharusnya sampai ke Jakarta. S
Sementara saat ditanya terkait permintaan gelar perkara ke Mabes Polri itu karena adanya indikasi pesanan dari pihak Center Point, Helfi tidak bersedia menjawabnya.

Saat disampaikan pandangan kasus itu sudah seperti perang lembaga, Helfi juga menanggapi dingin. Namun, Helfi mengaku kalau pihaknya siap untuk hal itu. Disebutnya, sekalipun kasus itu dianggap sebagai Perang Badar, pihaknya akan tetap memproses kasus itu sesuai prosedur yang berlaku. Disebut Helfi, pihaknya mempersilahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau induk dari Kantor Pertanahan Medan berpendapat terkait kasus itu.

“Mereka sudah tersangka. Jadi ikuti saja proses. Mereka bukan pimpinan kita. Untuk apa kita ikuti mereka, ” sambung Helfi.

Di sisi lain, hingga akhir pekan lalu Kantor BPN belum menyusun berkas yang akan disampaikan ke pihak kepolisian, sebagai upaya advokasi kepada Kakan Pertanahan Medan Dwi Purnama dan Kepala seksi Pemberian Hak-hak BPN Medan, Hafizunsyah, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Poldasu.

Kepala Pusat Hukum (Kapuskum) BPN, Kurnia Toha, menjelaskan, pihaknya harus cermat sebelum mengambil langkah hukum. “Kami masih tahapan kajian, kami pelajari dulu kasusnya,” ujar Kurnia Toha.

Apakah ini kasus pertama yang dialami pegawai BPN, di mana dijadikan tersangka gara-gara tidak menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan yang masih disengketakan? Kurnia Toha membenarkan hal itu. “Ya, setahu saya memang ini kasus pertama. Karena sudah prinsip, pemberian (HGB) harus tunggu sengketa selesai,” ujar dia.

Kurnia memberi sinyal, BPN akan mengedepankan upaya dialog terlebih dahulu. Dia menduga ada perbedaan persepsi antara pihak Poldasu dengan BPN. “Ini kan sesama instansi pemerintah. Polisi punya alasan sendiri, kita punya argumen juga. Ini yang perlu didiskusikan,” ujar birokrat bergelar doktor yang namanya masuk kandidat calon kepala BPN itu.

Sebelumnya, Kurnia menjelaskan, jika sebuah instansi pemerintah dianggap tidak menjalankan tugasnya dengan baik, dalam hal ini dianggap tidak mau mengeluarkan HGB, maka itu merupakan ranah administrasi negara. “Jadi, obyeknya itu menjadi ranah Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan ditangani kepolisian,” terangnya.

Diberitakan, langkah Poldasu menetapkan kedua pejabat Kantor BPN Kota Medan sebagai tersangka, menuai kecaman. Pasalnya, penetapan tersangka karena keduanya tak mau menerbitkan Hak Guna Bangunan untuk PT Agra Citra Karisma (ACK) dalam urusan proyek Medan Center Point.

Seperti diketahui, proses penyidikan kasus sengketa lahan ini masih terus berjalan di Kejaksaan Agung. Proses hukum di Kejagung itu merupakan bagian dari upaya PT KAI mempertahankan aset tanah seluas 7,2 hektare di Kelurahan Gang Buntu, Medan itu. Rencananya, tanah itu akan dipergunakan untuk perluasan Stasiun di Medan.

Direktur Utama PT KAI Ignasius Jonan tetap berkeyakinan aset itu akan mampu direbut kembali. Dia memandang, ditetapkannya bos PT ACK dan dua mantan wali kota Medan, yakni Abdillah dan Rahudman Harahap, sebagai tersangka, sebagai indikasi kemenangan PT KAI dalam kasus ini.

“Keberhasilan upaya hukum terhadap aset PT KAI di Medan tentunya akan menjadi hal yang positif bagi penertiban aset KAI lainnya,” ungkap Jonan, beberapa waktu lalu.

