Site icon SumutPos

70 Persen Limbah di Hulu Sungai dari Sampah Rumah Tangga

Foto: Sutan Siregar/SUMUT POS
Seorang pemuda mengais barang bekas di aliran sungai yang di penuhi sampah di kawasan Jalan Perjuangan, Kec Medan Timur.  Kurangnya kesadaran warga untuk tidak membuang sampah kesungai, selain pemicu banjir juga menimbulkan bau yang kurang sedap.

SUMUTPOS.CO – Limbah rumah tangga di Kota Medan menjadi faktor yang cukup mengancam kualitas air di hulu sungai. Sebab sebanyak hingga 70 persen, limbah yang ditemukan di hulu sungai merupakan sampah rumah tangga. Sedangkan 30 persennya merupakan limbah yang berasal dari industri.

Anggota DPRD Medan dari Fraksi Golkar, Mulia Asri Rambe mengungkapkan, dalam beberapa tahun ke depan limbah rumah tangga milik masyarakat Kota Medan akan diolah menjadi hal yang lebih bermanfaat. Pasalnya, selama ini limbah rumah tangga dianggap sebagai kotoran dan bahkan penyumbang terbesar.

“Ke depan, Pemko Medan akan mengelola limbah tersebut untuk dijadikan pupuk kompos dan hal lain yang lebih bermanfaat. Hal ini dilandasi dari Perda No.14/2016 tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik,” kata Mulia yang akrab dipanggil Bayek ini, kemarin.

Diutarakan Bayek, hasil limbah yang diolah itu akan dijual kembali oleh Pemko Medan untuk meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerah (PAD). Nantinya, di depan rumah warga akan dipasang pipa.”Memang ada biayanya, tetapi tidak banyak hanya sekitar Rp3.000 per rumah tangga. Lain halnya dengan hotel atau restoran, tentu dikenakan biaya yang lebih besar,” tuturnya.

Menurut dia, dengan dikeluarkannya Perda No.14/2016 itu, maka masyarakat Kota Medan nantinya akan mendapat jaminan atas pelestarian kesehatan lingkungan. Sebab, dari perda tersebut pemerintah wajib untuk melindungi warganya dari dampak bahaya lingkungan yang disebabkan akibat pencemaran air limbah domestik.

Sementara, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Medan, Arief S Trinugroho mengatakan, secara studi yang telah dilakukan hingga 70 persen limbah cair itu berasal dari rumah tangga. Jadi, jangan dianggap kecil limbah rumah tangga ini. Sebab, dari yang kecil ini dengan jumlah rumah tangga hingga ratusan ribu bahkan ribuan maka menyumbang sangat besar.”Pencemaran air limbah di sungai kawasan Medan ini hingga 70 persen justru bersumber dari rumah tangga. Jadi, sebetulnya ini yang perlu menjadi prioritas harus ditangani segera,” ungkap Arief.

Ia menuturkan, bagi rumah tangga yang sudah terlayani dengan perpipaan air limbah dan memiliki septic tank tentu tidak masalah. Namun, kalau belum ditangani hal ini yang menjadi masalah. Sebab, baru sebagian kecil saja wilayah yang terlayani oleh perpipaan air limbah. Artinya, air limbah dan air hujan sebagian besar masih bercampur di jaringan drainase baik tersier, sekunder maupun primer.

“Wilayah yang belum tertangani perpipaan air limbah perlu dicari solusi mengatasi limbah. Untuk itu, kita juga akan membangun sumur resapan di daerah-daerah yang visible dan tahun depan kita mengkaji lagi,” sebut dia.

Arief menyebutkan, pencemaran air sungai yang diakibatkan limbah cair di sisi lain diakibatkan juga dari industri. “Dari data yang kita awasi minimal 100 perusahaan per tahun, antara 20 hingga 30 perusahaan yang bermasalah mengenai pencemaran lingkungan dan kebanyakan terkait limbah cair atau limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya),” sebut Arief.

Banyak perusahaan bermasalah dengan limbah B3 dikarenakan masih belum paham dengan aturan-aturan bagaimana mengelola limbah tersebut. Memang menjadi kasus, tapi akhirnya bisa diselesaikan tanpa perlu sampai ke ranah hukum. “Sejauh ini belum ada perusahaan yang belum memiliki instansi pengolahan limbah (Ipal), apalagi yang besar-besar,” katanya.

Arief mengatakan, selama ini terlupa pada tahapan hulu dan hanya fokus di fase hilir saja seperti perizinan, pengawasan dan penegakan hukum lingkungannya. Dengan kata lain, di hulu masih agak lalai. Akan tetapi, dua tahun belakangan ini sudah mulai hingga tahun ke depan dan berikutnya.”Sebagai contoh, tahun ini kita sedang menyusun kajian untuk analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jadi, nanti hasilnya setiap kecamatan kita bisa tahu seperti apa,” ucapnya.

Selama ini, sambung dia, belum ada sesuatu hal ketika orang membangun, apakah daya dukungnya sangat memungkinkan atau tidak dengan lingkungan sekitar. Kemudian, hal-hal apa yang bisa dilakukan untuk memperbesar lagi, sehingga pada wilayah pusat kota misalnya Kelurahan Kesawan, Medan Barat, yang mungkin daya tampungnya sudah tak memadai lagi.

“Meski demikian, kondisi air di Medan masih baik atau normal. Hal ini bisa dibandingkan sendiri dengan kota lainnya seperti Jakarta. Namun, memang ada wilayah tertentu yang kondisinya banyak kawasan industri seperti di Belawan,” ujarnya. (ris/ila)

 

Exit mobile version