Site icon SumutPos

Buang Panik demi Momen dan Nyawa

FOTO: AMINOER RASYID/SUMUT POS Pewarta Foto mendokumentasikan diri bersama cameranya yang penuh lumpur saat terjadinya hujan lumpur di Desa Guruh Kinayan, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, Rabu (15/10/2014.  Para juru foto jurnalis selalu siaga mengabadikan moment meskipun harus merelakan cameranya terkena hujan lumpur.
FOTO: AMINOER RASYID/SUMUT POS
Pewarta Foto mendokumentasikan diri bersama cameranya yang penuh lumpur saat terjadinya hujan lumpur di Desa Guruh Kinayan, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, Rabu (15/10/2014. Para juru foto jurnalis selalu siaga mengabadikan moment meskipun harus merelakan cameranya terkena hujan lumpur.

Mereka tampak berbeda. Baju mereka beda. Peralatan yang mereka pegang dan yang berada dalam tas ransel mereka juga beda. Tapi, ketika Gunung Sinabung mengamuk, mereka menjadi sama dengan warga di kaki Gunung Sinabung kebanyakan. Berdebu vulkanik, berlumpur, dan menderita.

 

Aminoer Rasyid, Karo

 

Ya, mereka adalah para pemburu gambar di gunung yang sedang aktif itu. Cukup jelas ciri mereka, selain peralatan dan gaya yang khas, jaket merah atau hitam yang mereka kenakan sudah menunjukkan profesi mereka. Di jaket yang sering tak jelas warnanya karena ditutupi debu vulkanik dan lumpur itu memang tertulis: Pewarta Foto.

Sebagai ujung tombak, kerja mereka di daerah bencana tentu bukan pekerjaan gampang. Keluarga pun harus rela ditinggal untuk sekian lama. Ya, mengabarkan kondisi terkini dari berbagai aspek lokasi bencana melalui gambar atau visual bukan hal yang mudah layaknya liputan dalam kegiatan sehari-hari di Kota Medan. Mengasah inspirasi, kepekaan terhadap lingkungan dan kemanusiaan, serta tuntutan deadline seakan memaksa pewarta foto harus bekerja melebihi kecepatan komputer berteknologi tinggi. Hal ini yang menjadi salah satu nilai plus bagi pewarta foto yang secara terus menerus ‘melek’ tanpa melewatkan momen.

Hermansyah, salah satu pewarta foto harian lokal di Sumatera Utara, merasakan itu. Sepekan berada di Kaki Gunung Sinabung tak membuat sosok fotografer ini mengeluh meskipun jarang mendapatkan momen yang baik. “Saya sudah sepekan di Kabupaten Karo, ada sekitar 5 desa setiap harinya saya lalui untuk melihat kondisi terkini di desa tersebut,” katanya.

Dia pun mulai merinci desa-desa yang diakunjungi itu. Mulai dari Desa Gurukinayan, Payung, Mardingding, Tigapancur, Jeraya, Tigaserangkai, dan Sigarang-garang. “Jarak antardesa tidak dekat, sehingga sering menghabiskan waktu di perjalanan. Apalagi saat hujan lumpur, kondisi di lokasi memaksa kita harus ekstra hati-hati,” ungkap lelaki yang kerap disapa Awot di kalangan pewarta foto Medan tersebut.

Tidak hanya pewarta foto asal Medan, pewarta foto yang bekerja di kantor berita asing juga turut mengabadikan momen bersejarah erupsi Gunung Sinabung. Seperti yang dilakukan fotografer dari Jogjakarta, Ulet Infansasti, dan fotografer dari Jakarta, Kemal Jufri. Kedua fotografer tersebut bekerja untuk media Internasional. “Pada 2013 kemarin, kami sudah berada di Kabupaten Karo ini, namun karena intensitas dan erupsi Gunung Sinabung kembali meningkat terutama pada Oktober ini, kami kembali merasa terpanggil untuk mengabarkannya ke dunia internasional melalui gambar visual,” ujar Ulet saat berada di Desa Tigapancur.

Tak jarang sejumlah pewarta foto mengalami tekanan saat melakukan liputan. Terbukti saat terjadi letusan besar dari Gunung Sinabung. Tetap saja ada fotografer panik saat menyaksikan debu vulkanik membubung ke langit hingga mencapai 3.000 meter ke atas. Pewarta foto juga sering dipenuhi debu vulkanik saat melakukan peliputan di desa-desa. Tidak hanya itu, mereka juga seakan melakukan kompetisi saat mengabadikan momen erupsi. Parahnya, ada sejumlah fotografer yang kehabisan baterai kamera atau memori kamera penuh sehingga melewatkan momen menarik.

Sebagian besar fotografer mengurangi jam istirahatnya demi menunggu momen lava pijar pada malam hari. Hal itu membuat sang fotografer harus merelakan diri untuk selalu tegak semalam suntuk di hadapan kamera yang terpasang di tripot (penyangga kamera) untuk mengabadikan turunnya guguran lava itu.

Belum lagi esok harinya, mereka harus meliput dampak dari erupsi malam dan mengintai segala sisi agraria yang terserang debu. Kesemuanya itu dilakukan semata-mata untuk memberitahukan kepada publik tentang kondisi terkini desa-desa yang berada di kaki Gunung Sinabung. Semangat para pemburu gambar itu tidak terhenti meskipun medan yang akan ditempuh berdampak parah dan terkadang berisiko tinggi.

Soal risiko, pewarta foto harus terus mengasah insting dan memiliki perhitungan realistis saat mengabadikan momen. Sejarah mencatat, Sinabung pada ‘musim erupsi’ Januari-Februari 2014 lalu telah memakan 11 korban. Dua di antaranya malah para pemburu gambar, Rizal Syahputra dan Thomas S Milala.

Itulah sebab, perhitungan dan insting seorang pemburu gambar memang benar-benar diuji menghadapi amuk Sinabung yang sulit diprediksi. Arah angin, tingkat letusan, hingga medan yang rawan menjadi catatan penting bagi seorang fotografer. “Bukanlah hal yang mudah untuk mengabadikan momen di Sinabung ini, karena bencana merupakan daerah yang rawan dan berbahaya. Maka dari itu, semuanya harus penuh pertimbangan, tidak bisa sembarangan,” ujar Kadri Boy Tarigan salah satu fotografer media nasional.

Kadri tak menampik, rasa panik juga dirasakan para fotografer. Apalagi ketika erupsi Sinabung sedang hebat dan posisi mereka berada tak jauh dari gunung tersebut. Sementara, erupsi tersebut adalah momen yang harus mereka abadikan setelah sekian lama penantian. Mau tak mau rasa panik harus ditekan dan segala perhitungan harus dipikirkan demi keselamatan jiwa. “Kepanikan juga harus dihindari, sebab kepanikan akan mengakibatkan hal fatal bagi kami para juru foto,” tutupnya. (rbb)

 

Exit mobile version