Site icon SumutPos

20,3 Persen Anak Sekolah Merokok

Merokok-Ilustrasi
Merokok-Ilustrasi

JAKARTRA, SUMUTPOS.CO – Komite III DPD RI menilai wacana pemerintah untuk menaikkan harga rokok Rp50 ribu per bungkus menjadi hal yang patut direalisasikan. Namun, selain menaikkan harga rokok, pemerintah juga diminta lebih tegas dalam mengatur tata niaga rokok yang dinilai semrawut.

Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Fahmi Idris menilai, dengan tata niaga rokok saat ini, siapapun dan kapapun orang bisa membeli rokok. Untuk itu, pemerintah diminta menindak tegas berbagai pelanggaran terkait rokok terutama kepada para penjual yang masih seenaknya menjual rokok kepada anak-anak.

”Di negara ini, rokok ada di mana-mana. Mulai dari lampu merah, warung hingga supermarket. Bisa dibeli dan dikonsumsi siapa saja, termasuk anak SD sekalipun,” kata Fahira di Jakarta, kemarin (21/8). Menurut Fahira, jika pemerintah membiarkan peredaran rokok tidak terkendali seperti saat ini, artinya bangsa ini sudah melanggar undang-undang perlindungan anak. Aturan UU Perlindungan Anak mewajibkan pemerintah menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

”Jadi menaikkan harga rokok saja tidak cukup, pemerintah harus menindak tegas para penjual rokok kepada anak,” ujar Fahira.

Fahira mengungkapkan, berdasarkan berbagai suvei, jumlah anak-anak yang mengosumsi rokok di Indonesia sudah masuk tahap yang mengkhawatirkan. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, perokok pemula (usia 10-14 tahun) naik dua kali lipat lebih dalam 10 tahun terakhir.

Jika pada 2001 hanya 5,9 persen, pada 2010 naik menjadi 17,5 persen. Pada 2013, Riskesdas menemukan fakta konsumsi rokok pada kelompok usia 10-14 tahun mencapai sekitar delapan batang per hari atau 240 batang sebulan. Artinya, anak-anak kita sudah menghabiskan Rp120 ribu hanya untuk membeli rokok.

Tidak heran, jika Global Youth Tobbaco Survei, pada 2014, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok anak terbesar. Di mana 20,3 persen anak sekolah usia 13-15 tahun sudah merokok. Hasil riset ini juga tidak jauh berbeda dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 yang menyatakan, penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang mengonsumsi rokok sebesar 22,57 persen di perkotaan, dan 25,05 persen di pedesaan. Jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan.

”Mulai 2020 sampai 2030, kita dilimpahi bonus demografi, Indonesia akan diisi lebih banyak penduduk usia produktif. Tetapi jika kondisi ini dibiarkan, negeri ini akan diisi oleh orang-orang berpenyakit kronis,” tukas Senator Jakarta ini mengingatkan.

Menurut Fahira, berbagai regulasi terkait rokok mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Kepala Daerah belum maksimal dijalankan. Fahira mencontohkan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan sudah tegas melarang setiap orang menyuruh anak di bawah usia 18 tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi rokok.

”Fakta yang terjadi di lapangan, larangan ini dilanggar dan sama sekali tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Berbagai peraturan daerah yang melarang merokok di fasilitas umum juga banyak dilanggar karena tidak ada penindakan hukum yang menjerakan,” tandasnya.

Anggota Komisi IX DPR Saleh Daulay mengapresiasi adanya wacana menaikkan harga rokok. Menurutnya, ada political will dari pemerintah untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.

Kenaikan harga rokok itu diharapkan menjadi momentum bagi para perokok untuk berhenti. Minimal mengurangi konsumsi rokok.

“Secara pribadi, saya setuju dengan kebijakan menaikkan harga rokok. Harapannya, masyarakat bisa memaknai kebijakan secara positif,” kata Saleh.

Namun demikian, politikus PAN ini meminta pemerintah melakukan kajian yang serius terhadap dampak sosial dan ekonomi akibat kenaikan tersebut. Jangan sampai, kenaikan harga rokok hanya menguntungkan pengusaha. Pemerintah harus memikirkan agar para petani tembakau juga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

“Jangan sampai kenaikan harga rokok hanya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dari cukai. Kalau itu tujuannya, berarti itu sifatnya sangat temporal dan sektoral. Harus dibangun argumen logis bahwa kenaikan itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya rokok bagi kesehatan,” tutur Saleh.

Komisi IX, imbuhnya, belum membicarakan wacana ini secara khusus karena baru saja digulirkan. Sedangkan masa persidangan baru dibuka empat hari yang lalu. “Kalau informal antar sesama anggota sih sudah dibicarakan. Tetapi pembicaraan dalam rapat formal belum ada sama sekali. Yang jelas, ada banyak anggota yang tidak keberatan dengan kenaikan harga rokok tersebut,” ungkap politikus asal Sumut ini.

