Site icon SumutPos

1.438 Pasutri di Medan Resmi Bercerai

Gedung Pengadilan Agama Medan Kelas – 1A, Jalan SM Raja, Medan.

SUMUTPOS.CO – Terhitung sejak Januari 2017 hingga September 2017, sebanyak 1438 pasangan suami-isteri (Pasutri) di Kota Medan, resmi bercerai. Jumlah itu terbagi dari 1.149 cerai gugat atau isteri yang menggugat cerai dan 289 cerai talak atau suami yang menggugat cerai. Hal itu dikatakan Panitera Pengadilan Agama Medan Kelas I-A, Drs Abdul Khalik SH MH.

“Fenomenanya, masih ada pereceraian di bawah tangan atau tanpa melaporkan ke Pengadilan Agama. Memang, dilihat dari jumlah yang ada, menunjuk tingkat kesadaran administrasi masyarakat kita sudah tinggi, ” ujar Abdul Khalik.

Abdul Khalik mengatakan, perceraian diakibatkan beberapa faktor. Namun, faktor paling banyak adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus berjumlah 941. Kemudian faktor suami meninggalkan kewajiban atau salah satu pihak berjumlah 199. Begitu juga faktor kekerasan dalam rumah tangga, baik itu kekejaman jasmani atau mental, berjumlah 105.

“Faktor ekonomi penyebab perceraian juga masih ada dan cukup tinggi dengan jumlah 86. Selain itu, ada faktor-faktor lain seperti krisis akhlak seperti mabuk, judi zina dan lainnya, ” papar Abdul Khalik.

Sementara berdasarkan data Sumut Pos, pada Januari 2016 hingga Agustus 2016, sebanyak 1.341 Pasutri bercerai. Jumlah itu terbagi dari 1.074 Cerai Gugat atau isteri menggungat cerai dan 267 Cerai Talak atau suami yang menggugat cerai. Untuk faktor penyebab perceraian paling banyak meninggalkan kewajiban atau salah satu pihak, disusul faktor ekonomi dan berselisih terus menerus.

Psikolog, Irnami Nauli menyebut angka perceraian di kota besar memperlihatkan trend yang terus meningkat. Penelitian beberapa tahun yang lalu juga memperlihatkan, angka tersebut sudah mencapai 10 persen dan kemungkinan angka tersebut akan terus meningkat.

“Kalau sebelumnya faktor utama perceraian adalah masalah ekonomi kemudian disusul masalah KDRT dan perselingkuhan, tampaknya ada perubahan yang cukup menarik yaitu masalah perselisihan terus menerus,” ujar Irnami Nauli.

Direktur Minauli Consulting Psikolog itu mengatakan, hal ini memperlihatkan bahwa banyak pasangan yang kurang trampil dalam mengatasi perselisihan dalam perkawinannya. Disebutnya, hampir setiap pasangan menghadapi berbagai masalah, akan tetapi faktor kemampuan berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah merupakan suatu keterampilan yang belum dimiliki banyak pasangan suami-isteri.

“Perkawinan membutuhkan penyesuaian diri yang terus menerus dari kedua belah pihak. Secara teoretis, area yang perlu dilakukan penyesuaian adalah dalam hubungan pribadi antara keduanya, hubungan dengan mertua dan ipar, masalah keuangan dan seksual, ” tambah Irnami.

Oleh karena itu, dikatakan Irnami, penyesuaian pribadi sangat penting dilakukan karena pada dasarnya keduanya berasal dari latar belakang pendidikan, keluarga dan budaya yang berbeda. Disebutnya, banyak pasangan yang tidak siap menghadapi problema yang ada dalam perkawinannya. Mereka beranggapan bahwa perkawinan sempurna adalah sebagaimana yang ada di dalam hayalannya.”Penyebab utama sering berhubungan dengan ketidakmatangan secara emosional, sosial dan finansial,” lanjut Irnami.

Irnami mengatakan, beberapa tahun yang lalu masih ditetapkan bimbingan dan penyuluhan perkawinan bagi pasangan yang akan menikah. Akan tetapi saat ini, hal itu tidak lagi dilakukan sehingga banyak yang kurang siap dan kurang mendapatkan pengarahan sebelumnya.

Oleh karena itu, Irnami menilai ketidakmatangan secara emosional membuat menjadi mudah marah atau tersinggung ketika di hadapkan pada permasalahan. “Secara sosial mereka juga tidak matang sehingga belum mampu memikul tanggung jawab sebagai suami atau istri dan bagian dari keluarga besar. Hal ini diperparah jika secara finansial mereka masih belum siap sehingga cenderung bergantung pada orang lain atau orang tua mereka. Hal ini membuat intervensi atau campur tangan dari pihak keluarga menjadi semakin besar, ” sambung Irnami. (ain/ila)

 

Exit mobile version