Site icon SumutPos

Masuk dan Dwelling Time Pelabuhan Belawan ‘Wajib Bayar’

Foto: Triadi Wibowo/Sumut Pos Aktifitas pekerja pelabuhan di BICT Belawan, Minggu (21/8) lalu. Dwelling time di Pelabuhan Belawan masih 7-8 hari, dibarengi pungli. Untuk menyelidikinya, Poldasu membentuk timsus.
Foto: Triadi Wibowo/Sumut Pos
Aktifitas pekerja pelabuhan di BICT Belawan, Minggu (21/8) lalu. Dwelling time di Pelabuhan Belawan masih 7-8 hari, dibarengi pungli. Untuk menyelidikinya, Poldasu membentuk timsus.

BELAWAN, SUMUTPOS.CO – Pungutan liar (pungli) diduga pemicu tingginya tarif Dwelling Time di Pelabuhan Belawan berjalan terstruktur. Bahkan, praktik kutipan yang diistilahkan ‘biar lancar’ wajib membayar. Prilaku pungli itu dimulai biaya masuk pelabuhan hingga pengurusan dokumen kapal..

Praktik dugaan pungli baik yang kecil-kecilan maupun kelas elit, sepertinya telah menjadi suatu hal yang lazim. Pelaku pungli dimulai dari oknum petugas keamanan, pengurusan dokumen harus memakai biaya ‘pelicin’ dan biaya jaga pintu.

“Ini adalah pelabuhan. Segala urusan bisa jadi uang. Baik di Belawan maupun di pelabuhan lain, sama saja,” kata seorang petugas di Pelabuhan Belawan yang tidak mau ditulis namanya, Kamis (15/9).

Dia menyebutkan, untuk pungli kecil-kecilan adalah terhadap truk pengangkut barang, yang melangsir atau hilir mudik. “Kalau tidak percaya, kunjungi semua pos di pelabuhan… semuanya sama. Tapi untuk saat ini mungkin sulit terpantau, karena sudah banyak petugas intel,” ujarnya.

ria berbaju dinas lengkap itu pengaman di pelabuhan itu menyebutkan, untuk setiap truk, dikutip Rp2.000 kepada sopirnya. Pungutan tersebut terjadi di Jalan Pelabuhan Raya Gabion, Belawan atau sekitar satu kilometer di luar dari pintu masuk pelabuhan Belawan International Container Terminal (BICT). “Tidak cuma di BICT, di pintu masuk menuju Pelabuhan Ujung Baru Belawan juga ada,” ujarnya.

Setelah urusan truk, maka urusan kapal sandar atau hendak berangkat meninggalkan dermaga pelabuhan diwajibkan melaporkan dokumen kapal, untuk setiap pengurusan maka dikenakan biaya Rp25 ribu sebagai biaya administrasi. “Memang petugas di setiap pos tidak minta. Cuma tetap saja harus diberi pelicin, supaya urusannya cepat,” ungkap pria paruh baya tersebut.

Untuk pendapatan, petugas ini tidak mau membeberkan. Cuma lagi, diakuinya bahwa dugaan praktik pungli yang terjadi di pelabuhan Belawan sudah berlangsung sejak lama. “Soal pendapatan tak akan saya sebutkan, dapat berapa uang dari sopir truk. Karena ini cuma kecil-kecilan,” sebutnya.

Pungli terjadi di pelabuhan menurutnya, bukan hanya dilakukan oknum tertentu di institusi pengelola jasa kepelabuhanan. Namun, aparatur di lingkungan pelabuhan disinyalir banyak terlibat. “Ini berjalan terstruktur. Banyak pihak terlibat disini. Kabarnya juga ada setoran untuk kelas elit,” timpalnya.

Senada dengan penuturan petugas ini, pelaku jasa di Pelabuhan Belawan berinisial, DP turut berujar, terkadang pengusaha juga bermasalah di dalam mekanisme proses masuk dan keluarnya barang dari serta menuju ke pelabuhan. Misalkan saja lanjut dia, soal masuknya ratusan mobil baru (tambang) di pelabuhan Belawan. Sesuai aturannya, kenderaan baru produksi pabrik tanpa nomor plat polisi, tidak boleh langsung melintas di jalan raya untuk menuju ke tempat penumpukan.

