Site icon SumutPos

PP 78 Rugikan Buruh, Kecam Menaker dan Ancam Gugat ke PTUN

Ilustrasi UMP

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penolakan terhadap penetapan kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen terus disuarakan elemen buruh. Bahkan untuk menolak kebijakan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) ini, para buruh bakal melakukan aksi turun kejalan dan siap melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia melalui Sekretaris Wilayah I Sumatera DPP (K), Arsula Gultom SH menegaskan, mereka tetap menolak tegas kenaikan UMP 8,03 persen. Menurutnya, penetapan itu membangkitkan kembali rezim upah murah yang mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015.

“Kita minta, agar PP Nomor 78 Tahun 2015 segera dicabut, karena dalam peraturan itu, Tripartit penentuan upah hilang. Penetapan itu juga untuk membangkitkan kembali rezim upah murah. Kalau pemerintah tetap berkeras menetapkan UMP 8,03 persen, kita akan melakukan gugatan ke PTUN,” tegas Arsula kepada wartawan, Minggu (21/10).

Dijelaskan aktivis buruh ini, pihaknya masih menagih janji Presiden Jokowi pada kampanyenya 2014 silam, kesejahteraan terhadap buruh yang dijanjikan belum direalisasikan. Karena, kebijakan Menaker telah merugikan buruh secara nasional dan di setiap daerah.

“Secara umum memang naik, tapi kenaikan itu keliru dan merugikan buruhn
Artinya, buruh tetap saja tidak sejahtera. Secara hukum PP 78/2015 telah melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” beber Arsula.

Dijabarkan Arsula, permsalahan kenaikan UMP pada tahun lalu, telah diputuskan MA nomor 120 K/TUN/2018 tentang ditolaknya kasasi putusan kasasi Mahkama Agung RI atas Gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terhadap Gubernur Sumatera Utara tentang upah minimum berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015.

Dengan demikian, gubernur se-Indonesia tidak serta merta menerima keputusan Menaker untuk mengumumkan kenaikan UMP berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015. Karena, UMP 8,03 persen tidak masuk dalam tahapan survei pasar mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Artinya, kata Arsula, pengupahan bukan berdasarkan inflansi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional, karena kenaikan UMP untuk 2019 sangat rendah dibandingkan kenaikan UMP pada 2015 ke 2016. Kenaikan UMP dari 2015 ke 2016 yang menggunakan formula perhitungan pertama kali rata-rata sebesar 11,5 persen di berbagai wilayah Indonesia.

Kemudian di 2017, Menaker kembali menaikan UMP sebesar 8,25 persen, kenaikan itu didapat dengan asumsi inflasi 3,07 peren dan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,18 persen. Selanjutnya kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71 persen dihitung berdasarkan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional (pertumbuhan PDP) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

Rinciannya, inflasi nasional sebesar 3,72 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,98 persen.

Sehingga pada 2019, Menaker hanya menaikkan UMP sebesar 8,03 persen, kenaikan dihitung dari inflasi nasional 2,88 persen ditambah pertumbuhan PDB sebesar 5,15 persen. “Perincian ini yang kita tolak, karena mengacu pada inflasi nasional, harusnya mengacu pada inflasi daerah. Kita lihat sekarang, inflasi nasional turun. Dampaknya, kenaikan upah rendah. Kita tetap ingin kenaikan upah mengacu pada Undang-undang 13 tahun 2003,” jelas Arsula.

Apabila pemerintah mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, ungkap Arsula, buruh akan memperoleh kenaikan UMP berkisar 15 hingga 20 persen. “Kita juga mengecam Menaker yang telah mengeluarkan surat edaran kepada kepala daerah, agar mengumumkan UMP itu. Apalagi Menaker telah mengintervensi kepala daerah dengan sanksi pemberhentian.

Ini sudah salah, tidak ada kaitan penetapan upah minimum dengan pencopotan kepada daerah. Kami menilai surat edaran Menaker sangat provokatif dalam tahun politik ini, dengan memancing suasana memanasnya suhu politik menjelang Pilpres dan Pileg sehingga menimbulkan tidak kondusif di kalangan buruh di seluruh Indonesia,” tegas Arsula.

