Site icon SumutPos

Jaksa: Kasus Korupsi Rahudman Harga Mati

ICW Tegaskan, Jangan Berharap Izin Presiden

MEDAN-Pernyataan Rahudman Harahap yang menegaskan dia tidak melakukan korupsi, dianggap mengingkari statusnya sebagai tersangka yang telah ditetapkan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu). Pernyataan Rahudman justru menguatkan keinginan Kejatisu mempercepat kasus korupsi Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Tapsel tahun 2005 itu ke meja peradilan.

“Silakan saja ia mengatakan tidak bersalah dan tidak melakukan tindak pidana korupsi, itu haknya. Yang terpenting perkara itu sudah digelar ekspos di Kejagung RI, bahkan Kejatisu sudah menetapkannya sebagai tersangka,” ujar Kasi Penkum Kejatisu Edi Irsan Kurniawan Tarigan, kemarin (17/6).

Dikatakan Edi Irsan, mereka bertekad menuntaskan kasus dugaan korupsi yang menyeret Rahudman Harahap. “Ini sudah harga mati dan sesuai perintah Kajagung RI bahwa kasus-kasus korupsi menjadi prioritas utama untuk segera diselesaikan secara hukum hingga sampai proses peradilan,” tegasnya.

Sebagai lembaga negara yang memegang teguh azas praduga tidak bersalah, Kejatisu akan berupaya membuktikan sangkaan Rahudman benar-benar melakukan praktik korupsi, hingga ke pengadilan. “Rahudman ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan temuan bukti ataupun keterangan saksi,” ujar Edi Irsan.

Kasi Penkum Kejatisu menyatakan, sebagai lembaga yang menganut azas praduga tidak bersalah, Kejatisu mempersilahkan Rahudman Harahap mengeluarkan pendapat dan menyatakan tidak bersalah melakukan korupsi APBD tahun 2005 senilai Rp13,8 miliar.

Bagaimana perkembangan penyelidikan kasusnya? Edi Irsan menegaskan, saat ini penyidik Kejatisu masih menunggu surat izin pemeriksaan Rahudman yang saat ini menjabat wali kota Medan dari presiden ataupun mendagri. “Kita berharap surat itu turun agar secapatnya dilakukan pemeriksaan yang bersangkutan,” tegas Tarigan lagi.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kota Medan melihat kinerja Kejatisu sangat kurang greget dalam menangani kasus dugaan korupsi dengan tersangka Rahudman Harahap. “Kurang greget melihat kinerja kejatisu. Penanganannya lamban,” ujar Juliandi Siregar, Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jumat (17/6)n
Dikatakannya, terlibatnya seorang kepala daerah sebagai tersangka korupsi sangat mengganggu kinerja pemerintahan Pemko Medan. “Bila Kejatisu tidak memprosesnya sesuai dengan proses hukum bisa mengganggu kinerja pemerintahan Kota Medan,” cetusnya.

Ketua DPRD Kota Medan Amiruddin hanya ‘pasrah’ melihat situasi. “Kita tidak bisa berbuat apa-apa karena dia Korupsinya di Tapanuli Selatan sana. Coba langsung saja ke dewan Tapanuli Selatan,” katanya mengelak memberi pendapat.

Izin Presiden

Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruptions Watch (ICW) Emerson Yuntho menyarankan agar elemen-elemen antikorupsi tidak berharap banyak izin pemeriksaan terhadap Wali Kota Medan Rahudman Harahap dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa keluar. Alasannya, SBY sebagai ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, tidak akan mau kepala daerah yang dulu diusungnya, menjadi pesakitan.

“Tidak hanya di Medan. Di banyak daerah, masalah izin itu dimanfaatkan betul oleh penguasa agar kasus-kasus yang menyeret kadernya, tidak berlanjut,” ujar Emerson Yuntho kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin.
Lantas bagaimana solusinya? Emerson mengatakan, proses penyelesaian perkara korupsi Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Tapsel tahun 2005 itu harus didorong agar ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, proses di KPK tidak memerlukan izin dari presiden. “Kalau prosedurnya pakai izin, ya pastilah sesama Demokrat akan melindungi,” ujarnya.

Untuk bisa ditangani oleh KPK, kata Emerson, maka perkara yang melibatkan Rahudman ini harus mendapat supervisi dari KPK. Dalam proses supervisi, jika KPK menilai prosesnya mandek di Kejaksaan Tinggi Sumut, maka akan diambil alih.

Sementara, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Edy Ramli Sitanggang, tidak mau berkomentar saat ditanya mengenai masalah ini. “Saya kan Demokrat juga, jangan tanya soal itu lah,” ujarnya lewat ponselnya, kemarin.

Sementara, anggota Komisi III DPR yang juga dari Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawady Samsudin, dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan, jika ada kader yang tersangkut kasus hukum, maka prosesnya juga diserahkan ke ranah hukum.

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahendra menegaskan, dia sudah sering meminta kepada Jaksa Agung agar melimpahkan  penanganan perkara korupsi yang jalan di tempat.
“Kalau sudah begini, Kejaksaan Tinggi Sumut harus berkoordinasi dengan KPK. Terhadap perkara yang tidak jalan, ya harus cepat diserahkan ke KPK,” terang vokalis di komisi yang membidangi hukum itu  kepada koran ini di Jakarta, Senin (13/6).

Apakah desakan ini akan disampaikan ke KPK? Politisi muda dari Partai Gerindra itu dengan tegas menyatakan, iya. “Itu pasti. Terhadap perkara korupsi yang lambat, harus ditarik saja ke KPK,” cetus mantan aktivis itu.
Sedang Juru Bicara KPK Johan Budi pernah mengatakan, sebelum mengambil alih perkara yang ditangani kejaksaan atau kepolisian, maka perlu ada supervisi terlebih dahulu. Dalam proses supervisi ini, koordinasi antar kedua lembaga penegak hukum dilakukan secara intensif.

Mengenai perkara dengan tersangka Rahudman Harahap, Johan menjelaskan, belum ada proses supervisi dari KPK.  Namun, jika Kejatisu merasa sudah tidak mampu dan menyerahkan prosesnya ke KPK, maka lembaga penegak hukum yang ditakuti para koruptor itu siap menggarapnya. (rud/adl/sam)

Exit mobile version