Rakyat Kalbar/JPNN
Harga Rokok-Ilustrasi

Ketua DPR RI, Ade Komarudin juga setuju dengan wacana kenaikan harga rokok sampai Rp50.000 per bungkus. Sebab menurut Ade, harga rokok mahal dapat mengurangi konsumsi rokok.

“Saya setuju harga rokok naik sebagai salah satu upaya mengurangi konsumsi rokok,” kata Ade.

Manfaat lainnya, ujar Akom -sapaan Ade Komarudin, pendapatan negara akan bertambah dari cukai rokok.

“Hitung-hitung, untuk tambahan APBN,” tegasnya.

Selain menambah APBN, Akom juga menghubungkannya dengan efisiensi penggunaan dana BPJS Kesehatan yang bersumber dari Negara. “Kalau konsumsi rokok oleh masyarakat berkurang, asumsinya akan semakin berkurang orang sakit yang disebabkan oleh nikotin yag ada pada tembakau. Kalau yang sakit berkurang, tentu penggunaan dana BPJS Kesehatan berkurang juga,” imbuh politikus Partai Golkar itu.

Wacana kenaikan harga rokok turut disambut baik Komnas Pengendalian Tembakau. Dukungan diberikan karena kenaikan harga ini dinilai dapat menjembatani masyarakat miskin agar lebih sejahtera.

Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau Tulus Abadi menjelaskan, kenaikan harga ini pasti turut dibarengi dengan penurunan tingkat konsumsi rokok di rumah tangga miskin. Pemikiran ini sangat mungkin, karena hampir 70 persen konsumsi rokok justru menjerat rumah tangga miskin.

“Data BPS setiap tahunnya menujukkan bahwa pemicu kemiskinan di rumah tangga miskin adalah beras dan rokok. Dengan harga rokok mahal, keterjangkaun mereka terhadap rokok tentu akan turun,” ujar Tulus.

Dengan penurunan konsumsi rokok ini, lanjut dia, maka ada efek positif terhadap kesejahteraan dan kesehatan mereka. Budget untuk membeli rokok langsung bisa dikonversi untuk membeli bahan pangan.

Keuntungan jelas bukan hanya buat masyarakat. Menurutnya, negara juga akan mendapat benefit. Dengan harga rokok mahal, maka pendapatan cukai bisa meningkat 100 persen. Menurutnya, pemerintah tidak perlu menghawatirkan soal isu perusahaan bangkrut dan adanaya PHK. Sebab, itu tidak akan terjadi.

”Harga naik tidak membuat mereka bangkrut. Adanya PHK buruh pun bukan lantaran itu, tapi pihak perusahaan mengganti tenaga buruh dengan mesin,” tutur pria yang juga Ketua YLKI itu.

Kenaikan inipun didorong untuk segera direalisasikan. Dia mengatakan, sudah seharusnya rokok dijual mahal sebagai instrumen pembatasan, pengendalian serta proteksi terhadap rumah tangga miskin. Apalagi cukai dan harga rokok di Indonesia saat ini tergolong paling rendah di dunia. Di beberapa negata maju, harga rokok sudah di bandrol lebih dari Rp 100 ribu. Sayangnya di Indonesia masih di angka Rp 12 ribu. Murahnya harga rokok ini yang akhirnya membuat warga hingga anak-anak dengan mudah mendapatkannya untuk dikonsumsi.

Head of Regulatory Affairs, International Trade and Communications PT HM Sampoerna Tbk (Sampoerna) Elvira Lianita, kenaikan harga drastis maupun kenaikan cukai secara eksesif bukan merupakan langkah bijaksana. Karena, setiap kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok, perlu mempertimbangkan banyak aspek yang cukup komprehensif.

“Aspek tersebut terdiri dari seluruh mata rantai industri tembakau nasional (petani, pekerja, pabrikan, pedagang dan konsumen), sekaligus juga harus mempertimbangkan kondisi industri dan daya beli masyarakat saat ini,” kata Elvira melalui rilis kepada media di Jakarta, Minggu (21/8).

Elvira bilang, kebijakan cukai yang terlalu tinggi bakal mendorong harga rokok menjadi mahal, sehingga tidak sesuai dengan daya beli masyarakat. Jika harga rokok mahal, lanjutnya, maka kesempatan ini akan digunakan oleh produk rokok ilegal yang dijual dengan harga sangat murah. Ini bisa terjadi, lantaran industri rokok ilegal tersebut tidak membayar cukai.

Untuk diketahui, catatan pentingnya adalah dengan tingkat cukai saat ini, perdagangan rokok Ilegal mencapai 11,7 persen. Akibatnya, kerugian negara ditaksir mencapai Rp9 triliun (berdasarkan studi dari beberapa Universitas nasional).

“Hal ini tentu kontraproduktif dengan upaya pengendalian konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja,” ungkapnya.

Terkait dengan harga rokok di Indonesia yang dibandingkan dengan negara-negara lain, maka perlu dilakukan kajian yang menghitung daya beli masyarakat di masing-masing negara.

Jika kita membandingkan harga rokok dengan pendapatan domestik bruto (PDB) perkapita di beberapa negara, maka harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. (jpg/adz)

Exit mobile version