Site icon SumutPos

Dirugikan, Pelanggan Angkutan Online Bisa Menggugat

Go-jek-Ilustrasi.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Poin pemberlakukan tarif batas bawah pada revisi Permenhub 32/2016 menimbulkan kontroversi. Di satu sisi, para driver taksi online terbantu untuk bisa mendapatkan penghasilan lebih dari saat belum ada tarif batas bawah. Di sisi lain, ada banyak pengguna taksi online yang keberatan dengan adanya kenaikan tarif tersebut.

Natisha (28), salah satunya. Sejauh ini, Natisha mengaku terbantu dengan hadirnya taksi online yang tarifnya miring. ”Perbandingannya cukup jauh dengan taksi konvensional. Bisa 50 persen,” kata Natisha, Rabu (22/3).

Natisha mengaku kebingungan jika pada akhirnya tarif taksi online disamaratakan dengan tarif taksi konvensional yang dinilai cukup mencekik dan tidak pasti. ”Saya selalu deg-degan kalau naik taksi konvensional. Macet, argo tetap jalan. Lancar dan ngebut, argo jalan semakin cepat. Sementara taksi online kan kita sudah tahu tarifnya sajak awal,” tambahnya.

Kekhawatiran Natisha dan mungkin banyak pengguna taksi online itu juga ditangkap oleh Pengamat Transportasi, Azas Tigor Nainggolan. Tigor mengatakan, para pengguna yang merasa dirugikan dengan pemberlakukan aturan baru tersebut bisa mengajukan gugatan perdata melalui mekanisme citizen lawsuit atau lewat UU Konsumen. ”Kenapa bisa menggugat? Karena dibuat mahal dan akhirnya merugikan konsumen,” katanya Rabu (22/3).

Tigor menjelaskan, selama ini, masyarakat sudah sreg dengan mekanisme tarif taksi online. Saat order, masyarakat menerima kejelasan tarif. Jika dinilai terlalu mahal, mereka bisa memutuskan untuk tidak jadi order. Hal tersebut berbanding terbalik dengan mekanisme tarif taksi konvensional. ”Argonya tahu-tahu sudah Rp 120 ribu. Kita enggak mau bayar, kita pasti diteriakin,” terangnya.

Yang sudah bagus dan rapi seperti ini, kata Tigor, malah dibuat berantakan dengan revisi Permenhub 32/2016. Tigor menilai ada banyak pemain di balik munculnya revisi Permenhub 32/2016 itu. Para pengusaha dengan kepentingan masing-masing disebut Tigor sebagai biang keladinya.

”Ini pelanggaran hukum. Akal-akalan taksi konvensional yang bersembunyi di balik aturan pemerintah. Mereka merugi dan ditinggal pengguna yang pindah ke online,” paparnya.

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
BENTROK SUPIR BECAK VS GO-JEK_Ratusan supir gojek mendatangi supir becak yang memberhentikan paksa rekan nya di Jalan Stasiun Besar Medan, Rabu (22/2).

Tigor juga merasa ada yang aneh dengan revisi UU 32/2016 tersebut. Menurut Tigor, revisi idealnya dilakukan setelah UU diberlakukan, diujicobakan, dan dievaluasi ternyata masih ada kekurangan. Namun, pada kenyataanya, Permenhub 32/2016 itu direvisi bahkan sebelum diberlakukan. Hingga saat ini, Permenhub 32/2016 masih dalam tahap sosialisasi setelah disahkan pada Oktober 2016. Tahap sosialisasi berlangsung selama enam bulan sebelum akhirnya aturan tersebut diberlakukan penuh.

”Ini baru akan berlaku 1 April. Tapi sudah direvisi. Ini ibarat lo jahit baju, baju belum dipakai, udah lo permak tanpa tahu sudah pas atau belum,” kata Tigor.

Dan poin tarif dalam Permenhub 32/2016 itu juga menjadi hal yang dinilai Tigor aneh. Menurutnya, pemerintah tidak seharusnya mengatur tarif. Pemerintah harusnya terlebih dahulu membuat Standar Pelayanan Minimum (SPM) seperti yang tertuang pada Permenhub 32/2016. ”Pemerintah kan punya kewajiban untuk menyediakan transportasi umum yang aman, nyaman, dan dapat diakses. Itu dulu saja. Bukan ngomong-ngomong soal tarif,” tegasnya.

”Saya ajak masyarakat menggugat revisi Permenhub tentang tarif karena bertentangan dengan Pasal 183 UU 22/2009,” tambahnya.

Untuk saat ini. Kata Tigor, pemerintah sebaiknya fokus pada implementasi Permenhub 32/2016. Yakni dengan memerintahkan para driver taksi online dan penyedia layanannya untuk tunduk pada aturan tersebut.

”Drivernya harus SIM umum, ada tanda yang membedakan itu taksi online atau kendaraan pribadi, punya pool dan bengkel, kendaraan sudah lolos KIR, dan pengelolanya berbadan hubun di bidang transportasi. Aturan itu sudah bagus. Tinggal dijalankan saja,” ucapnya.

Terkait dengan ojek online, Tigor mengatakan, pemerintah harus segera membuat aturan yang jelas. Tanpa aturan yang jelas dan legalitas, pemerintah tidak bisa mengatur ojek online. ”Akui saja lah keberadaan ojek online itu. dibuat regulasinya. Orang bilang tidak aman, tapi dibutuhkan juga,” kata Tigor.

Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Sejumlah pengemudi becak bermotor yang tergabung dalam Solidaritas Angkutan Dan Transportasi Umum (SATU) menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Sumut, Senin (20/3). Mereka menuntut agar transportasi sistem aplikasi online yang beroperasi di Medan segera ditutup karena tidak memiliki izin dan mematikan sumber pendapatan mereka.

Sementara itu, Polda Sumut siap mengawal pelaksanaan Permenhub No 32/2016 itu. “Kita polisi bila diminta untuk mengawal tentu siap. Nah ada 11 poin yang direvisi dalam Permenhub No 32 tahun 2016 ini, salahsatunya soal tarif dasar dan pajaknya,” terang Kabid Humas Poldasu, Kombes Pol Rina Sari Ginting kepada Sumut Pos, Rabu (22/3).

Dia mengatakan, direvisi Permenhub itu juga diatur sanksi kepada perusahaan taksi berbasis online. “Sanksinya diberikan oleh Kementrian Kominfo berupa pemberhentian akses sementara (pemblokiran,red) terhadap aplikasi.

“Kemudian soal tarif dasar berdasarkan revisi permenhub diserahkan kepada pemerintah setempat, kepada gubernur nya masing-masing. Tentu akan dilakukan studi kelayakan terhadap penetapan tarifnya. Artinya yang paling berperan di sini dinas perhubungannya,” terang Rina.

Sehingga kata Rina, yang menjadi garda terdepan dalam penyelenggaraan taksi online itu dishub masing-masing daerah. Kemudian, kata Rina dalam revisi itu diatur soal kuota kendaraan taksi berbasis online, uji KIR, penyediaan pool dan bengkel. (and/jpg/mag-1/adz)

Exit mobile version