Site icon SumutPos

Cari Bukti Kreator Penganiayaan Ulama

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin (tengah), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius (kedua kiri) dan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Ari Dono Sukamto (kedua kanan) menghadiri rapat pleno ke-25 Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (21/2). Rapat tersebut mengangkat tema penanggulangan tindak kekerasan terhadap ulama dan perusakan rumah ibadah. FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

JAKARTA, SUMUTPOS.CO — Kredibilitas Polri tengah diuji dalam menuntaskan kasus berbau konspirasi. Polri memastikan menerjunkan tiga jenderal menuntaskan fenomena penganiayaan ulama dan pengrusakan simbol agama. Ketiga jenderal tersebut di-deadline untuk bisa membongkar seterang-terangnya tabir 21 peristiwa penganiayaan dan pengrusakan tersebut.

Adakah konspirasi dalam rentetan kejadian yang mengancam ulama atau justru peristiwa ini terjadi natural, tanpa kaitan. Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto menjelaskan, tiga jenderal ini ditugaskan untuk tiga provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat dan Jogjakarta. ”Ada jenderal bintang dua dan satu,” tuturnya dalam pertemuan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemarin.

Ketiganya akan meneliti 21 peristiwa penganiayaan dan pengrusakan di ketiga provinsi. Apakah peristiwa-peristiwa itu saling kait-mengkait atau tidak. ”Kita akan lihat peristiwa ini sebenarnya apa,” tegas mantan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) tersebut menanggapi pertanyaan salah seorang anggota MUI.

Pakar bidang kejiwaan atau psikolog juga harus dilibatkan untuk bisa membantu kepolisian. Nantinya, pakar inilah yang akan menjelaskan duduk perkaranya. ”Kami sudah diinstruksi bahwa yang jelaskan pakar soal penyakitnya, kalau polisi malah nanti salah lagi,” terangnya.

Menurutnya, langkah tersebut diambil karena instruksi Presiden Jokowi. Serta, karena Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang memiliki perhatian yang besar dalam peristiwa-peristiwa tersebut. ”Polri dalam hal ini benar-benar ingin menciptakan keamanan,” terang jenderal berbintang tiga tersebut.

Bahkan, tidak hanya pengusutan peristiwa penganiayaan, namun langkah pencegahan berlanjutnya penganiayaan dan pengrusakan dirancang. Yakni, setiap Polda harus merapat dan melindungi ulama. ”Datangi dan lindungi agar tidak terulang. Saya sempat melihat ada mobil polisi di sebuah masjid tadi. Saya yakin ini sedang koordinasi mengamankan ulama,” papar Kasatgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tersebut.

Pendataan terhadap orang dengan sakit kejiwaan itu juga ditempuh. Nantinya, di setiap rumah sakit jiwa akan didatangi kepolisian untuk mencari data pasien yang pulang. ”Kami akan telusuri satu per satu pasien, ini sudah pulang atau belum ke rumah. Atau, malah dipakai dan ada yang mengajari sesuatu,” ungkapnya.

Kerjasama dengan pemerintah daerah (Pemda), khususnya Satpol PP urgen dilakukan. Utamanya untuk melakukan razia terhadap orang dengan gangguan mental di daerah-daerah. ”Saya sebenarnya juga punya pengalaman semacam itu, saat menjadi Wakapolda Sulteng, mendadak banyak orang gila di sana. Ya kami amankan dan bawa ke rumah sakit. Mengapa bisa, ya alami saja,” paparnya.

Tidak ada Penjagaan Khusus: Para santri usai menjalankan ibadah salat asar di masjid Roudlatul Muminin, di Pondok pesantren Al-Fathaniyah, Kelurahan Tembong, Cipocokjaya, Kota Serang, Rabu (21/2). Aktivitas pondok pesantren salafi tersebut berjalan normal seperti biasanya dan tidak ada pengamanan khusus terkait isu penyerangan kepada ulama. (Qodrat/Radar Banten)

Ari mencoba memberikan pemahaman bahwa dari 21 peristiwa itu sebenarnya hanya dua kejadian yang bersentuhan langsung dengan kyai atau ulama. Sisanya, tidak menyasar ulama, hanya pengrusakan dan sebagainya. ”Untuk provinsi terbanyak ini Jawa Barat dengan 13 peristiwa,” jelasnya.

Untuk kasus yang di Jogjakarta, dia menuturkan bahwa sangat memahami apa yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Peristiwa itu merupakan kejadian terorisme. Yang memerlukan tindakan tegas dari aparat. ”Tindakan tegas ini perlu karena sering kali ancamannya besar. Seperti di Sulteng beberapa tahun lalu, mendadak tiga polisi ditembak orang. Dua polisi meninggal dan satu luka,” ujarnya.

