Site icon SumutPos

Kenaikan Cukai Diumumkan September

Kemasan-kemasan rokok di Indonesia
Kemasan-kemasan rokok di Indonesia

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Wacana kenaikan harga rokok sebesar Rp 50 ribu, terus bergulir. Pemerintah pun akhirnya merespon isu kenaikan masif tarif cukai rokok, tahun depan. Kemarin (22/8), Menkeu Sri Mulyani Indrawati kembali menegaskan, hingga saat ini, pemerintah belum menetapkan besaran kenaikan tarif cukai rokok untuk tahun 2017.

“Kemenkeu belum ada aturan terbaru mengenai harga jual eceran atau tarif rokok,” tegasnya di gedung Djuanda, Kemenkeu.

Sri Mulyani menguraikan, wacana kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu, berasal dari hasil kajian kelompok pro kesehatan, yakni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI). Namun, pihaknya tidak bisa serta merta menetapkan besaran kenaikan tarif cukai tanpa berkonsultasi dengan berbagai pihak, termasuk industri rokok.

“Saya paham ada hasil kajian salah satu pusat kajian ekonomi, apa yang disebut sensitivitas kenaikan harga rokok terhadap konsumsi rokok. Kemenkeu akan lakukan kebijakan cukai rokok sesuai UU Cukai dan rencana APBN 2017 yang saat ini masih proses konsultasi dengan berbagai pihak,” tegasnya.

Senada dengan Sri Mulyani, Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi pun menegaskan, sampai kini, pembahasan besaran kenaikan tarif cukai rokok dan harga jual eceran rokok, masih berlangsung. “Jadi sekarang fasenya koordinasi dan komunikasi oleh Kementrian/Lembaga, Kementan, Kemenperin dan Kemendag. Kemudian organisasi, ya pemerhati kesehatan kemudian asosiasi pabrikan rokok,” papar Heru di Gedung Djuanda, Kemenkeu, kemarin.

Meski begitu, Heru mengakui jika bakal ada kenaikan tarif cukai rokok reguler, tahun depan. Menurut rencana, pengumuman kenaikan tarif cukai rokok akan diumumkan, tiga bulan sebelum diberlakukan pada 1 Januari 2017. Jeda waktu tersebut bisa digunakan pihak-pihak terkait untuk melakukan persiapan dan penyesuaian.

“Historisnya, cukai rokok memang secara reguler naik. Tahun ini kita usahakan ada pengumuman secepat mungkin untuk kenaikan cukai 2017. Ya akhir September lah,” ujarnya.

Namun, terkait besaran kenaikan tarif cukai, Heru masih enggan menjawab. Dia hanya mengindikasikan bahwa dengan asumsi kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu, maka presentase kenaikan cukainya cukup besar, yakni 365 persen. Presentase kenaikan tersebut dinilai cukup tinggi, karena itu dia menekankan jika kenaikan tarif cukai tersebut harus memperhatikan semua pihak.

Heru juga menekankan, harga rokok di Indonesia, tergolong mahal, jika dilihat dari besaran PDB Indonesia. Harga rokok saat ini adalah 0,8 persen dari PDB per kapita per hari. “Sementara di negara Jepang itu 0,2 persen. Artinya harga rokok kita relatif lebih mahal kalau dikaitkan dengan PDB kita. Pemerintah mesti berdiri di tengah-tengah, tidak boleh di satu pihak saja,” tegasnya.

Heru juga menekankan bahwa kenaikan tarif cukai rokok akan bervariasi seperti tahun ini. Bagi industri rokok padat karya seperti Sigaret Kretek Tangan (SKT), pemerintah akan memberikan tarif cukai yang lebih rendah dibanding dengan industri rokok putih. “Kenaikannya kan bervariasi antara satu golongan dengan golongan yang lain. Kita akan memberikan privilege lebih bagi industri padat karya dibanding yang pakai mesin,”ujarnya.

Tahun ini, pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif cukai rata-rata adalah 11,9 persen. Besaran cukai yang terendah adalah nol persen bagi golongan SKT, sementara tarif tertinggi sebesar 16,47 persen ditujukan bagi kelompok SPM (rokok putih).

Isu kenaikan harga rokok mendapat reaksi dari pengusaha rokok asal Sumut, Pinpin. Menurutnya, kebijakan menaikkan harga rokok hingga Rp50 ribu merupakan upaya mematikan industri rokok nusantara. Misalnya, rokok produk asing disandingkan dengan rokok lokal dengan harga di atas Rp50 ribu, maka sudah pasti pilihannya rokok asing. Bahkan, sekalipun harganya beda tipis, tetap saja pilihannya rokok luar negeri.

“Kebijakan tersebut merupakan upaya terhadap pihak asing untuk menghancurkan industri rokok tanah air. Jadi, kalau negara mau seperti itu silahkan saja. Maka, berarti membunuh perusahaan anak bangsa,” ungkap Pinpin kepada Sumut Pos, Senin (22/8)
Untuk itu, sebut pria yang menjabat sebagai Wakil Ketua Apindo Sumut ini, pihaknya jelas menolak kebijakan tersebut. “Boleh saja kalau memang menerapkan kebijakan itu, asalkan harga rokok produk lokal di bawah Rp50 ribu. Karena, kalau disamakan juga harganya, sudah barang tentu akan banyak yang bangkrut. Jadi, intinya kita tolak wacana itu,” tegasnya.

Dikatakan Pinpin, kebijakan itu secara tidak langsung membantu perusahaan asing dan membunuh perusahaan lokal. Sebab, dari segi kekuatan brand, perusahaan lokal kalah bersaing. “Rasionalisme untuk cinta produk tanah air masih rendah. Maka dari itu, pemerintah harus mendorong untuk menguatkan rasa nasionalisme, jika memang menerapkan kebijakan tersebut,” cetusnya.

Sekretaris Apindo Sumut, Laksamana Adyaksa juga menilai, jika harga rokok dinaikkan akan ada dampak terhadap dunia usaha. Artinya, banyak perusahaan rokok kecil akan gulung tikar. “Harus dipikirkan juga setengah juta tenaga kerja di sektor rokok. Sebab, kalau harga rokok naik, otomatis daya belinya turun. Tentunya, kalau daya beli turun, maka produksi akan turun dan terjadi pengurangan tenaga kerja,” sebutnya.

Meski demikian, lanjut Laksamana, memang ada sisi positif dari kebijakan tersebut yaitu pada sektor kesehatan. Akan tetapi, kebijakan ini harus dipikirkan atau dikaji ulang mana yang lebih baik terkait masalah tenaga kerja itu.”Kalau harga rokok ini naik, pemerintah yang diuntungkan. Sebab, cukainya naik dan pendapatan negara bertambah. Jadi, kalau memang mau diterapkan juga wacana ini, tidak serta merta. Artinya, perlu ada penyesuaian dan termasuk juga persoalan nasib tenaga kerja bagaimana pengalihannya,” terang Laksamana.

Dia menambahkan, kebijakan itu juga dinilai akan ada banyak pihak yang memiliki masalah bila tetap diberlakukan.”Tujuannya memang bagus untuk meningkatkan kesehatan. Tetapi, persoalannya sisi negatif harus dipikirkan juga. Kalau ingin mencapai suatu tujuan, namun lebih banyak merugikan untuk apa. Jadi, Harus ada satu proses atau tahapan sebelum menerapkannya,” pungkas Laksamana. (jpg)

Exit mobile version