Site icon SumutPos

Pasien Rawan jadi Kelinci Percobaan

Rencana Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan

Medan-Keberadaan rumah sakit pendidikan yang akan segera dibangun dan beroperasi di Medan mendapat tanggapan beragam. Satu di antaranya adalah soal kenyamanan pasien umum. Ada semacam kekhawatiran kalau pasien akan dijadikan kelinci percobaan bagi rumah sakit yang diusahi fakultas kedokteran tersebut.

Setidaknya hal ini diungkapkan oleh Roder Nababan dari LBH Kesehatan Alwalindo menilai, memang selama ini pasien di Rumah sakit pendidikan dijadikan semacam kelinci percobaan. “Tanpa pasien diberitahu untuk apa, diambil sampel darahnya bisa tiga kali sehari. Terutama jika pasiennya miskin, betul-betul dijadikan kelincin

percobaan,” ujar Roder, yang juga seorang pengacara asal Tapanuli Utara itu, kepada Sumut Pos di Jakarta.
Sesuai ketentuan, rumah sakit pendidikan juga melayani program-program pelayanan kesehatan warga miskin, seperti Jampersal dan Jamkesmas. Tapi, lanjutnya, faktanya warga miskin tetap dipersulit.

Namun, Roder tidak sepenuhnya menyalahkan petugas rumah sakit. Menurutnya, banyak petugas yang memang belum tahu program seperti Jampersal. “Saya menilai sosialisasinya kurang. Padahal, ada dana untuk sosialisasi. Ada yang mengambil keuntungan pribadi dari program-program semacam itu,” ujarnya tanpa menyebut siapa mereka itu.

Terkait hal itu, Rektor Universitas Sumatera Utara Prof Dr Syahril Pasaribu yang dikonfirmasi Sumut Pos langsung membantah soal kelinci percobaan yang dimaksud tadi. “Tidak,” jawabnya singkat.

Untuk informasi, Rumah Sakit Pendidikan USU akan beroperasi paling cepat empat bulan lagi. Pasalnya, penunjang pelaksanaan medis yang diprediksi sebagai rumah sakit terlengkap di Sumatera Utara tersebut rencananya akan tersedia pada Juni 2012 mendatang atau terhitung empat bulan lagi sejak saat ini.  “Saya harapkan dengan masuknya alat-alat kesehatan nantinya, rumah sakit USU ini bisa beroperasi. Selain itu kita juga masih dalam proses jaminan perawatan gedung selama enam bulan sesuai kontrak kerja pemborong dan rumah sakit,” ungkap Syahril.

“Nanti Rumah Sakit Pendidikan USU itu harus juga menemukan IPTEK baru. Itulah makna RS Pendidikan,” timpal Dekan Fakultas Ekonomi USU, John Tafbu Ritonga.

Soal pelayanan, ada ketakutan kalau rumah sakit ini hanya akan menggunakan tenaga koas. Anggota Komisi E DPRD Sumut, Ahmad Hosen Hutagalung terang-terangan menyatakan, sangat menyesalkan bila nantinya tenaga medis di RS USU hanya sebatas koas. Kemudian, juga sangat disayangkan bila nantinya, RS USU hanya menjadi kelinci percobaan. “Harusnya RS itu diisi tenaga-tenaga medis yang profesional. Jangan hanya koas,” tegasnya.

Lebih lanjut, politisi asal Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Sumut ini menyatakan, harusnya RS USU diawasi oleh semua pihak, baik masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta legislatif. “Kita minta agar diawasi maksimal oleh media, LSM dan legislatif serta masyarakat. Cukup prihatin, bila nantinya RS USU yang semegah itu tidak ditangani tenaga dokter yang profesional. Kita harus maksimal dalam meningkatkan kesehatan dengan RS yang megah dan peralatan canggih,” terangnya.

Maka dari itu, sambungnya, jangan sampai RS USU membuat masyarakat Sumut kecewa, layaknya kekecewaan terhadap RS lainnya di Medan.”RS USU inilah menjadi jembatan tingkat kesehatan masyarakat Sumut. Kita sudah kecewa dengan RS Adam Malik, RS Pirngadi Medan dan lain-lain,” tegasnya.
Soal pelayanan di rumah sakit pendidikan juga sempat ditegaskan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemdikbud) Djoko Santoso. Dia memperingatkan para mahasiswa kedokteran tidak seenaknya memperlakukan pasien yang berobat di rumah sakit pendidikan.

Meski Djoko menegaskan bahwa sesuai UU, RS Pendidikan memang menjadi semacam labolatoriumnya para mahasiswa kedokteran, tapi visi RS sebagai pelayan masyarakat tetap harus dipegang teguh.

“Meskipun itu laboratorium para mahasiswa fakultas kedokteran tapi bagaimana pun, rumah sakit pendidikan itu tetap harus bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik,” ujar Djoko Santoso di Jakarta.

Tapi ada keluhan masyarakat, pasien di rumah sakit pendidikan sering diambil sampel darahnya hingga berulang kali oleh mahasiswa kedokteran, seolah pasien jadi kelinci percobaan?

“Itu kan hanya menyangkut tata cara proses pembelajaran dan bagaimana pengelolaan pasien. Itu kan bisa diatur dalam pengelolaan teknis. Tapi kalau itu memang terjadi, ya harus dibenahi. Jangan sampai begitu,” jawab Djoko.

Dikatakan, kalau memang keberadaan dan tindakan dari dokter koas itu dinilai merugikan para pasien, yang harus bertanggung jawab adalah para dokter atau dosen Fakultas Kedokteran yang juga praktik di rumah sakit tersebut.

Disebutkan,  saat ini, tidak semua Fakultas Kedokteran memiliki RS Pendidikan sendiri.  Sebagian ada yang menggunakan rumah sakit-rumah sakit yang dikelola oleh kementerian kesehatan. “Ke depan, memang beberapa universitas akan dibangunkan rumah sakit pendidikan itu,” ujarnya.
Nantinya, RS Pendidikan tak hanya untuk praktik mahasiswa kedokteran, tapi juga mahasiswa jurusan manajemen rumah sakit, keperawatan, kebidanan, tata kelola keuangan rumah sakit, dan lain sebagainya. “Jadi memang diupayakan bahwa rumah sakit pendidikan itu dijadikan tempat pendidikan yang komprehensif,” pungkasnya. (ari/uma/sam)

Exit mobile version