Site icon SumutPos

Kawinkan Ulos Batak dan Jarit Jawa

Foto: Chandra Satwika/Jawa Pos Dari kanan depan, Rolasniati Hutauruk, Mery Situmeang, Edra Cordina Munthe, dan teman-temannya menampilkan tari tortor di aula Yayasan Lembaga Kesejahteraan Keluarga (LKK) Ngesti Rahayu.
Foto: Chandra Satwika/Jawa Pos
Dari kanan depan, Rolasniati Hutauruk, Mery Situmeang, Edra Cordina Munthe, dan teman-temannya menampilkan tari tortor di aula Yayasan Lembaga Kesejahteraan Keluarga (LKK) Ngesti Rahayu.

Pergi jauh meninggalkan kampung halaman tidak berarti harus lupa dengan akar tradisi. Sebaliknya, tradisi bisa terus berkembang dengan mengadopsi nilai-nilai budaya setempat. Para penari tortor ini membuktikannya.

————–

DENGAN gerakan lemah gemulai, sepuluh perempuan penari itu mengikuti iringan musik gondang. Ritmenya berubah-ubah. Semula pelan, lalu semakin cepat, kemudian kembali melambat. Tabuhan musik khas Sumatera Utara tersebut diiringi nyanyian berbahasa Batak. “Amang pardoal pargonci (bapak pemain musik mulai mainkan, Red),” begitu bunyi salah satu syair dalam pembuka lagu itu.

Dibalut kebaya cokelat dan kain ulos berwarna dominan merah dan kuning, para penari terus melenggang ke sana-ke mari. Keringat membasahi dahi mereka yang terlilit kain sortali.

Kain merah dan kuning tersebut menyerupai mahkota putri raja. Ketika para perempuan itu manortor atau melakukan gerak tari tortor, kecakapan menggerakan tangan dan kaki banyak diperagakan.

Ada pakem atau dasar tersendiri untuk melakukan semua itu. Misalnya, gerakan tortor mula-mula. Kedua telapak tangan penari tertangkup rapat, lalu menempel tepat di depan ulu hati.

Senyum terus menghiasi wajah para penari. Gerakannya mirip putri yang menyapa. Saat itu para penari memang ‘menyapa’ para kiai, pendeta, pandita, dan segenap pimpinan agama lain. Mereka hadir dalam seminar bertemakan Upaya Melestarikan Nilai-Nilai Pancasila di Tengah Masyarakat Majemuk.

Acara berlangsung di Aula Yayasan Lembaga Kesejahteraan Keluarga (LKK) Ngesti Rahayu, Jalan Kwadengan Utara, Kecamatan Sidoarjo, Sabtu (8/10) siang lalu diselenggarakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sidoarjo.

Ketua Tim Tari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Nurhetty Ramayana Hutabarat menuturkan bahwa tarian tortor memiliki banyak arti. “Misalnya, wujud syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, hidup berdampingan dengan sesama makhluk Tuhan, dan mengabdi kepada para raja,” jelasnya.

Dia mencontohkan gerakan tangan yang menengadah ke atas dengan menghadapkan jari-jemari ke belakang. Gerakan tersebut bernama tortor somba. “Pertanda syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata perempuan 50 tahun itu. Ada juga gerakan tangan di samping pinggang dan membolak-balikkan telapak tangan seperti mengipas.

Itu adalah gerakan tortor siboru. Sekitar sepuluh menit mereka melakukan manortor. Semua dilakukan dengan mangurdot atau mengikuti irama.

Hetty menuturkan bahwa tortor, gondang, dan kain ulos merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tiga hal itu punya peranan penting dalam budaya Batak. Tortor merupakan kumpulan gerakan sopan dan ramah yang mengekspresikan jati diri masyarakat Sumatera Utara. Sementara itu, gondang adalah alat musik yang menemani setiap penampilan.

“Nah, selain berfungsi sebagai baju, ulos berfungsi sebagai penghangat kami,” tuturnya. Lantaran Hetty dan keluarga besarnya di Jawa, dirinya memadukan busana Jawa dan Batak.

Mereka mengombinasikan jarit dan ulos sekaligus. Jarit adalah kain batik panjang ala Jawa, sedangkan ulos adalah selendang tenunan Batak. Hetty lahir di Surabaya. Orangtuanya lahir di Medan.

Orang tua Hetty menginjakkan kaki di Sidoarjo sekitar 90 tahun lalu. Meski bermarga batak dan sepenuhnya berdarah batak, Hetty tak pernah belajar langsung kesenian-kesenian Batak dari orang Batak.

Dia justru belajar dari seorang Tionghoa perantauan yang tinggal di Surabaya, tempat dirinya dilahirkan. Kondisi itu justru membuatnya memiliki kemauan kuat melestarikan budaya Batak.

“Sejak saya diajari tari Batak oleh guru Tionghoa tersebut, saya semakin ingin melestarikan budaya leluhur,” terang ibu rumah tangga warga perumahan Bluru Permai, Sidoarjo, itu.

Menurut dia, ada lebih dari 600 kepala keluarga yang berdarah Batak di Kota Delta. Mereka terdiri atas banyak marga. Misalnya, Hutabarat, Sinaga, Situmorong, dan Purba. Beberapa di antara mereka lahir di Batak. Beberapa lainnya lahir di tanah Jawa. Meski begitu, mereka tetap berusaha melestarikan beragam tradisi Batak di Sidoarjo. (jpg/rbb)

Exit mobile version