Site icon SumutPos

Kasus Gatot Belum Berhenti

Febri Diansyah

SUMUTPOS.CO – Kasus dugaan suap mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho terhadap anggota DPRD Sumut terus bergulir. Meski telah menyeret dua belas mantan anggota DPRD Sumut ke jeruji besi, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) belum berhenti. Lembaga antirasuah itu telah mengagendakan pemanggilan terhadap 46 orang anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 untuk dimintai keterangan di Mako Brimob, Jalan KH Wahid Hasyim, pekan depan.

Informasi pemeriksaan ini diketahui dari selebaran yang beredar di kalangan wartawan di Medan. Dalam selebaran tersebut dikatakan, 46 anggota DPRD Sumut akan diperiksa secara bergantian selama  beberapa hari yakni mulai tanggal 29, 30 dan 31 Januari 2018. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan yang sama pada 1 dan 2 Februari 2018.

Dalam daftar pemeriksaan KPK itu, terdapat beberapa nama anggota dewan yang masih aktif seperti Sopar Siburian, Arifin Nainggolan, dan Mustofawiyah dari Fraksi Demokrat, Muslim Simbolon dari Fraksi PAN, Analisman Zhalukhu dari Fraksi PDIP, Aduhot Simamora dari Hanura, dan lainnya.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi wartawan membenarkan kalau KPK akan memeriksa sejumlah mantan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014. “Memang ada jadwal permintaan keterangan pada sejumlah anggota DPRD di Sumut. Itu proses pengembangan perkara sebelumnya,” ungkap Febri, Kamis (18/1) sore.

Namun, Febri enggan membeberkan bagaimana perkembangan kasus itu. Lantaran kasus itu masih dalam penyelidikan. “Karena sedang penyelidikan, kami tidak dapat memberikan banyak keterangan,” tutur Febri dari sambung telpon selular.

Sementara Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Rina Sari Ginting saat dikonfirmasi Sumut Pos tadi malam membenarkan KPK bakal menggunakan Mako Brimob Polda Sumut sebagai tempat pemeriksaan 46 mantan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 pada 29 Januari hingga 2 Februari. “Ya, mereka mau pinjam (Mako Brimob, Red), wajar kita berikan. Wong untuk tugas Negara juga,” ujar Rina singkat via WatshApp.

Pemeriksaan 46 anggota DPRD Sumut ini juga dibenarkan seorang anggota dewan yang dikonfirmasi tadi malam. Ia membenarkan kalau dirinya akan diperiksa oleh KPK. “Benar, giliran saya diperiksa pada tanggal 31 Januari 2018 nanti,” ujar anggota DPRD Sumut yang meminta namanya tak dipublikasikan itu.

Sementara, Sopar Siburian dari Fraksi Demokrat juga mengakui diperiksa pada Rabu, 31 Januari mendatang. “Ya, giliran saya tanggal 31 Januari 2018 nanti,” kata Sopar Siburian.

Menyikapi rencana KPK menindaklanjuti kasus suap terhadap mantan anggota DPRD Sumut ini, pengamat hukum Muslim Muis mengaku sangat mendukung. Bahkan, KPK dimintanya jangan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi yang diduga melibatkan seluruh anggota DPRD Sumut itu. “KPK jangan tembang pilih, kalau terbukti segara tetap menjadi tersangka, sesuai dua alat bukti yang ditemukan penyidik KPK dalam proses hukum,” ungkap Muslim Muis kepada Sumut Pos tadi malam.

Muslim Muis menilai, sudah jelas di dalam pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan dengan terdakwa Gatot Pudjo Nugroho, ada sejumlah nama yang diduga terlibat untuk ditindaklanjuti sesuai proses hukum yang ada. “Kalau terbukti terlibat semuanya, angkat juga semua anggota dewan itu ke Jakarta (Kantor KPK). Semua jelas, kenapa KPK menunggu lagi. Sudah angkut saja lagi, biar di PAW semua anggota dewan itu,” tutur Muslim Muis.

Muslim Muis menilai, dalam kasus suap ini, KPK terkesan melindungi sejumlah anggota DPRD Sumut dan pejabat tinggi pemprov Sumut. Dengan ini, masyarakat bisa tidak mempercayai lagi KPK sebagai antirasuah untuk melakukan pemberantas korupsi di Sumut ini.

“Ini KPK cuma menangkap ekor Harimau saja, bukan taring atau cakarnya. Di sini diuji KPK untuk betul-betul melakukan pemberantasan di Sumut. Karena, masyarakat sudah capek dihadapkan dengan para pejabatnya yang kerap melakukan korupsi,” tandasnya.