“Seharusnya, mobil baru yang dibongkar dari kapal diangkut pakai truk. Tapi, kenyataannya kenapa bisa. Berartikan ada kesalahan pengusaha, lalu jadi ajang bagi oknum petugas,” kata, DP.

Permasalahan pungli menurutnya, jika mau ditelusuri memang benar terjadi. Tinggal lagi, persoalannya ada atau tidak keseriusan dari aparat penegak hukum untuk mengungkapnya.

“Saya rasa berat terungkap, karena banyak keterlibatan. Dan bukan cuma di terminal internasional saja, tapi di antar pulau juga sama,” ucapnya.

Menurut dia, jika pemerintah berniat ingin membersihkan pungli dan meminimalisir terjadi dwelling time, harusnya pengawasan tidak hanya ditujukan pada PT Pelindo I, tapi instansi lain seperti Bea Cukai, Karantina, Otoritas Pelabuhan (OP) dan lainnya juga mesti diawasi.

“Di pelabuhan bukan cuma Pelindo, tapi banyak instansi lain. Dan, proses kapal berlabuh jangkar di tengah laut sebelum sandar di dermaga, juga mesti diawasi,” kata DP.

Amatan Sumut Pos, petugas intel kepolisian tampak masih disebar. Mereka ada yang membaur dengan buruh bongkar muat, maupun melakukan pemantauan terhadap aktivitas di pelabuhan Belawan.

Kapolres Pelabuhan Belawan, AKBP Tri Setyadi Arnoto mengatakan, pihaknya bersama Poldasu masih melakukan penyelidikan untuk mengungkap pungli di Pelabuhan Belawan. “Kita masih selidiki, butuh waktu untuk mengungkapnya,” ujar, Tri Setyadi.

Kepala Bidang Humas Polda Sumut, Kombes Pol Rina Sari Ginting, Timsus yang sudah dibentuk hanya terdiri dari anggota Korps Bhayangkara. “Timsus sudah dibentuk gabungan Polda Sumut dengan Polres Belawan,” tulis Rina via WhatsApp.

Dia menyebutkan, keanggotan Timsus melibatkan dari lintas direktorat yang ada di Polda Sumut. Seperti, Direktorat Reserse Kriminal Khusus dan Direktorat Intelkam. Begitupun, menurut Rina, kegiatan yang dilakukan adalah kordinasi dengan para stakeholder yang ada di Pelabuhan Belawan guna mengusut adanya dugaan pungli tersebut. “Pemetaan dan lidik permasalahan yang ada di Belawan dan melakukan penegakan hukum,” sebutnya.

Disinggung apakah Polda Sumut sudah mengantongi kelompok yang dicurigai sebagai terduga pelaku pungli, Rina enggan menanggapinya. “Baru itu yang bisa saya jelaskan. Biar mereka bekerja dulu. Sabar ya. Tim sedang bekerja,” tandasnya.

TAK ADA ECHO XRAY
Minimnya infrastruktur bongkar muat peti kemas menjadi peluang pungutan liar (pungli) oknum-oknum berwenang di Pelabuhan Belawan, Medan. Ketiadaan infrastruktur ini terkesan dikondisikan, sehingga praktik ‘uang pelicin’ tetap ada selama pelabuhan beroperasi.

“Kalau menurut saya infrastrukturnya yang tak cukup menjadi biang kerok. Seperti ketiadaan Echo Xray di Belawan,” kata anggota DPRD Medan Hendrik Halomoan Sitompul kepada wartawan, Kamis (15/9).

Menurutnya, jika pemerintah ingin investigasi pungutan liar di Belawan, harus menelusuri persoalan dari hulu hingga hilir. Tidak berfungsinya crane hanya bagian kecil yang mengakibatkan dwell time mencapai 8 hari.