Dia menyebut, PT KAI sudah mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk penyelamatan sejumlah asetnya, termasuk yang di Medan itu.

Keyakinan juga disampaikan kuasa hukum PT KAI Radjiman Bilitea & Partner, Savitri Kusumawardhani. Dikatakan, dengan telah ditetapkannya tiga tersangka oleh kejagung, maka upaya pengajukan PK optimistis menang.

“Dengan ditetapkannya tersangka dalam kasus ini, membuat kami optimis dalam pemeriksaan peninjauan kembali yang saat ini sedang diperiksa di Mahkamah Agung. Karena hal ini semakin memperkuat posisi hukum PT KAI bahwa tanah yang saat ini sudah dibangun oleh PT ACK menjadi Medan Center Point adalah tanah milik PT KAI,” paparnya.

Sebelumnya, Tim hukum dari BPN Pusat akan segera memberikan penjelasan kepada penyidik Poldasu. Bahkan, jika dianggap perlu, tim hukum dari BPN langsung menyampaikan penjelasannya ke Mabes Polri.

“Kami akan menjelaskan duduk persoalannya. Ini kan dijadikan tersangka karena tidak menerbitkan HGB karena lahan masih bersengketa. Nanti kami akan sampaikan, kalau memang perlu ya menghubungi Mabes Polri,” ujar Kurnia Toha.

Jangan Jadi Alat
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), melihat indikasi sejumlah kejanggalan. Salah satu kejanggalan itu, menurut Komisioner Kompolnas Edi Saputra Hasibuan, dirasakan karena lahan itu masih tercatat lahan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Selain itu atas pengelolaannya juga saat ini masih berperkara di Kejaksaan Agung.

“Kasus ini saya kira perlu mendapat perhatian serius dari Poldasu agar tidak menjadi preseden buruk. Jangan sampai polisi dijadikan alat oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan sesaat. Apalagi itu kan tanah negara,” katanya di Jakarta, Senin (13/10).

Kendati begitu, kata Edi, pihaknya perlu mengetahui terlebih dulu duduk persoalan sebenarnya terkait permasalahan dimaksud. Sehingga tidak salah dalam memberi tanggapan. Apalagi kasusnya disebut-sebut telah berlangsung sedemikian lama.

“Sepanjang polisi melakukan langkah profesional dalam menangani sebuah perkara, kita tentu mendukung. Namun jika tidak, maka terhadap oknum terkait perlu diambil tindakan sebagaimana yang berlaku. Karena itu kita harus klarifikasi terlebih dahulu, apakah dalam menetapkan Kepala Kantor Pertanahan Medan sebagai tersangka telah dilakukan sesuai prosedur yang benar,” katanya.

Agar tak terjadi permasalahan yang tak diinginkan, Edi menyarankan Poldasu berkoordinasi Kejaksaan Agung sehingga seluruh masalah bisa terang-benderang.

“Kami minta Poldasu koordinasi dengan Mabes Polri. (Baru) koordinasi dengan Kejagung. Saya kira langkah ini lebih baik agar persoalannya bisa clear,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, Januari lalu penyidik Kejagung telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus pengalihan lahan PT KAI. menjadi Hak Pengelolaan Tanah oleh Pemda Tingkat II Medan Tahun 1982, Penerbitan Hak Guna Bangunan Tahun 1994, Pengalihan Hak Guna Bangunan Tahun 2004 serta perpanjangan Hak Guna Bangunan Tahun 2011.

Masing-masing mantan Wali Kota Medan, Abdillah dan Rahudman Harahap, serta seorang tersangka lainnya dari pihak swasta, Handoko Lie yang juga bos PT ACK.

Bos PT ACK ikut ditetapkan sebagai tersangka karena diduga ikut bertangungjawab sehingga di atas lahan PT KAI yang terletak di Stasiun Kereta Api Kota Medan, berdiri sejumlah bangunan perkantoran milik PT ACK. (ain/sam/gir/rbb)

Exit mobile version