Site icon SumutPos

Syamsul Arifin hingga Doyok Kagumi Pagaruyung

Mengunjungi Ikon Kuliner Kota Medan (2)

Setelah Rujak Simpang Jodoh dan Rujak Kolam, perjalanan sejarah kuliner Kota Medan berlanjut ke Pusat Jajanan Serba Ada (Pujasera) Pagaruyung. Pusat wisata kuliner malam hari yang terletak di sepanjang Jalan Pagaruyung ini tetap memiliki daya tarik.

INDRA JULI, Medan

Setiap  ba’da Ashar, kita akan menyaksikan geliat aktivitasn
di ruas jalan yang ada di kawasan Kampung Madras ini. Para pedagang mulai menyiapkan lapaknya. Bangku dan meja pun ditata sedemikian rupa untuk memberikan kenyamanan bagi pengunjung yang ingin menikmati masakan tradisional.

Saat malam menyelimuti Kota Medan, Pagaruyung justru memancarkan cahayanya. Sebagai pusat jajanan malam hari, Pagaruyung memiliki menu-menu yang mengundang selera untuk dicicipi. Seperti mie rebusnya yang terkenal, martabak mesir, es buah, kerang rebus, nasi goreng, maupun aneka minuman seperti bandrek dan aneka jus. Dengan harga yang terjangkau, Pagaruyung pun menjadi tempat yang tepat untuk kongkow-kongkow.

Belum lagi keberadaannya yang berdekatan dengan icon Kota Medan lainnya yaitu Kuil Shri Marimman, pusat belanja SUN Plaza, maupun Masjid Ghaudiyah sebagai peninggalan sejarah yang memberi nilai lebih terhadap Pagaruyung. Tak heran pengunjungnya datang dari berbagai lapisan masyarakat. Baik bersama keluarga, rekan dan relasi, hingga muda-mudi yang merajut benang asmara.

“Ya saya suka dengan mie rebus yang memang khas juga dengan martabak indianya. Harganya pun cukup terjangkau jadi sekalipun bawa keluarga tidak sampai menguras isi kantong lah. Kita juga bisa mengenalkan anak-anak dengan situs-situs sejarah. Semacam pendidikan juga lah,” ucap Ritonga (45), yang datang dengan istri dan ketiga buah hatinya.

Namun di balik menu dengan harga terjangkau juga bangunan-bangunan tua dan unik tadi, Pagaruyung juga menyimpan cerita yang tak kalah menarik untuk diulas. Seperti yang dituturkan Koordinator Pagaruyung Pak Jack, aktivitas pedagang dimulai pada 1986 oleh beberapa warga Kampung Kubur. Mengambil lokasi dari simpang Jalan Cik Ditiro menghadap Jalan Zainal Arifin tepatnya di depan Bioskop Rencong/Metro.

“Dulu cuma mie rebus dua steling, teng-teng atau es buah, kerang rebus dan warung kopi Nyanyuk. Masih pakai lampu petromak untuk penerangan. Mungkin karena dilihat tidak rapi, Pemko Medan mengarahkan para pedagang ke Jalan Pagaruyung. Itu pun tidak lama, karena banyak yang tidak tahu, omset jadi turun. Mereka (pedagang, Red) pun balik lagi berjualan di tempat yang lama,” kenang Pak Jack, Rabu (20/4) malam.

Digagasi oleh Yayasan Yasika yang didirikan tokoh masyarakat Kamaluddin, Amri Amdani, dan Kepling II Ane Wecen, Pagaruyung lalu diresmikan Wali Kota Medan Baktiar Djafar sebagai pusat jajanan malam 1990-an silam.

Dengan peresmian tadi yang dibarengi dengan publikasi di media-media lokal, Pagaruyung pun menjadi satu-satunya pusat jajanan malam di Kota Medan mulai diramaikan masyarakat. Dibenarkan lagi dengan aktivitas malam hari saat itu.