Ketua Dewan Pemakai Jasa Angkutan Indonesia (Depalindo) Sumatera Utara ini juga menuturkan, persoalan besar yang ada di Belawan. Dimulai dari proses angkut kontainer dari kapal ke darat menggunakan crane. Jika crane tidak berfungsi maka terhambat semua proses selanjutnya.

Masih Hendrik, PT Pelabunan Indonesia I harusnya menyiapkan infrastruktur berupa crane dan lokasi yang mencukupi, berdasarkan taksasi kebutuhan. Dia contohkan Pelindo butuh 8 crane jika setiap hari butuh 6 unit crane yang beroperasi. Kontainer yang diangkut dari kapal butuh tempat. Sedangkan saat ini, banyak lokasi di belawan yang tidak dimanfaatkan oleh Pelindo
“Saya sarankan crane yang lama diganti dan tetap ada cadangan. Lokasi tempat sementara juga harus diperluas. Masih luas lokasi yang tidak dimanfaatkan,” katanya.

Setelah kontainer turun, dilakukan pemeriksaan isi oleh pihak Karantina. Kejadian di Belawan, kerap pemeriksaan di Karantina lama dengan alasan alat atau laboratorium pemeriksa tak tersedia. Pihak Karantina beralasan membawa materi ke daerah lain Surabaya dan Pelabuhan Tanjungperiok, Jakarta.

“Kalau mau cepat, siapkan lab (laboratuorium) yang memadai. Jadi tak ada alasan lama karena harus diperiksa ke daerah lain,” katanya.

Setelah pemeriksaan oleh Karantina, berlanjut pemeriksaan isi oleh Bea dan Cukai (BC). Dalam tahap ini juga kerap pihak BC menunggu konfirmasi, apakah barang yang dikirim mendapat izin perdagangan atau tidak. “Kalau belum ada izin perdaganganya, Bea Cukai tak akan berani melepas. Jadi sebaiknya ada petugas berwenang dari perdagangan,” katanya.

Pemeriksaan yang dilakukan Bea Cukai dilakukan dengan cara membuka satu per satu peti kemas. Dengan sistem ini, membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut Hendrik, pemeriksaan bisa dilakukan menggunakan Echo Xray, yaitu alat scanning isi peti kemas.

Dengan alat itu, sambung politisi Demokrat ini, Bea Cukai bisa menyeleksi mana yang harus dibongkar secara teliti dan mana yang bisa diloloskan. Sebab, barang yang masuk, baik impor maupun domestik ada juga yang jenisnya berulang-ulang dan ada juga yang merupakan barang baru.

Menurutnya, pengadaan Echo Xray bukanlah hal yang sulit Bea dan Cukai. Sebab dilihat dari kontribusi Pelabuhan Belawan kepada negara sampai hari ini, nilainya sudah mencapai triliunan rupiah. “Harganya memang mahal, miliaran. Tapi, berapalah itu jika dibandingkan dengan triliunan yang sudah diterima negara dari situ,” katanya.

Dia mensinyalir ketiadaan infrastruktur ini disengaja sehingga terjadi permainan antara oknum pejabat berwenang di lapangan dengan pengusaha. “Pengusaha itu maunya cepat. Apalagi hanya mereka (pihak Pelindo, kaantina dan BC) yang tau urutan bongkar muat, di sinilah mainnya,” katanya seraya apresiasi atas perhatian Presiden Joko Widodo dan reaksi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Luhut B Panjaitan yang ingin menertibkan Pelabuhan Belawan
Tapi, menurutnya, pemerintah harus melihat persoalan lebih komprehensif, sehingga pungli tidak terjadi. “Pungli tidak akan bisa diungkap, kalau infrastruktur ini belum ditata. Kenapa? Pengusaha pun mau kok, supaya barangnya cepat keluar. Dan mereka tidak akan mau menyebut memberi pungli,” pungkasnya. (rul/ted/prn/ril)

Exit mobile version