Site icon SumutPos

Nekat Masuk Zona Merah setelah 6 Bulan Tak Terima Bantuan

Foto: AFP Photo/Gatha Ginting Anggota tim SAR Indonesia memeriksa Desa Gamber Karo, Senin (23/5/2016), menyusul erupsi Gunung Sinabung yang menewaskan 7 warga desa di Karo, Sumatra Utara, Sabtu (21/5/2016). Mereka menyusuri warga desa yang mungkin masih bertahan di desa pasca erupsi.
Foto: AFP Photo/Gatha Ginting
Anggota tim SAR Indonesia memeriksa Desa Gamber Karo, Senin (23/5/2016), menyusul erupsi Gunung Sinabung yang menewaskan 7 warga desa di Karo, Sumatra Utara, Sabtu (21/5/2016). Mereka menyusuri warga desa yang mungkin masih bertahan di desa pasca erupsi.

KARO, SUMUTPOS.CO – Tewasnya tujuh orang warga Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, akibat awan panas Gunung Sinabung, Sabtu (21/5) lalu, menguak cerita baru. Warga mengaku nekat kembali ke rumah masing-masing yang masuk dalam zona merahj untuk melakukan aktivitas, lantaran desakan ekonomi.

Bantuan yang diberikan pemerintah kepada para korban tak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Alasan itulah yang menjadikan para korban bertaruh nyawa untuk berladang di lahan yang berjarak sekitar 4 hingga 5 Km dari gunung yang masih erupsi dan berpotensi meletus itu.

Siti Beru Ginting (70), istri dari Cahaya Sembiring Meliala mengungkapkan, ia dan suaminya memang terpaksa kembali mengolah kebun kopinya. Sebab, bantuan yang disediakan pemerintah dinilainya tidak mencukupi.

“Memang kami rutin masuk kembali ke desa setiap harinya. Tapi itu juga karena terpaksa,” ungkap Siti yang ditemui di ruang tunggu ICU Central Medical Unit lantai 4 RSUP H Adam Malik, Senin (23/5).

Dikatakannya, bantuan yang diberikan pemerintah hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan, terkadang bantuan itupun masih kurang. Belum lagi kebutuhan lainnya, seperti biaya sekolah yang harus dipenuhi. Jadi mau tidak mau harus memanfaatkan kebun lagi untuk mendapatkan penghasilan. Walaupun berada di zona merah.

“Memang umum dilakukan warga di desa kami. Sebab, mau bagaimana lagi untuk mencari uang selain berladang. Tak hanya berladang, kami juga ke sana menjaga rumah yang ditinggalkan karena bencana erupsi Sinabung. Kalau siang kami memang ke sana, tapi malamnya kembali mengungsi di tempat keluarga,” tutur Siti.

Ia menuturkan, ketika peristiwa awan panas itu terjadi, dirinya sedang berada di zona merah bersama suami dan kerabatnya yang lain yang menjadi korban. Sebelum awan panas meluncur, pemberitahuan peringatan bahaya pun diberikan oleh aparat setempat. Sehingga, ia lari bersama beberapa kerabatnya menyelamatkan diri dengan menggunakan mobil evakuasi.

Namun naas bagi suaminya, menjadi salah satu korban terkena awan panas. Meski tidak meninggal, tetapi mengalami luka bakar yang serius di sekujur tubuhnya.

“Saya sudah sempat naik, tetapi suami saya belum karena memanggil warga lainnya untuk dievakuasi. Sehingga, dia menjadi korban,” kenang Siti dengan sedih.

Karenanya, Siti berharap kepada pemerintah agar memikirkan bantuan yang diberikan kepada para pengungsi Gunung Sinabung. Bantuan tersebut tidak hanya biaya hidup dan mengontrak rumah, melainkan juga untuk biaya sekolah dan hal lainnya.

“Kalau bantuan pemerintah cukup, pasti kami tidak akan kembali ke rumah untuk berladang. Makanya, pemerintah harus memikirkan juga bantuan apa saja yang diperlukan para pengungsi,” sebutnya.