Keramaian tadi secara tak langsung menambah jumlah pedagang yang ada meskipun masih berada di lingkungan yang sama yaitu Kampung Kubur tadi. Beberapa bahkan memanfaatkan pekarangan rumahnya sebagai lapak yang dibangun dengan dana pribadi. Tak heran meja-meja yang ada masih sangat sederhana dan terbuat dari kayu. Untuk kursi juga dari plastik yang tidak begitu banyak.

Karena datang dari satu lingkungan, komunikasi antar pedagang pun cukup baik dan secara bersama-sama mereka membangun fasilitas lainnya. Seperti atap yang dibuat dari tenda biru begitu juga toilet yang dibangun dengan gotong royong. Suasana kekeluargaan tadi pun terbawa saat meladeni pengunjung. Hal itu pun memudahkan saat membuat kesepakatan untuk tidak menjual minuman keras.

“Waktu itu betul-betul ramailah. Pokoknya kaya raya pedagangnya. Dari jam empat sore sudah buka dan baru tutup pukul lima pagi. Setiap hari begitu. Bahkan sayang rasanya tutup pukul empat pagi saking ramainya pengunjung. Dengan kurs rupiah waktu itu pendapatan Rp700 ribu sudah cukup lumayan,” papar pedagang martabak mesir,  Saleh yang juga keluarga dari pedagang terlama di Pagaruyung Medan.

Melihat kesuksesan yang diraih para pedagang ini, Dinas Kesehatan Kota Medan pun menyumbangkan celemek untuk pedagang dan tong sampah di seputaran Pagaruyung. Kerjasama itu sedikit banyak merubah penampilan Pagaruyung menjadi lebih bersih.

Tidak hanya masyarakat awam, kalangan pejabat seperti Syamsul Arifin, Gatot Pujo Nugroho, hingga kalangan artis ibu kota seperti Jeng Kellin, Titi DJ, Doyok, Samson, Yus Yunus pun sudah mengagumi semangat para pedagang dalam menghadapi persaingan untuk bertahan hidup.

Masa keemasan itu pun membuat Pagaruyung diangkat menjadi salah satu icon Kota Medan dan oleh Departemen Pariwisata, Pagaruyung disebar dalam brosur baik di biro travel hingga pesawat komersil. Masa itu pun diabadikan menjadi sebuah plank di Departemen Pariwisata Kota Medan.

Namun, seiring pesatnya pertumbuhan dan pembangunan, Pagaruyung mulai kesulitan. Pertumbuhan pusat jajanan malam dengan fasilitas modern yang tak terbendung sedikit banyak berhasil mencuri pengunjung dari kalangan generasi muda. Perlahan kalangan lainnya mulai memalingkan wajah hingga Pagaruyung benar-benar membutuhkan perubahan.

Rencana Pemerintah Kota Medan untuk mengelola Pagaruyung pun ibarat nafas kehidupan baru bagi para pedagang. Bahkan mereka pun rela beberapa hari melepas rezeki tidak berjualan agar ‘pembenahan’ yang dijanjikan berlangsung lancar. Begitu juga kamar mandi yang mereka bangun dengan gotong-royong namun cukup baik.

Sekian lama berlalu, harapan tinggal harapan. Pembongkaran bertopeng pembenahan malah menyisakan puing dari pengerjaan drainase yang tidak tuntas. Design atap yang mengacu pada model di ibukota justru menjadi teratak seng dengan cicilan yang masih harus dibayarkan para pedagang.

Sekalipun telah terbukti mampu bangkit dan bertahan, kini para pedagang Pagaruyung menghadapi dilema. Keinginan untuk berbuat masih terbelenggu rencana gagal pemerintah. “Kami hanya butuh selembar surat kalau Pemko Medan menyerahkan sepenuhnya pembenahan kepada para pedagang. Seperti dulu kita bangkit dari nol, kita juga bisa bangkit lagi kok,” yakin Saleh. (*)

Exit mobile version