Pengamat Politik dari UISU Alfi Syahri mengatakan, pemanggilan kepada para mantan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 ini merupakan satu upaya KPK dalam memberikan aspek keadilan sekaligus regenerasi politik kepada calon yang lain. “Bagaimanapun kita tahu, seberapa besar masa lalu di era mereka menjadi legislatif membuat masalah setelahnya. Kita berada dalam krisis hukum yang melibatkan banyak pejabat dan politisi,” ujat Alfi.

Dengan upaya ini kata Alfi, dapat dilihat bagaimana seharusnya mereka yang telah sempat menikmati hasil dari proses berpolitik selama berkuasa, bertanggungjawab terhadap akibat yang muncul setelahnya. Sehingga pada 2019 nanti, pada perhelatan Pileg, diharapkan masalah ini bisa dituntaskan hingga seluruh pihak terkait, mendapatkan ganjaran.

“Dengan begini akan bisa dilihat, mana yang memang menerima atau tidak. Sehingga, mereka yang tidak menerima, juga mendapat tempat di masyarakat. Bagi yang menerima, ya mereka memang harus bertanggungjawab,” katanya.

Diketahui, mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho saat menjadi saksi untuk terdakwa Kamaluddin Harahap mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumut, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 2 Maret 2016 lalu, mengakui adanya ‘uang ketok’ di DPRD Sumut untuk memuluskan pengesahan APBD Sumut Tahun Anggaran 2012. Menurutnya, sejak menjabat Gubernur Sumut pernah memberikan sejumlah ‘uang ketok’ untuk memuluskan APBD 2012.

Gatot menceritakan bahwa uang ketok di DPRD Sumatera Utara adalah ‘tradisi’. Uang ketok tersebut menurutnya sudah berlangsung sejak dirinya menjadi Plt Gubernur Sumut tahun 2011. “Kalau nggak ada uang ketok tidak selesai antara Bandan Anggaran dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk APBD tidak akan dibahas-bahas. Itu sudah tradisi dalam DPRD tahun 2012-2015,” ujarnya di hadapan majelis hakim yang diketuai Sumpeno.

Tidak hanya Gatot yang membenarkan bahwa ‘uang ketok’ adalah sebuah tradisi di DPRD Sumut, Mantan Sekretaris Daerah Sumut, Nurdin Lubis pun mengamini hal tersebut. “Saya tahu ada uang ketok, ketika itu ada pembahasan di 2012 proses Juli-Agustus ketika disampaikan ke dewan kemudian dalam sidang Paripurna, maka munculah keinginan dari kawan-kawan dewan agar muncul keinginan dari kawan-kawan semacam uang ketok dan itu adalah sebuah tradisi,” ujar Nurdin.

Dalam dakwaan Gatot selaku Gubernur Sumatra Utara pada saat itu memberikan uang Rp1,4 miliar untuk memuluskan pengesahan APBD Sumut. Uang tersebut diberikan Gatot agar Kamaluddin memberikan persetujuan terhadap Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD) Provinsi Sumut Tahun Anggaran (TA) 2012, persetujuan terhadap Perubahan APBD Provinsi Sumut TA 2013, persetujuan terhadap APBD Provinsi Sumut TA 2014 dan persetujuan terhadap APBD Provinsi Sumut TA 2015.

Uang suap Rp1,4 miliar menurut Jaksa KPK diterima Kamaluddin beberapa kali. Gatot menyerahkan uang tersebut melalui Bendahara Sekretariat DPRD Sumut Muhammad Alinafiah, Sekretaris DPRD Sumut Randiman Tarigan, atau Kabiro Keuangan Pemprov Sumut Ahmad Fuad Lubis. Besaran duit yang diberikan bertahap ini berkisar mulai dari Rp 40 juta hingga Rp 1,5 miliar.

Selain kepada Kamaluddin, Gatot juga memberikan duit suap atau yang dikenal dengan istilah ‘uang ketok’ kepada pimpinan DPRD Sumut lainnya yaitu Ajib Shah, Saleh Bangun, Chaidir Ritonga, dan Sigit Pramono Asri. ‘Uang ketok’ diberikan dengan tujuan yang sama, yakni memuluskan persetujuan APBD Pemprov Sumut tahun anggaran 2012 hingga 2015. (gus/ain/bal/adz)

 

Exit mobile version