Ditegaskannya, sebagai bentuk penolakan kebijakan dari kenaikan UMP yang akan diumumkan pada 1 November 2018, seluruh elemen buruh se Indonesia akan melakukan penolakan besar-besaran dengan melakukan demo turun ke jalan. “Kalau itu tetap diberlakukan, kami akan lakukan gugatan ke PTUN dan melakukan orasi ke jalan, kebijakan itu telah mensengsarakan nasib buruh,” cetus Arsula.

GSBI Sumut Siap Terlibat

Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sumatera Utara juga akan menggelar aksi turun ke jalan untuk menolak kenaikan UMP 8,03 persen. Aksi tersebut rencananya digelar Senin (29/10), kdi kantor Gubernur Sumatera Utara di Jalan Diponegoro, Medan. Hal itu disampaikan Ketua FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo ketika diwawancarai Sumut Pos, Minggu (21/10).

“ Kita menolak tegas. Untuk itu kita akan melakukan aksi unjuk rasa, mulai 29 Oktober 2018 ini, “ ungkap Willy.

Lebih Lanjut, Willy menyebut, aksi itu akan diikuti FSPMI dari beberapa Kabupaten/Kota di Sumut. Dikatakannya, kemungkinan yang akan bergabung dalam aksi adalah FSPMI Medan, Deliserdang dan Serdang Bedagai. Diakui Willy, aksi yang akan mereka gelar adalah aksi damai.

Sebelumnya, Willy menilai, PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mengakibatkan kembalinya rezim upah murah.

Dengan adanya PP 78 Tahun 2015 itu, disebut Willy hak berunding serikat buruh untuk menentukan upah minimum hilang. Oleh karena itu dikatakannya KSPI-FSPMI dan buruh Indonesia mendesak agar PP 78/2015 segera dicabut.

Untuk itu, pihaknya meminta kepada Gubernur Sumatera Utara, wali kota dan bupati untuk tidak memakai PP 78 Tahun 2015 dalam menetapkan kenaikan upah minimum Tahun 2019.

Ditegaskan Willy, penetapan upah minimum berdasarkan atas rekomendasi Bupati dan Dewan Pengupahan, didahului dengan survey pasar mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL). “Bukan berdasarkan inflansi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional, seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri yang menyebut besar kenaikan upah minimum 2019 adalah sebesar 8,03 persen, “ sambungnya.

Disinggung besaran kenaikan upah yang diinginkan, Willy mengatakan 20 sampai 25 persen. Selain itu, disebut Willy, upah minimum sektoral yang sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 harus tetap diberlakukan. “UMP Sumut kita minta Naik Menjadi sebesar 2,8 Juta, UMK Medan dan Deli Serdang 3,5 juta. Bila pemerintah tidak mendengarkan aspirasi kaum buruh, maka kami kaum buruh di Sumut akan mempersiapkan aksi unjuk rasa besar besaran untuk memperjuangkan kenaikan upah minimum tanpa menggunakan PP 78 Tahun 2015, “ ucapnya tegas.

Menurutnya, kenaikan 8,03 persen akan membuat daya beli kaum buruh semakin menurun akibat kenaikan upah minimum yang rendah. Terlebih scara bersamaan, di tengah melemahnya rupiah terhadap dollar dan meningkatnya harga minyak dunia, berpotensi mengakibatkan harga-harga barang kebutuhan dan BBM jenis premium akan naik seperti pertamax yang sudah mengalami kenaikan.

“Dengan demikian, kenaikan upah yang hanya 8,03 persen tidak akan memberi manfaat bagi kaum buruh dan rakyat kecil di tengah kenaikan harga-harga barang tadi, yang oleh doctor Rizal Ramli diperkirakan akan terjadi pada bulan Desember 2018. Padahal upah minimum mulai berlaku Januari 2019, “ tandasnya.

Hal senada dikatakan Ketua Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Sumut, Eben. Menurut Eben pihaknya juga akan melakukan aksi protes kenaikan UPM 8,03 persen. Dia menilai, PP 78 bukan regulasi yang bisa menjamin upah buruh bisa lebih baik. Bahkan, dikatakannya dapat disebut PP 78 menjadi regulasi pengupahan di bawah regulasi sebelumnya.

