Site icon SumutPos

Medan Darurat Kejahatan Seksual Terhadap Anak

Kejahatan seksual pada anak.
Kejahatan seksual pada anak.

 

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sumatera Utara, khususnya Medan masuk dalam kondisi darurat kejahatan seksual terhadap anak. Buktinya, sepanjang tahun 2013 saja, Kelompok Kerja (Pokja) Perlindungan Anak Sumut dan Kota Medan mencatat terdapat 12.679 kasus pelanggaran hak anak yang tersebar di 23 kabupaten/kota.

Hal itu diungkap Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait, Kamis (15/5) siang di kantor Komnas Perlindungan Anak Pokja Sumatera Utara yang berada di Jl. Pelajar Medan. Dikatakannya, sebanyak 52 persen atau setara 7.335 kasus dari pelanggaran tersebut adalah kejahatan seksual terhadap anak.

Sedangkan sisanya merupakan kasus kekerasan fisik, penelantaran dan eksploitasi ekonomi, perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial serta kasus-kasus perebutan anak.

“Bentuk kekerasan yang dialami anak-anak di Sumut beragam dan menakutkan. Contoh kasus, seperti oral seks, sodomi, fedofilian, perkosaan dan perbuatan cabul umumnya. Namun, justru yang mengejutkan 10 dari kejahatan seksual tersebut dilakukan dalam bentuk incest (lingkungan keluarga) serta cabul dan kekerasan seksual dalam bentuk lain,” ungkap. Lebih lanjut, beber Arist, kejahatan tersebut terjadi secara merata di hampir setiap kabupaten/kota yang ada di Sumut.

“Dari data yang sudah dikumpulkan, Kota Medan menjadi yang terbesar dengan jumlah 276 kasus. Kemudian Kabupaten Labuhan Batu 28 kasus, Batubara 42 kasus, Labuhan Batu Utara 31 kasus, Siantar 52 kasus, Simalungun 71 kasus, Tebing Tinggi 12 kasus, Tapanuli Utara 67 kasus, Toba Samosir 58 kasus, Padang Sidempuan 83 kasus, Mandailing Natal 82 kasus, Nias Selatan 176 kasus, Sibolga 42 kasus, Tapanuli Tengah 69 kasus dan Padang Lawas Utara 61 kasus. Sementara jumlah pelanggaran di Kota Tanjung Balai, Binjai, Deli Serdang dan Sergai masih dalam proses pendataan,” ungkapnya.

Kemudian, Arist mengatakan, saat ini rumah, lingkungan sosial anak dan sekolah sudah tidak menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak. Pasalnya, saat ini banyak predator kejahatan terhadap anak banyak berada di lingkungan sekolah dan lingkungan rumah.

“Padahal, rumah dan lingkungan sekolah sebagai garda terdepan untuk memberikan pengayoman bagi anak, tetapi ini tidak lagi berfungsi sebagai tempat yang ramah bagi anak namun menjadi tempat bagi para monster yang siap menerkam hak-hak anak. Misalnya, orangtua kandung atau tiri, abang, paman dan kerabat terdekat keluarga. Kemudian, guru, penjaga sekolah atau petugas keamanan, pedagang, bahkan oknum penegak hukum,” ungkapnya.

Selanjutnya, dia menilai, penegak hukum yang ada di Sumut yang menangani perkara kejahatan seksual terhadap anak belum menunjukkan keberpihakan korban. Apalagi para penegak hukum itu masih menggunakan kacamata kuda dalam menangani perkara tersebut. Begitu juga dengan putusan hakim yang masih belum mencerminkan rasa keadilan bagi korban.

“Sebab, banyak hakim yang memvonis bebas para pelaku kejahatan seksual terhadap yang dilakukan orang dewasa. Seperti halnya, yang terjadi di Pengadilan Labuhan Batu, PN Medan, PN Tapanuli Utara. Dalam pengadilan itu mereka beralasan karena tidak cukup bukti.

Padahal, UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menetapkan hukuman bagi pelaku kejahatan tersebut minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun kurungan penjara. Namun, justru masih banyak hakim yang memutuskan perkara tidak maksimal dan tidak berkeadilan bagi korban,” ucapnya.

Untuk menyikapi Instruksi Presiden tentang pencanangan Gerakan Nasional Menentang Kejahatan Seksual terhadap anak yang ditetapkan dalam Sidang Kabinet Indonesia Bersatu pada 8 Mei 2014 lalu dan untuk merespon situasional Sumut Darurat Anak Komnas Perlindungan Anak meminta kepada pemerintah untuk merevisi Pasal 81 dan 82 UU RI Nomor 23 Tahun 2002, dirinya meminta supaya mengubah hukuman minimal 3 tahun menjadi 20 tahun penjara.

“Sedangkan hukuman maksimal 15 tahun penjara menjadi hukuman seumur hidup. Selain itu, ditambah juga dengan pemberatan hukum kebiri melalui suntik kimia di alat kelamin para pelaku kehajatan seksual terhadap anak. Ini dilakukan untuk menurunkan jumlah kejahatan seksual terhadap anak dan juga menimbulkan efek jera bagi pelaku. Dengan demikian, tingkat kejahatan seksual terhadap anak cenderung nantinya akan menurun bila pemerintah merevisi UU yang dimaksud,” pungkasnya. (ind/deo)

Exit mobile version