Sementara Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius mengatakan, berulang kali sudah mengingatkan untuk penanganan kasus teror lebih manusiawi. Namun, kondisi kadang tidak memungkinkan, seperti di Tuban; enam teroris membawa senjata. ”Kalau begitu ya harus tegas dari pada ditembak duluan,” ujarnya.

Terpisah, Presiden Joko Widodo menyayangkan berulangnya kasus penyerangan terhadap para pemuka agama. Untuk itu, mantan Walikota Solo itu meminta pihak kepolisian untuk ikut melindungi pemuka agama, terutama para ulama yang belakangan massif menjadi objek. “Tanggung jawab Polri untuk menjaga semuanya. Semuanya harus dijaga, jangan sampai ada kejadian yang terus menerus,” ujarnya usai menghadiri Rapat Kerja Nasional Majelis Dzikir Hubbul Wathan di Komplek Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta, kemarin (21/2).

Selain itu, presiden juga menginstruksikan Polri untuk mengusut fenomena tersebut. Apakah rentetan kasu tersebut sebagai kriminalitas biasa atau justru ada pihak yang sengaja mendesain.

Hingga kemarin, orang nomor satu di Indonesia itu belum menerima laporan atas hasil penyelidikan yang dilakukan Polri. Namun dia menegaskan agar aparat bisa menuntaskan dan menindak tegas. “Saya sampaikan, Polri harus tegas untuk urusan-urusan seperti ini,” imbuhnya.

Kasus kekerasan yang dialami sejumlah tokoh agama menjadi perhatian Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). Ketua Umum ICMI Jimly Asshidiqie mengatakan informasi yang beredar sudah terjadi 21 kasus penganiayaan kepada tokoh agama serta perusakan tempat ibadah. ’’Saya rasa kalau sudah 21 kasus itu serius,’’ katanya di kantor ICMI Jakarta Pusat kemarin (21/2).

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Periode 2003-2008 itu menuturkan dalam catatan sejarah Indonesia, kasus serangan secara seporadis seperti ini belum pernah terjadi. Dia mengatakan aparat kepolisian harus bertindak professional dalam menangani kasus ini.

Jimly berharap penanganan kasus ini tidak terganggu dengan dugaan bahwa pelakunya adalah orang gila. ’’Yang penting diporses dulu. Gila atau tidak biar nanti diputuskan di pengadilan,’’ tuturnya. Dia menuturkan polisi juga harus professional terlepas korbannya adalah tokoh Islam, Kristen, Hindu, atau agama lainnya.

Dia juga mengomentari polisi belum perlu menjaga satu per satu tempat ibadah atau pesantren. Meskipun begitu upaya pencegahan tetap perlu dilakukan. Dia tidak ingin konsentrasi polisi terfokus pada pengamanan pesantren, malah jadi kelemahan di sektor lainnya.

Sementara itu psikiater RS Jiw dr Soeharto Herrdjan Jakarta dr Agung Frijanto SpKJ menjelaskan, penetapan gangguan jiwa seseorang tidak boleh dilakukan sembarangan. Baik oleh masyarakat awam atau penegak hukum. ”Harus dilakukan pemeriksaan kesehatan jiwa yang dilakukan oleh psikiater atau dokter kesehatan jiwa,” ujarnya kemarin saat dihubungi Jawa Pos.

Dia mengatakan, jika gangguan jiwa, terutama yang tergolong berat, dapat melakukan tindakan kekerasan. Apalagi mereka yang mempunyai gejala psikotik yang tingkat delusi dan halusinasinya tinggi sehingga mengganggu realitasnya. ”Atau bisa juga akibat gangguan suasana perasaan yg menyebabkan impulsivitas, agitasi dan agresivitas,” tuturnya. Gejala tersebut tidak bisa dideteksi secara mandiri oleh awam.

Agung menyarankan agar ditemukan orang yang dianggap gangguan jiwa dan membahayakan, dilaporkan kepada pihak berwajib. ”Masyarakat juga bisa membawa ke dokter umum. Dokter umum mempunyai kompetensi untuk mendiagnosa,” ungkapnya. Namun jika kesulitan, dia menyarankan agar membawa orang yang diduga gangguan jiwa ke rumah sakit yang memiliki layanan kesehatan jiwa.

Dia tidak menyetujui jika masyarakat main hakim ketika melihat orang gangguan jiwa. Sebab belum tentu apa yang dilakukannya dibawah kendali pelaku.  ”Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan bagi orang dengan gangguan jiwa agar tidak salah perlakuan terhadap mereka,” katanya. (idr/wan/lyn/far/jpg)

Exit mobile version