Site icon SumutPos

TDS Angsapura Lakukan Ritual Ulambana

RITUAL ULAMBANA-Para Pengurus dan Anggota Yayasan Sosial Angsapura Medan dan Pengurus TDS Angsapura Tanjung Morawa, antusias mengikuti Ritual Sembahyang Ulambana, Minggu (17/9).

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Untuk kali pertama sejak diresmikan pada (20/9/2016) tahun lalu, Vihara Taman Damai Sejahtera (TDS) Angsapura Tanjung Morawa, Minggu (17/9) melaksanakan ritual sembahyang Ulambana (Penyelematan Arwah,Red) dan pembacaan sutra pertobatan yang dimulai pukul 08.30WIB-16.30 WIB.

Ritual Ulambana yang dilaksanakan bertepatan dengan bulan ke-7 hari ke-15 penanggalan Imlek. Pelaksanaan ritual ulambana tersebut diikuti sejumlah jajaran pengurus Angsapura, diantaranya Ketua Umum Angsapura Medan Tony Harsono, Wakil Ketua Pembina yang juga mantan Ketum Angsapura Hakim Tanjung, Ketua Membidangi Sosial Effendi Simin SE, Ketua Membidangi TDS Angsapura Tanjung Morawa Tirta Salim serta puluhan keluarga leluhur/orangtua yang abu jenazahnya disimpan di Crematorium TDS Angsapura Tanjung Morawa serta umat Budha di seputar vihara lainnya.

Ritual Ulambana yang dipimpin dua orang Biksu tersebut, ditandai pembacaan doa suci untuk mengundang arwah orangtua/leluhur yang diikuti segenap pengurus TDS Angsapura Tanjung Morawa dan jajaran Pengurus dan Anggota Yayasan Sosial Angsapura Medan. Sementara masakan serta buah-buahan sebagai sesaji untuk para arwah dengan nama para leluhur atau arwah yang didoakan.

Ketum Yayasan Sosial Angsapura Tony Harsono, sembahyang Ulambana merupakan sembahyang untuk melimpahkan jasa atau kebaikan pada para leluhur yang telah meninggal dunia. “Kegiatan pelimpahan jasa kepada makhluk hidup ditiga alam sengsara dengan harapan mendapat berkah kebajikan, kebahagiaan, terbebas dari penderitaan dan terlahir di alam yang lebih berbahagia,” kata Tony Harson, Minggu (17/9).

Ritual sembahyang Ulambana ini, katanya, berawal dari sebuah kisah yang terjadi pada zaman Sang Buddha, pada saat itu Buddha memiliki seorang murid bernama Mogalana. Dengan kesucian, kesaktian, dan kekuatannya, ia mencoba menolong

ibunya yang berada pada alam yang menderita atau alam Niraya. Melihat hal itu, ia kemudian ingin mempersembahkan makanan pada ibunya, akan tetapi tidak pernah

berhasil, dan bahkan makanan tersebut berubah menjadi bara api.“Demi menolong sang ibu, dia menyampaikan keinginan itu pada sang Buddha. Setelah mendengarkan keinginan Mogalana, Buddha menyarankan kepada Mogalana untuk mengundang para bhikku untuk berdoa bersama-sama dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada mereka. Selanjutnya kebajikan itu dilimpahkannya kepada sang ibu. Akhirnya berkat kebajikan yang dilakukan Mogalana, sang ibu bisa terbebas dalam alam penderitaannya,” katanya.

Tak berbeda dengan sembahyang yang digelar umat Buddha umumnya, sembahyang ulambana juga dilengkapi berbagai persembahan, di antaranya buah-buahan, makanan, minuman, bunga, begitupun beberapa perlengkapan sembahyang lain

seperti kertas sembahyang dan hio (garu). Semua barang-barang yang dipersembahkan dalam ritual sembahyang memiliki makna atau simbol tersendiri.

“Berdasarkan tradisi dalam memberi persembahan harus disediakan buah-buahan yang bagus. Yang berarti, buah-buahan yang bagus pasti berasal dari pohon yang bagus pula atau terawat dengan baik. Ini memberikan simbol tentang kebijakan bahwa sesuatu yang baik juga akan menghasilkan yang baik pula,” ujarnya.

Begitu pun bungayang dipersembahkan pada ritual itu. Kata dia, patut diingat, walaupun bunga telah layu, namun bunga tetap akan menyebarkan wangi yang semerbak. Sama halnya dengan air, juga memberikan arti tentang kebijakan. Air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Ini mempunyai arti dalam hidup kita harus rendah diri,” ujar Tony Harsono. (ila)

 

 

Exit mobile version