Tak jauh berbeda dengan Siti, dikatakan Rusni Beru Sitepu, keluarga dari Cahaya Beru Tarigan (45). Kata Rusni, keluarganya nekat kembali ke daerah terlarang karena butuh biaya untuk menyambung hidup dengan berladang.

“Bibi itu (Cahaya Beru Tarigan) dan suaminya (alm Karman Meliala) memang asli penduduk Desa Gamber. Keluarga sempat minta dia untuk pindah dari sana, tetapi tidak mau dengan alasan ekonomi. Mereka memilih untuk tetap bertahan di sana, meski nyawa taruhannya,” jelas Rusni.

Menurutnya, mereka kembali karena dana bantuan dari pemerintah tidak ada lagi. Mereka terima hanya 6 bulan terakhir dan setelah itu tidak ada.

“Bibi kami ini tiga bersaudara dan dia anak paling bungsu. Dia memiliki dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan yang masih butuh biaya,” ujar Rusni.

Foto: M Idris/Sumut Pos
Korban bencana awan panas Gunung Sinabung, Cahaya Sembiring Meliala (73), masih terbaring kritis di ICU RSUP H Adam Malik.

Lebih lanjut ia mengatakan, saat ini kondisi Cahaya Beru Tarigan memang mengalami perubahan sedikit lebih baik, sudah bisa berbicara. Selain itu, luka bakar di bagian wajahnya mulai membaik. “Waktu pertama masuk, mukanya merah betul, tapi sekarang sudah normal seperti warna kulitnya,” ucap Rusni.

Dia mengemukakan, waktu kejadian awan panas, anak korban yang laki-laki sedang keluar rumah. Sementara yang perempuan lari menyelamatkan diri ketika mengetahui awan panas turun.

“Suaminya saat kejadian sedang diluar juga. Tetapi, karena anaknya yang perempuan disuruh jemput ibunya tak mau, jadi suaminya kembali ke rumah untuk menjemput. Namun, waktu menjemput istrinya, sang suami terkena awan panas. Di situlah nyawanya tak terselamatkan,” pungkas Rusni.

Plh Direktur RSUP H Adam Malik, dr H Welly Refnealdi didampingi Kepala Bidang Pelayanan Medis, dr Qadri Fauzi Tanjung dalam keterangan persnya di rumah sakit tersebut mengatakan, kondisi kedua korban Cahaya Beru Tarigan (45) dan Cahaya Sembiring Meliala (75), masih kritis dan belum sadarkan diri.

“Kondisi kedua korban masih kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan. Namun begitu, kondisinya mengalami sedikit perkembangan positif,” ungkap dr H Welly Refnealdi.

Dijelaskannya, satu korban bernama Cahaya Beru Tarigan, respon alat pendengarannya cukup baik. Ketika diajak komunikasi dia merespon. Sedangkan Cahaya Sembiring Meliala untuk diajak komunikasi belum merespon, tetapi kondisinya tetap mengalami perbaikan.

“Korban perempuan ketika diminta tim medis untuk membuka mata, dia merespon. Untuk itu, kita berpesan agar keluarga pasien jangan pernah berpikiran soal biaya. Karena, kasus ini bencana alam dan pemerintah wajib memberikan biaya pengobatan terhadap korban. Sebab, kami khawatir beredar isu di luar tidak mau dirujuk lantaran masalah biaya,” sebut Welly yang juga menjabat sebagai Direktur Keuangan RSUP H Adam Malik.

Ia mengatakan, penanganan yang sudah dilakukan terhadap kedua korban adalah menyelamatkan nyawanya. Pertama, dari sistem alat vital tubuh, yaitu pernapasan meliputi paru-paru dan jantung. Kemudian, stabilisasi. Selain itu, cairannya dalam tubuh diperbaiki dan lukanya diobati agar tidak diperberat dengan penyakit penyertanya.

