Site icon SumutPos

Berawal dari Pertemuan Janda dan Duda

Mengunjungi Ikon Kuliner Kota Medan (1)

Seperti kota lainnya, Kota Medan sebagai kota terbesar keempat di Indonesia juga memiliki ikon. Baik bangunan bersejarah, lokasi wisata, hingga kulinernya yang sudah tidak diragukan lagi.

INDRA JULI, Medan

Siapa yang tak kenal dengan rujak. Makanan tradisional yang dibuat dari buah-buahan seperti jambu air, jambu batu, nanas, mentimun, bengkuang, belimbing, dan kedondong. Sebagai pelengkap dibuat lah bumbu khas dari gula merah, kacang goreng, sambal belacan.

Nah, di Kota Medan, pusat kuliner untuk rujak ini salah satunya bisa ditemui di pertigaan Pasar VII Tembung dan Jalan Letda Sujono yang juga dikenal dengan Simpang Jodoh. Terletak di sisi kiri dimana terdapat gudang eks perkebunan PTPN IX yang kini menjadi PTPN II. Di situ kita akan melihat deretan lapak sepanjang 500 meter yang diisi oleh pedagang rujak. Ada yang menggunakan meja dari papan dan beberapa masih menggunakan gerobak sorong.

Pantauan Sumut Pos, mulai pukul 15.00 WIB, pedagang sudah menggelar dagangannya. Sejak itu pula pembeli seolah tak henti silih berganti membeli rujak yang terkenal karena rasa dan porsinya itu. “Memang saya baru kedua kali beli di sini. Jelas rasanya memang lebih kenak dan porsinya cukup banyaklah,” ucap Simorangkir (52), warga Mabar yang singgah untuk membeli rujak di Pasar Jodoh itu.

Ucapan Simorangkir pun dibenarkan Erna (19) yang merupakan pelanggan salah seorang pedagang rujak Simpang Jodoh. Bagi warga Pasar VII Tembung ini, rujak bahkan menjadi menu penutup makan siang dan makan malamnya. Dirinya bahkan mengaku tidak khawatir membeli rujak di Simpang Jodoh meskipun berada di jalan yang ramai dilalui kendaraan.

“Mereka (para pedagang rujak, Red) juga pastilah menjaga konsumennya. Kita pembeli juga bisa melihat langsung prosesnya, dan kerja mereka bersih, kok. Semua buahnya dicuci bersih terlebih dahulu. Jadi gak perlu khawatirlah,” ketus wanita berambut panjang ini.

Seperti yang disampaikan Erna, rujak Simpang Jodoh memiliki rasa yang khas yaitu pada bumbu yang terasa kelat di lidah. Sensasi itu sendiri ditimbulkan dari buah pisang batu yang ditumbuk bersamaan dengan bumbu-bumbu yang digunakan. Resep yang digunakan para pedagang rujak yang dulunya didominasi masyarakat Melayu itu.

Ya, selain terkenal dengan rasa dan porsinya yang cukup besar dimana satu porsi dapat dinikmati untuk dua orang. Semua itu memiliki sejarah yang juga berhubungan dengan sebutan Simpang Jodoh tadi. Menurut salah seorang pedagang, Nurliati (54), yang mendengar cerita dari buyut suaminya yaitu seorang petugas pos di PTPN IX sebelum beralih ke PTPN II, aktivitas pedagang rujak sudah dimulai 1950-an. “Saat itu lokasi ini gelap karena tidak ada penerangan. Jadi tempat ini menjadi pertemuan janda dan duda yang tinggal di daerah perkebunan,” kenangnya.
Karena tidak adanya penerangan tadi, para pedagang rujak yang menggunakan gerobak sorong hanya menggunakan penerangan dari lampu sentir (lampu yang dibuat dengan botol berisi minyak tanah ditaruh sumbu). Suasana temaram ini pun ditambah beberapa kursi yang disediakan pedagang seolah mendukung pertemuan dari pasangan tadi yang tak jarang berujung pada pernikahan. Kegiatan ini pun berlanjut hingga 1980-an meskipun pelakunya bukan janda dan duda lagi, tapi gadis dan lajang.

Kisah sejarah ini bahkan mendapat perhatian Gubernur Sumut di era 1970-an yang menyumbangkan uang sebesar Rp500.000,- untuk ke-24 pedagang rujak Simpang Jodoh. Namun kini keindahan cerita tadi sedikit terusik. Ketidakjelasan perkebunan di sekitarnya sedikit banyak mempengaruhi jumlah pengunjung. Begitu pula beberapa kios yang berdiri di depannya membuat lalu-lintas menjadi terlihat sempit.

“Kalau malam minggu dan minggu malam ramainya. Sampai jalan di sini pun susah sikit padatnya kendaraan. Kalau hari-hari biasa, ya tidak terlalu ramai lagi. Apalagi perkebunannya sudah mau tutup. Dulu kan di depan ini gudang tembakau jadi ramai karyawan yang beli,” ucap salah seorang pedagang yang enggan menyebut namanya.
Rujak Simpang Jodoh sendiri menawarkan dua kategori, yaitu Rujak Ulek dan Rujak Bebek (tumbuk, bahasa Jawa). Untuk satu porsi dipasang tarif Rp9.000,-. Dengan harga tadi, para pedagang pun dapat menghasilkan Rp700.000,- di hari biasa dan Rp900.000,- pada Sabtu malam dan Minggu malam.

Satu lagi pusat jajanan rujak yang tak kalah terkenal, yaitu Rujak Kolam. Terletak sedikit di tengah Kota tepatnya di seputaran kolam di depan Masjid Raya. Seperti Simpang Jodoh, Rujak Kolam juga sudah dimulai sejak 1950-an dengan enam kios yang berjejer di sekitar kolam yang diyakini pemandian keluarga Kesultanan Deli. Ketika itu para pedagang ini juga masih menggunakan gerobak sorong.

Salah satunya Erna (49), pemilik Rujak Takana Juo yang terletak di simpang Jalan Mahkamah Medan. Melanjutkan usaha sang abang, Erna mengaku mendapat penghasilan rata-rata Rp800.000,- per harinya. Satu porsi rujak sendiri ditawarkan seharga Rp10.000,-.

Namun keberadaan salah satu ikon kuliner Kota Medan ini sampai sekarang seolah terabaikan. Dengan alasan penataan kota, mereka kerap menjadi target penggusuran. Seperti yang dialami pedagang Rujak Simpang Jodoh, Februari lalu. Begitu juga dengan Rujak Kolam semasa pemerintahan Drs Abdillah AK sebagai Walikota Medan. Bukankah sudah kewajiban pemerintah untuk menjaga sejarah yang pernah ada di daerah tersebut? (*)

Exit mobile version