“Kita akan berupaya meyakinkan Gubernur dan Dewan Pengupahan, untuk tidak menerapkan 8,03 persen itu di Sumut. Kalau tetap diterapkan, kita situasional. Kalau memang gerakannya bangkit untuk menolak itu, maka kita akan terlibat, “ ucap Eben.

Kajian Lebih Bijaksana
Menyikapi kenaikan UMP 2019 ini, DPRD Sumut meminta pemerintah benar-benar mengkaji serius sebelum menetapkan batasan minimum upah yang harus diberikan kepada buruh. Hal ini agar antara pekerja dan pengusaha, dapat saling menerima ketentuan tersebut.

Anggota DPRD Sumut Fraksi PDI Perjuangan, Baskami Ginting menyebutkan, UMP 2019 yang ditetapkan pemerintah pusat naik sebesar 8,03 persen dari tahun sebelumnya, memang tergolong kecil. Mengingat kenaikan sekitar Rp171 ribu itu, menambah besaran dari Rp2,1juta lebih menjadi Rp2,3 juta lebih yang diterima buruh setiap bulannya. “Ya memang itu terlalu kecil kalau kita lihat kondisi ekonomi sekarang ini. Tetapi tidak bisa juga begitu saja dinaikkan tanpa ada pembahasan. Karena kalau terlalu tinggi, merugikan pengusaha, ya susah juga,” ujar Baskami, Minggu (21/10).

Karena itu, dia juga akan melakukan pembahasan di internal fraksi terkait masukan dari berbagai pihak baik buruh/serikat buruh maupun pengusaha/perusahaan yang sama-sama punya kepentingan berbeda. Meskipun diakuinya, dalam pembahasan, legislatif seringkali tidak dilibatkan aktif. Namun menurut mereka, dipandang perlu untuk mendapatkan gambaran semua pihak, elemen dan sektor yang berkaitan.

“Yang penting kita bisa kasi masukan nanti sebelum UMP itu ditetapkan. Makanya kita mau lihat bagaimana antara kepentingan buruh dan pengusaha. Kalau pribadi saya kira Rp2,5 juta untuk upah sekarang ini sudah sesuai. Tetapi kalau lembaga, kita cari tahu dulu,” sebutnya.

Senada disampaikan Anggota DPRD Sumut Fraksi Partai Gerindra Richard Sidabutar. Menurutnya antara kebutuhan buruh untuk mendapatkan hidup layak dengan upah yang cukup, selalu bertolak belakang dengan kepentingannya pengusaha yang tentunya menginginkan kewajiban membayar gaji serendah-rendahnya. Karenanya pemerintah diharapkan punya kebijaksanaan yang bisa mengakomodir keduanya.

“Kalau harga naik, memang buka buruh saja yang kesulitan. Pengusaha juga sama, karena harga bahan-bahan baku juga naik. Hanya saja kan kalau naiknya hanya sebesar itu, bayangkan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka setiap bulan. Bayangkan saja harga kontrakan rumah, biaya hidup, sekolah dan sebagainya,” sebut Richard.

Meskipun Pemerintah Provinsi (Pemprov) dalam hal ini bisa saja mengikuti kenaikan dari pusat sebesar 8,03 persen, Richard berpendapat bahwa dalam hal kebutuhan hidup layak (KHL) tentunya, angka Rp2,3 juta itu tergolong kecil. Sekalipun penetapan UMP, UMR atau UMK dihitung berdasarkan aturan PP 78/2015 tentang Pengupahan. Dimana satu poin penentu adalah melihat tingkat pertumbuhan ekonomi.

“Masalahnya memang, apakah kajiannya ini sudah pas. Kita tidak tahu, mana pertimbangan yang paling dilihat, antara kepentingan pengusaha atau kepentingan buruh. Karena ini tak pernah ketemu kepentingannya. Makanya, perlu ada kebijaksanaan pemerintah,” pungkasnya. (fac/ain/bal)

Exit mobile version