Site icon SumutPos

Rekomendasi Tutup Stanvas MSDC Hanya Ecek-ecek

Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS Anggota DPRD Sumut Komisi 1 melakukan sidak ke sekolah mengemudi MSDC di Jalan Bilal Medan, Senin (5/9). Sidak terkait keluhan masyarakat yang ingin mengurus SIM dan diberatkan dengan mahalnya harga pengurusan sertifikat.
Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Anggota DPRD Sumut Komisi 1 melakukan sidak ke sekolah mengemudi MSDC di Jalan Bilal Medan, Senin (5/9). Sidak terkait keluhan masyarakat yang ingin mengurus SIM dan diberatkan dengan mahalnya harga pengurusan sertifikat.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kinerja Komisi A DPRD Medan dalam sorotan. Pasalnya, rekomendasi stanvas operasional Biro Jasa Mengemudi Medan Safety Driving Centre (MSDC) sampai hari ini terkesan ‘ecek-ecek’. Bagaimana tidak, rekomendasi yang diputuskan Komisi A usai rapat dengar pendapat (RDP) beberapa waktu lalu, ternyata hanya bersifat lisan dan belum ditandatangani ketua DPRD.

Bahkan Koordinator Komisi A Iswanda Ramli, mengaku belum menerima salinan berita acara yang dijadikan rekomendasi terkait masalah tersebut. “Belum ada dikirim ke saya. Semalam (Rabu, Red) belum ada masuk dokumen soal itu,” katanya saat dihubungi Sumut Pos, Kamis (20/10).

Menurut dia, permohonan rekomendasi Stanvas MSDC memang berdasarkan hasil rapat dengar pendapat (RDP), dan sejumlah temuan kuat atas suatu persoalan. Namun ia akui sampai hari ini belum ada menerima berita acara apapun yang dituang dalam rekomendasi oleh Komisi A. “Nanti saya coba tanya Roby (Ketua Komisi A, Red) ya, apakah sudah ada mereka sampaikan kepada saya selaku koordinator. Karena biasanya ada tembusannya kepada saya,” katanya.

Roby Barus saat dikonfirmasi mengatakan pihaknya sudah menyerahkan rekomendasi Stanvas MSDC kepada Ketua DPRD Henry Jhon Hutagalung. “Tanggal 18 kemarin sudah diserahkan. Cuma memang kepada koordinator Komisi A belum kita berikan,” katanya dari seberang telepon.

Ia mengakui saat itu ketua dewan meminta pihaknya mendalami substansi rekomendasi sebelum resmi dikeluarkan. “Atas permintaan tersebut kita akan memperbarui isi rekomendasi sesuai data dan fakta yang ada. Disamping itu kita juga telah beri toleransi waktu kepada mereka (MSDC) untuk melengkapi berkas perizinan yang kita minta,” jelas politisi PDI Perjuangan itu.

Roby juga mengklaim pihak MSDC sudah menyerahkan berkas perizinan ke Komisi A. “Saya belum baca apakah sudah sampai berkasnya kita, karena saya juga masih diluar kota. Secara resmi rekomendasi stanvas operasional MSDC ini, memang belum terbit secara resmi karena ketua dewan belum meneken permohonan rekomendasinya,” katanya.

Komisi A berencana memperbarui rekomendasi tersebut setelah rapat internal pekan depan. “Kemarin mau kita bahas lagi, ternyata ada agenda paripurna. Senin kita akan rapatkan kembali sebelum membuat keputusan,” katanya.

Wakil Ketua Komisi A Andi Lumban Gaol juga mengakui, rekomendasi pada saat itu diberikan pihaknya kepada ketua dewan. “Itu yang beliau (ketua dewan, Red) sampaikan melalui memo supaya lebih didalami isi rekomendasinya. Terus kita lakukan lagi RDP yang terakhir bulan ini. Setelah itu mereka (MSDC) kita minta melengkapi berkas, tetapi belum dipenuhi. Dan kita akan memperbarui isi rekomendasinya lagi,” katanya.

Ia mengaku tidak mengetahui apakah rekomendasi tersebut perlu disampaikan juga kepada Koordinator Komisi A. “Kita tidak tahu apakah mekanisme harus ada salinannya ke koordinator. Sebab yang buat rekomendasi kan staf, harusnya staf tahu harus disampaikan ke mana,” ujarnya.

Menyikapi hal itu, pengamat politik Universitas Sumatera Utara Agus Suriadi mengatakan, kondisi seperti ini mengindikasikan kerja anggota dewan yang tergabung di Komisi A tidak serius. Ia mengungkapkan, seharusnya sebagai lembaga pengawas, DPRD mampu mengedepankan kepentingan masyarakat luas ketimbang kepentingan segelintir kelompok atau pribadi.”Kepentingan di DPRD itu pasti ada. Pasti ada tarik-menarik. Sebenarnya dalam konteks ini, DPRD dapat memutus mata rantai pungli dan memberi pelayanan terbaik,” katanya.

Menurutnya, dengan azas profesionalitas, keluhan warga Medan akan keberadaan MSDC wajib didukung legislatif. “Ini yang harus kemudian menjadi catatan kita. Yang namanya pelayanan bukan bisnis. Harusnya ditempatkan dalam organisasi Polri saja. Ini sepertinya melindungi kepentingan oknum-oknum didalamnya. Walaupun dewan merupakan lembaga politik,” kata dosen Fisipol USU ini.

Kata dia, rekomendasi memang tidak harus eksekusi, karena tidak punya kekuatan hukum. Namun kemudian rekomendasi tersebut menjadi catatan dan masukan bagi instansi terkait guna menindaklanjuti.

Ia menilai, dalam hal ini komisi A tentu memiliki latar belakang kenapa membuat rekomendasi. Sementara di satu sisi, masyarakat sudah melihat bahwa MSDC merupakan lembaga bisnis yang diciptakan Polri melalui Dirlantas/Satlantas, mengatasnamakan pelayanan publik. “Ada bisnis dibawah bayang-bayang institusi. Anak kandung politik itu adalah bisnis,” ujarnya.

Jadi, kata Agus, hal ini tergantung dari niat para legislator. Artinya dari data, fakta, temuan dan beragam informasi yang diperoleh, MSDC disinyalir ladang empuk praktek pungli di Kota Medan. “Itu bagian dari kerjaan Dirlantas. Orang sudah melihat itu. Ini zamannya sudah jitu loh, segala informasi dan menyangkut regulasi masyarakat sudah tahu. Apalagi disinyalir kalau soal pungli paling banyak terjadi di Dirlantas. Seperti yang saya katakan tadi, ini tergantung niat dewannya. Sebab pasti ada interest grup di sana. Kalau untuk kepentingan masyarakat luas, dewan harus bisa memilah kepentingan dimaksud,” katanya. (prn/ila)

Exit mobile version