Site icon SumutPos

Sektor Pendidikan & Kesehatan Terkorup di Sumut

Foto: Diva Suwanda/Sumut Pos
Para peserta seminar foto bersama usai acaea Diskusi Publik terkait Diseminasi ” Hasil Penelitian Sewindu Tren Korupsi di Sumatera Utara.

SUMUTPOS.CO – Berdasarkan penelitian Sentra Advokasi Untuk Hak Dasar Rakyat (Sahdar), kurun waktu 2010 hingga 2018 menemukan banyaknya praktik korupsi terjadi di sektor pendidikan dan kesehatan. Modusnya, dengan penyalahgunaan wewenang dan penyalahgunaan anggaran yakni mark up dan pungutan liar (Pungli).

Menurut lembaga ini, sektor yang paling banyak terdampak perilaku koruptif aparat sipil negara (ASN), di antaranya dinas Pendidikan dan dinas kesehatan dengan tingkat yang sangat tinggi. Secara gradual ada 32 kasus di dinas kesehatan dan dinas pendidikan selama delapan tahun terakhir.

Koordinator Sahdar Sumut, Ibrahim menerangkan untuk tingkat kerugian delapan tahun terakhir kuranglebih Rp1.149 triliun dengan 700 terdakwa yang 56 persennya adalah ASN di birokrasi pemerintahan.

Menurutnya, bicara penindakan, ada beberapa kasus yang masih belum jelas juntrungnya, mandeg belum bermuara ke meja pengadilan.

“Sebelumnya kami juga sudah mengadakan forum dengan aparat penegah hukum (APH) terkait menanyakan data jumlah kasus dugaan korupsi yang mandeg. Menurut kami masih ada banyak jumlah kasus korupsi yang belum sampai ke pengadilan,” ungkap Ibrahim saat diwawancarai dalam seminar bertajuk Diskusi Publik terkait Diseminasi “Hasil Penelitian Sewindu Tren Korupsi di Sumatera Utara” yang berlangsung di Hotel Arya Duta, Medan, Selasa (17/7).

Hadir dalam seminar itu sejumlah perwakilan diantaranya PN Medan, inspektorat dan kepolisian, akademisi hukum untuk membahas permasalahan korupsi yang terjadi dan mandeg di tangan aparat penegak hukum.

Ibrahim mengatakan, menurut aparat kepolisian mereka tidak mau disebut mandeg dalam pengusutan kasus dugaan korupsi yang terjadi di institusi mereka. “Dari hasil diskusi tadi, seperti yang kita dengar mereka tidak mau disebut mandeg, tetap lambat karena adanya conflict of interest di internal mereka sehingga terkadang penyidikan kasus dugaan korupsi itu menjadi lamban,” terangnya.

Dari hasil penelitian yang mereka lakukan, tingginya tindak pidana korupsi di dua sektor tersebut terjadi akibat besarnya anggaran di sana. “Jadi makin banyak anggarannya makin banyak pelaku korupsi. Hal ini jelas sangat berdampak terhadap pelayanan publik,” terangnya.

Dia membeberkan kasus dugaan korupsi tertinggti banyak terjadi di Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) sebanyak 33 kasus sejak 2010-2018. Kemudian di Kota Medan ada 29 kasus. “Jadi dua instansi pemerintahan yang paling korupsi di Provinsi Sumut adalah di Pemprov dan Pemko Medan. Berbeda tipis dengan Provinsi Jawa Timur (Jatim),” ungkapnya.

Ibrahim berharap dengan diadakannya diskusi publik tersebut akan mengedukasi masyarakat perihal pentingnya melawan praktik korupsi. “Kepada aparat penegak hukum juga agar lebih transparan dalam memberikan info terkait kasus-kasus dugaan korupsi yang sedang mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga persidangan,” harapnya.

Berdasarkan data yang mereka himpun, sepanjang 2010-2018 penindakan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum terdata ada 272 kasus korupsi, 716 tersangka dengan rincian Rp1,176 triliun korupsi sementara kasus suap Rp73,934 miliar.

Untuk presentase penanganan kasus dugaan korupsi yang dilakukan aparat paling banyak dilakukan oleh kejaksaan sebanyak 64 persen, disusul kepolisian 32 persen dan KPK 4 persen.

Kejaksaan menangani kasus korupsi paling banyak yakni 172 kasus dengan kerugian negara Rp1,729  triliun dan nilai suap Rp2 miliar, sementara kepolisian menangani 93 kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp346,3 miliar dan nilai suap 6Rp,1 miliar.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Sahdar, sepanjang 2010-2018 setidaknya 15 kepala daerah yang masuk bui lantaran kasus korupsi di Sumut. “Dua gubernur, satu walikota dan 2 wakil walikota, 9 bupati dan 1 wakil bupati,” katanya.

Sementara itu, perwakilan dari Polda Sumut, AKBP Jadiaman Sinaga, yang merupakan Penyidik Madia Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus), mengakui memang dalam perjalanan penyelidikan, penyidikan kasus dugaan korupsi masalah yang kerap terjadi adalah conflict of interest di dalam internal mereka.

“Jadi di satu sisi penyidik harus taat kepada pimpinan sementara di sisi lain harus menegakkan hukum. Sehingga, saya tidak setuju kalau dibilang bahasanya mandeg, tapi lamban. Karena ya itu tadi adanya conflict of interest,” sebutnya.

Menurutnya kondisi itu berbeda dengan penyidikan kasus korupsi di KPK. Tidak ada conflict of interest terjadi di lembaga tersebut. “Kalau di KPK tida ada itu. Oleh karena itu lembaga seperti LSM untuk mengawal kasus tersebut. Jadi yang mana kasus-kasus yang mandeg, dikawal biar tuntas,” pungkasnya. (dvs/ila)

Exit mobile version