“Kita sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa korban. Tim medis mengawasi ketat selama 24 jam perkembangannya, dengan alat monitor lengkap serta dievaluasi setiap saat mengenai kondisinya. Evaluasi tersebut dilakukan mulai dari tekanan darah, pernapasan, denyut nadi dan lain sebagainya, termasuk alat paling vital tubuh,” papar Welly.

Diutarakan Welly, untuk luka bakar yang dialami Cahaya Beru Tarigan sekitar 60 persen. Luka bakar yang dideritanya paling parah di bagian wajah. Selain itu, terdapat juga di tangan dan kaki. Menurutnya, jika luka bakar terjadi di wajah kategorinya sudah berat. Sedangkan untuk Cahaya Sembiring Meliala kondisinya sedikit lebih ringan.

“Kita berpikirannya ini diagnosis dhubia (ragu-ragu), tetapi ke arah positif. Artinya, masih ada kemungkinan untuk selamat. Dalam kasus ini, direksi turun langsung menanganinya. Oleh karena itu, kita memohon bantuan doa agar mereka dapat cepat sadar,” tutur Welly.

Dia menyebutkan, peralatan medis yang saat ini digunakan oleh korban, yaitu alat bantu pernapasan (ventilator), keseimbangan cairan (hemodinamics) dan lainnya. Jadi, tim medis siaga dan jika terjadi kelainan maka langsung terdeteksi. Bahkan, air kencing korban juga diawasi apakah teratur atau tidak.

“Kami berterima kasih dengan pihak RSU Kabanjahe yang cepat merujuk korban. Jadi, kepada pihak rumah sakit lain jangan segan-segan untuk merujuk ke sini karena tim medis kita dalam menghadapi pasien gawat darurat sudah cukup sering. Kita siapkan sesuai dengan standar rumah sakit untuk kasus-kasus luka bakar pada umumnya,” ucapnya.

Welly melanjutkan, tim medis yang dilibatkan dalam penganganan korban cukup lengkap. Mulai dari dokter bedah, dokter bedah plastik, dokter anestesi (bius), dokter penyakit dalam, dokter syaraf dan psikiater. Sebab, kasus ini bukan masalah fisik saja, melainkan juga psikologis dan makanya didampingi terus. “Kita selalu berkomunikasi dengan tim medis dalam mengambil tindakan apa yang harus dilakukan,” tukasnya.

Kepala Bidang Pelayanan Medis RSUP H Adam Malik, dr Qadri Fauzi Tanjung menambahkan, korban atas nama Cahaya Beru Tarigan terpaksa kedua kakinya harus diamputasi. Sebab, kakinya sudah terinfeksi cukup parah. “Keputusan ini diambil dari dokter yang merawat pasien. Karena, jika tidak dilakukan amputasi dikhawatirkan akan menjalar. Pihak keluarga sudah kita minta persetujuannya dan tim medis segera melakukannya,” ujar Qadri.

Disinggung soal waktu penanganan terhadap korban berapa lama akan sembuh, dia tidak bisa memastikan. Karena, tergantung luas luka bakar yang dialami kedua korban. “Korban rata-rata mengalami luka bakar diatas 50 persen, sehingga tidak bisa dipastikan berapa lama perawatannya. Sebab, untuk penanganan kasus ini membutuhkan waktu yang cukup lama, karena risiko yang dihadapi berujung fatal. Jadi, saat ini yang kita lakukan adalah bagaimana menyelamatkan nyawanya,” imbuh Qadri.

Terpisah, salah seorang keluarga Cahaya Beru Tarigan, Rusni Beru Sitepu mengakui sudah mengizinkan untuk dilakukan amputasi. Meskipun, awalnya pihak keluarga menolak lantaran belum semuanya mengetahui soal rencana amputasi ini.

“Awalnya keluarga memang menolak karena belum semuanya mengetahui soal amputasi ini. Sebab, keluarga masih disibukkan dengan proses pemakaman suaminya (Karman Meliala). Namun, setelah tahu keluarga setuju untuk dilakukan amputasi,” tuturnya ditemui di ruang tunggu ICU Central Medical Unit lantai 4 RSUP H Adam Malik. (ris/adz)

Exit mobile version